18 : duka
Terkadang keheningan bisa menjelma menjadi hal yang paling berisik dan menyebalkan di dunia.
Meskipun mentari tengah tertutup awan, angin menari-nari dari kejauhan, dan dedaunan rindang berguguran dengan pelan, Ara tetap merasakan hal bertentangan menyergap perasaannya. Benaknya campur aduk, diberondongi berbagai memori dan dugaan; bagaimana jika seandainya kamu masih hidup?
Buket bunga yang dirangkai Ariq ia sandarkan pada batu nisan. Ketika Ara melihat nama yang terukir di atas sana, dirinya masih setengah percaya. Bagaimana bisa tubuh hangat yang dulu sering menjadi sandarannya kini terbaring di bawah situ? Ditumpuk di antara tanah-tanah lembab, ditumbuhi rerumputan segar di atas permukaan. Barangkali jasad Bara kini hanya tinggal tulang belulang. Tidak ada lagi daging dan kulit yang tertinggal. Gadis itu takut membayangkan tengkorak Bara yang sudah dingin. Ia takut tidak bisa lagi mengenali wajah yang dulu pernah tersenyum padanya di hari-hari ketika Ara merasa putus asa.
Tidak ada tangis—hanya sebuah tatapan kosong yang tersisa dari wajah tanpa emosi Ara. Tangan gadis itu hanya menjeremba untuk mengusap-usap nisan, meraba tiap ukiran di atas marmer hitam. Mengamati, memastikan dengan baik bahwa jasad Bara memang dikuburkan di sini.
Terdengar suara embusan napas panjang. Yang ia tahu dari ibu panti, alasan Bara bunuh diri ialah karena beasiswanya dicabut oleh pihak sekolah. Tekanan ekonomi dan pengobatan Rava yang semakin mendesak keuangan panti pun diduga kuat menambah beban pikiran Bara sehingga ia pun mengakhiri hidupnya. Namun, semuanya terasa janggal. Entah itu Ara yang ingin percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik alasan Bara mengakhiri hidup atau memang ada sebuah tabir tak kasat mata yang telah menutup-nutupi penglihatannya sejak lama.
Hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah tersenyum getir. Kematian-kematian orang terdekatnya datang silih berganti dan kelak Ara harus kembali meratapi nasib di atas batu nisan sang ayah dalam waktu kurang dari sembilan bulan ini.
Ara membayangkan Bara berdiri di hadapannya. Kulit putihnya yang sedikit memerah serta mata gelap yang termenung dalam. "Kasih tahu aku, Bar," bisiknya pelan, nyaris putus asa. "Kenapa kamu lompat dari atap sekolah waktu itu?"
"Sekolah kamu gimana?" Ara yang masih mengenakan seragam putih abu-abu bertanya. Sesekali gadis yang masih duduk di bangku kelas X itu memasukkan sesendok gado-gado ke dalam mulut.
Bara mengangkat wajah. Kendati suhu di luar ruangan mencapai 32°C, ia tetap merapatkan jaket untuk menutupi tubuh. "Baik-baik aja."
Ara manggut-manggut. "Padahal aku dengar tugas-tugas di sana susah loh. Aku rasa itu bukan apa-apa kali ya buat kamu? Hahaha. Orang yang terima beasiswa memang beda." Bara tidak membalas. Ia hanya menunduk, mengamati soto pesanannya yang mulai dingin. "Oh iya, aku mau ke panti liburan nanti. Aku kangen sama ibu, Rava, dan anak-anak lain."
Dapat Bara rasakan tangannya mengebas. Ngilu dan nyeri terasa di setiap inci tubuhnya. Sepertinya antek-antek Semesta--yang bahkan Bara tidak kenal--memukulinya terlalu keras hari ini. Dalam jeda percakapan, satu pertanyaan tiba-tiba terlontar tanpa bisa Bara hentikan. "Ra ... kalau misalnya aku mati, kamu bakal sedih gak?"
Spontan, si lawan bicara menatap heran. "Kamu ngomong apa sih?"
"Bercanda. Lagian aku cuma nanya aja." Bara terkekeh pelan, menetralkan suasana yang sempat mencekam. "Aku penasaran, soalnya kamu kan dari kecil kalau mau apa-apa selalu panggil aku duluan. Kalau aku udah nggak ada kamu bakal gimana?"
Gadis itu berkedip-kedip. Menimbang jawaban sejenak. "Entahlah. Aku nggak bisa mikirin gimana nanti aku bisa hidup tanpa kamu." Ara mengembuskan napas. "Tapi, kalau nanti misal kamu nggak ada, dunia gak bakal banyak berubah. Matahari bakal tetap terbit di timur dan tenggelam di barat, gravitasi bakal tetap ada, semuanya bakal tetap sama. Mungkin orang-orang terdekat bakalan sedih beberapa waktu setelah kamu pergi, tapi semuanya bakal kembali seperti semula. Seiring waktu, semuanya akan pulih. Toh yang hidup harus tetap hidup kan?"
Bara mengerjap berulang kali. "Wah, aku gak nyangka kamu bakal jawab sedetail ini."
Gadis itu mengangkat bahu tak acuh. Ara memang paling ahli dalam mengucapkan kata-kata menyentuh dengan wajah datarnya itu. "Tapi, Bar ... kalau kamu pergi, hidup aku nggak bakal pernah sama kayak sebelumnya."
"Eh?"
Sebuah senyuman samar terlihat. "Orang yang paling pertama aku suka di panti itu kamu, Bar. Kamu itu keluarga, sahabat, kakak, dan orang yang paling berarti buat aku. Pas Mama angkatku meninggal, kamu kan yang selalu ada di samping aku? Kamu dan ayah udah keluarin aku dari lemari itu. Kamu pikir aku bakal bereaksi kayak gimana lagi kalau misalnya kamu pergi? Makanya, kamu harus janji sama aku buat nggak pergi ke mana-mana." Ara mengambil kerupuk. Mengunyahnya pelan lantas menatap iris Bara lamat-lamat. "Kamu ada masalah ya? Tiba-tiba banget bahas hal kayak gini."
Bara menggeleng. Hampir saja ia mengungkapkan seluruh keluh kesahnya, tapi sesuatu menahan Bara. Nyeri yang ia rasakan mendadak mati rasa seiring dengan bibirnya yang terurai membentuk senyuman. "Masalah apaan? Gak ada kok. Aku baik-baik aja."
"Beneran?"
"Iya," jawab Bara. "Makasih dan maaf ya, Ra."
Ara yang sudah kembali fokus dengan gado-gadonya menaikkan sebelah alis. "Buat apa?"
"Semuanya. Aku selalu pengin bilang itu ke kamu. Akhirnya sekarang kesampaian juga. "
Gadis tersebut tertawa renyah. "Ngawur kamu, Bar."
Interaksi hari itu berakhir begitu saja. Dan tepat keesokan harinya, Bara melompat dari atas atap sekolah. Membuat Ara mengerti maksud sesungguhnya dari semua percakapan mereka sehari sebelumnya.
Jika saja Ara tahu sore itu adalah makanan terakhir yang ia santap bersama Bara, ia akan mengunyah makanannya lebih lama lagi. Ara akan memperpanjang obrolan mereka, bila perlu dia akan menginterogasi Bara--mencari tahu masalah apa yang selama ini telah dia pikul sendirian. Ia pasti akan memeluk Bara erat, menahan untuk pergi. Bila perlu Ara akan mengemis, memohon-mohon agar Bara turun dari atas atap sekolah.
Namun, andai Ara tak kunjung nyata. Harapannya mereput, dibawa pergi bersama tubuh tak bernyawa Bara yang telah membusuk di dalam pusara.
Hari Yudhiro mengamati putrinya untuk beberapa menit. Sedari Ara memasuki ruangan itu, ia belum mengucapkan sepatah kata pun. Mulutnya tertutup rapat, menunggu agar sang ayah yang memulai percakapan lebih dulu.
Terdengar helaan napas. "Oke, ayah minta maaf."
Ara melirik sejenak. "Apa ayah baru mau ngasih tahu aku tentang kondisi ayah sehari sebelum meninggal?" Alis gadis itu mengerut. Ia sudah mewanti-wanti dirinya sendiri bahwa tidak akan ada lagi tangis setelah ia berdiri di depan sang ayah. "Ayah kira aku bakal senang?"
Hari memalingkan wajah. Sekujur tubuhnya jauh lebih sakit dibanding biasanya. Jika ia masih sehat seperti dulu, sudah pasti Hari akan bangkit dari ranjang sialan ini dan memeluk putri kesayangannya itu. Meminta maaf dan menepuk-nepuk puncak kepalanya agar berhenti menangis. Namun, Hari tidak bisa melakukan itu lagi. Ia bersusah payah meraih tangan Ara, menggenggamnya dengan telapak tangan yang bergetar.
Pada saat ia mengadopsi Ara, Hari berjanji bahwa tidak akan ada satu orang pun yang bisa membuat putrinya menangis. Namun, sekarang setelah ia sekarat, justru Hari sendiri yang melanggar janji itu.
"Maafin ayah," Hari berucap pelan. "Maafin ya, Ra. Kalau bisa, ayah juga masih mau hidup. Ayah masih pengin di samping kamu, sampai kamu tua kalau perlu."
Ara menunduk. Di benaknya terlintas tentang bagaimana tangan hangat yang menggenggamnya itu kelak akan sedingin mayat. Jasad ayah yang pucat pasi tidak lagi menampilkan segaris pun ekspresi. Mata ayah yang tertutup, bebas dari rasa sakit dan penderitaan duniawi. Ketika tubuh kaku ayahnya masuk ke dalam peti, apa nanti eksistensi ayah juga akan ikut raib dari memori?
"Jangan terlalu sedih ya, Ra. Ayah nggak mau lihat kamu nangis." Hari menelan ludah kelu. Ara belum mengatakan sepatah kata pun lagi setelah itu. Bahunya naik turun, dan tangannya menutup wajah yang basah. Harus berapa banyak lagi air mata yang ia keluarkan ketika menghabiskan waktu menuju kematian Hari?
Kekhawatiran Hari semakin memuncak ketika ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan air mata Ara. Terlebih ketika putrinya itu berkata di sela-sela isakan, "Kalau ayah pergi, aku juga ikut pergi."
.
.
.
Dijual tisunya kakak (╥﹏╥)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top