19 : pendosa
Sudah berhari-hari semenjak pertemuan dengan Ara di toko bunga, tetapi Ariq masih belum juga menemukan titik terang. Ia belum bertemu gadis itu lagi, tidak peduli seberapa keras ia berusaha. Saat datang ke rumah Harun, Ara tidak ada. Ia sudah minta kontak Ara ke Hani, tapi gadis itu masih juga menolak untuk membagikan kontak temannya ke orang lain. Katanya itu privasi, silakan tanya Ara langsung kalau mau. Tidak berhenti di situ, suatu hari Ariq juga nekad nongkrong di depan SMA 097 ketika pulang sekolah. Namun, batang hidung Ara atau pun Semesta tidak pernah terlihat. Ia justru harus angkat kaki duluan karena takut ketahuan oleh Jaya Adiyan—sang ayah—yang duduk anteng dalam mobil di depan SMA 097.
Tentu saja Ariq masih sangsi dengan dugaannya saat di toko bunga. Maka ia pun menyempatkan diri untuk bertanya, "Kalau untuk hadiah ke orang spesial, bukannya lebih baik lo beliin makanan dibanding bunga?"
Tanpa prasangka apa pun Ara menjawab, "Dia udah meninggal."
Jika sudah sampai di situ, maka kemungkinan dugaan Ariq meleset sangat kecil. Bahkan hampir nihil. Pemuda itu menahan napas. Matanya mengamati langit-langit kamar yang polos. Beberapa hal sempat mampir di benaknya dan ia memilih menetap di satu pertanyaan; bagaimana jadinya jika Semesta mengetahui hal ini?
Sudah tak terhitung berapa kali Semesta menginjakkan kaki di kantin untuk makan bersama Ara, tapi ia masih juga belum terbiasa dengan suasana riuh yang disebabkan oleh desakan siswa-siswi yang tengah kelaparan. Putra tunggal Byandara yang sedari SD sudah bersekolah di sekolah swasta bergengsi yang muridnya sangat tertib dan berkelas, tidak akan pernah mengerti perasaan para siswa yang saling berkerumun memperebutkan gorengan di kantin.
"Kita ke sana aja. Mumpung ada kursi kosong." Ara menarik lengan hoodie Semesta menuju satu-satunya meja tak berpenghuni di ujung kantin. Usai mengamankan tempat, memesan makanan, sampai menyantap hidangan, semuanya berjalan lancar. Sesekali Semesta mengerutkan alis ketika Ara mencomot kerupuk di atas nasi gorengnya dengan wajah datar. "Kenapa?"
"Nggak." Semesta menggelengkan kepala. Ia lantas mengambil semua kerupuk di atas piringnya dan meletakkannya di atas piring Ara. "Keadaan ayah lo gimana?"
"Ya ... gitu," sahut Ara sekenanya. Ia membuang muka. Berusaha menghindari pandangan Semesta. "Kalau lo mau kita bisa jengukin ayah gue Sabtu nanti."
Alis pemuda itu terangkat. "Beneran?" Selama ini Ara cukup enggan membahas tentang kondisi ayahnya secara langsung. Maka dari itu, Semesta juga tak berani menagih janji Ara untuk menjenguk ayah gadis itu bersama. Ia takut mengganggu dan terkesan terlalu ikut campur.
"Iya. Ayah gue pasti senang ketemu lo. Apalagi kalau lo bawa buah tangan pas jenguk nanti." Gadis itu mengerling jenaka. Kembali fokus pada makanannya hingga teringat sesuatu. "Ah iya, Mas Sam. Gue selalu lupa kasih tau lo hal ini karena belakangan banyak banget hal yang terjadi, tapi ... lo janji ya gak bakal mikir macam-macam dulu sebelum gue jelasin?"
Oke, sepertinya ini serius. Dari ekspresi Ara yang gugup, Semesta sudah menduga kalau hal yang disampaikan gadis ini pasti bukan kabar bagus. Maka ia meletakkan alat makan, meluruskan pandangan. "Emang ada apa?"
"Gue ketemu sama teman lo yang di kafe waktu itu—Kak Ariq." Seharusnya Ara menceritakan ini sedari dulu. Harusnya begitu. Namun, masalah kesehatan sang ayah, ingatan tentang Bara, dan ujian semeseter sebulan kemudian sudah mampu menyita pikiran Ara. "Kita sempat ketemu dua kali. Dia ternyata kenal sama kakaknya Hani—teman duduk gue—dan ... kita sempat bicara juga."
Jantung Semesta mulai berdegup cepat. "Dia bilang sesuatu sama lo?"
"Nggak. Dan lo harus percaya itu." Sorai yang menggema di tempat mereka berada seakan dianggap musnah. Kini mata Ara mengambil alih atensi Semesta—seperti yang selalu gadis itu lakukan kepadanya ketika dia mulai meragu. "Gue cuma mau kasih tahu lo hal ini karena gue gak pengin nyembunyiin sesuatu dari lo. Kalau pun nanti Kak Ariq bilang sesuatu tentang lo, gue gak bakal langsung percaya." Melihat bahu Semesta yang merosot lega, Ara kembali melanjutkan ucapannya, "Gue baru akan dengar dan percaya sama hal-hal tentang lo kalau itu keluar dari mulut lo sendiri."
Ada jeda dalam dunia Semesta. Ada henti yang membekukan waktu, tetapi melajukan detak jantungnya. Telinganya lagi-lagi memanas. Walau kekhawatiran tentang apa yang akan Ariq lakukan masih belum lepas dari benaknya, Semesta memilih untuk mengangguk. Melanjutkan makan dan diam-diam bersyukur. "Makasih, Ara."
Tarina Byandara menutup sambungan telepon. Ia lantas meletakkan benda pipih itu di atas meja, beralih memijat pelipisnya lelah. Di saat Tarina tenggelam dalam pikiran, suara Alan membuatnya kembali memijak bumi. "Kamu habis telepon pemilik panti itu?" Alan Byandara tampak tak kalah penatnya. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, pria itu masih mengenakan kemeja dan setelan yang pagi tadi ia pakai untuk bekerja. Tampaknya hari ini ia harus lembur juga.
"Iya," Tarina menjawab singkat.
Baru saja wanita dengan iris legam itu bangkit, tetapi Alan mencegahnya dengan berkata, "Tentang Semesta." Jeda sejenak. "Saya sudah temukan psikolog buat dia. Mungkin kalau kita ajak Semesta buat makan malam besok, kita bisa bicarakan tentang hal ini dengan dia."
Tarina terdiam. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Alan begitu tidak wajar. Ikatan mereka sah, cincin pernikahan masih memeluk jari manis keduanya, tetapi Alan dan Tarina terasa lebih seperti orang asing di rumah. Pekerjaan di luar sana dan karir yang membentang luas di depan mata sudah cukup merampas waktu untuk sekadar berbincang tentang buah hati mereka sendiri.
"Kita benar-benar orang tua yang buruk, ya," ucap Tarina tiba-tiba. Ia tersenyum kecut.
Alan yang baru selesai menenggak air putih hanya menautkan alis. "Kenapa mendadak kamu bicara begitu?"
Wanita itu menghirup oksigen dengan rakus. Ia menutup wajah, menggigit bibir hingga rasa amis darah menguar di dalam mulut. "Tidak apa-apa. Saya hanya kurang tidur belakangan ini."
Ekspresi Alan mengerut, penuh tanda tanya. Namun, ia hanya mengamati dari tempatnya berdiri. Menaruh gelas di atas meja, lantas melenggang pergi. Mereka sudah berjanji untuk tidak mengusik satu sama lain. Masalah yang menyangkut Semesta ialah satu-satunya hal yang membolehkan keduanya untuk saling terlibat dan ikut campur.
Tarina memejamkan mata. Berharap ketenangan sudi memberkati jiwanya yang kalut. Dosa-dosa yang telah ia perbuat kepada anak kecil itu terlintas di kepalanya. Semesta yang tak sengaja menyaksikan perselingkuhannya di depan pintu kamar membuat leher Tarina tercekik. Saat kembali ke tempat tidur pun benak Tarina masih bergulat dengan hal yang sama. Samar-samar ia bisa kembali melihat sosok Semesta kecil yang mengintip di celah pintu dengan mata membelalak. Sepasang iris selegam miliknya bergetar, memanas, menangis kebingungan.
Kira-kira bagaimana ekspresi yang Tarina tampilkan malam itu? Apa yang berada di pikiran Semesta kala melihatnya mendua dengan pria lain?
Tarina menarik napas kasar. Ia sadar bahwa dosanya kepada Semesta tidak akan pernah sirna bahkan jika Tarina berlutut untuk meminta ampunan sekali pun. Maka ia memilih menutup mata. Pura-pura buta, dan menjadi penipu paling handal yang terus menggumam pada dirinya sendiri, "Tidak apa-apa. Itu sudah berlalu. Kejadian itu hanya ada di masa lalu."
.
.
.
Kangen sama gue nggak? xixixi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top