17 : lemari
Ketika kecil, Ara selalu mendapati dirinya bersembunyi di dalam lemari. Ia akan menutup telinga dengan kedua tangan, memejamkan mata rapat-rapat, dan melipat kaki yang bergetar agar tubuhnya muat di dalam lemari tersebut. Bunda kandungnya pun kemudian berbisik, "Tunggu di sini, ya. Jangan berisik."
Ara menurut. Mengintip diam-diam dari celah lemari kayu yang sudah lapuk. Melihat bunda yang ditendang, dipukul, dijambak, dan terkapar di lantai. Ringisan bunda diabaikan oleh si pria pemarah itu. Pria yang sayangnya adalah ayah kandung Ara.
Usia sembilan tahun, Ara diadopsi oleh Hari Yudhiro dan sang istri. Di waktu-waktu itu Ara sudah tahu ke mana bunda dan ayah kandungnya pergi. Meski ibu panti menutupinya dengan kata manis setiap Ara bertanya, gadis kecil itu sadar bahwa bundanya telah tewas di tangan bedebah yang ia sebut ayah. Makanya dia bisa berakhir di panti asuhan sebelum akhirnya bertemu dengan orang tua angkatnya.
Di rumah Hari, Ara benar-benar merasakan bagaimana rasanya punya keluarga yang utuh. Mama angkat yang perhatian dan ayah yang penyayang. Semuanya begitu indah untuk jadi nyata sampai akhirnya kecelakaan merenggut nyawa sang mama.
Untuk sekali lagi, Ara kembali bersembunyi di dalam lemari setelah sekian lama. Sekujur tubuhnya bergetar, peluh membasahi setiap jengkal kulit, dan Ara menangis tanpa henti. Suara ayah kandungnya yang sering marah-marah terngiang di kepala. Ia takut, tidak mau keluar. Apa karena ia datang ke keluarga ini Mama jadi meninggal? Jangan-jangan eksistensi Ara tak lebih dari sekadar pembawa sial di sini?
Wajah Ara basah dengan peluh dan air mata. Ketika akhirnya pintu lemari terbuka, kali ini bukan hanya sosok Hari yang tampak di sana.
"Ara," ucap seseorang yang berdiri di sebelah Hari. "Ternyata kamu di sini."
Ara mendorong pintu kaca sebuah toko bunga dengan pelan. Dari luar, warna-warni bunga yang beragam telah menarik mata siapa pun yang memandang. Namun, saat Ara masuk ke dalam tokonya langsung, ternyata warna yang dipancarkan bunga-bunga jauh lebih indah dari yang ia lihat dari luar toko.
"Cari bunga apa, Kak?" suara manis seorang laki-laki menyambut Ara. Ketika gadis itu menoleh, alisnya terangkat begitu tinggi. Begitu pula dengan pemuda berkacamata di hadapannya. "Ara?"
"Kak Ariq kerja di sini?" Ara mengernyit tidak percaya. Ariq ialah orang paling terakhir yang berada di dalam pikirannya untuk ditemui hari ini. Rentetan kebetulan yang mereka alami kadang membuat Ara tidak habis pikir.
"Ah, untuk hari ini doang sih." Ariq tersenyum simpul. "Lo ingat orang yang dateng sama gue di rumah Harun waktu itu gak? Namanya Fadil, dia sepupunya Harun, dan toko bunga ini punya kakaknya. Seharusnya dia yang jaga hari ini, tapi karena anak itu lagi asik pacaran, makanya gue yang gantiin dia. Yah, seenggaknya gue dibayar."
Ara manggut-manggut mendengar penjelasan Ariq. Tentu saja Ariq menjelaskan dengan jujur. Hanya saja ia tidak bilang bahwa alasannya dengan suka rela menggantikan Fadil untuk berjaga ialah sebagai balasan karena telah sering-sering membawanya ke rumah Harun dengan harapan untuk bertemu Ara lagi di sana. Meski batang hidung Ara tidak pernah terlihat di rumah Harun setelahnya dan adik Harun yang sekelas dengan Ara pun sedikit waswas saat ditanya tentang gadis itu, tampaknya kini Ariq beruntung karena orang yang ia cari-cari sekarang datang sendiri di hadapannya seperti ini.
Pemuda itu pun mengajak Ara untuk melihat berbagai jenis bunga dengan warna yang berbeda. "Lo emangnya mau kasih bunga buat siapa?" Ia mengamati wajah gadis tersebut lalu menebak, "Semesta, ya?"
Ara mengangkat sebelah alis. Perasaan tak nyaman selalu menyeruak tajam ketika nama Semesta keluar dari mulut Ariq. "Bukan. Buat teman saya yang lain."
"Cewek? Cowok?"
"Cowok." Ara melanjutkan, "Ada nggak bunga bagus untuk orang yang susah dilupain?"
Ariq menimbang sejenak. "Kalau untuk orang yang susa dilupain, gue saranin ini." Ditunjuknya bunga berwarna biru langit dengan sapuan ungu yang lembut. Di tengah kelopak ada titik kuning cemerlang menyempurnakan paras bunga. "Ini yang paling populer, plus maknanya juga sesuai sama yang lo mau." Ara membungkuk demi melihat bunga itu lebih dekat. "Namanya Myosotis. Melambangkan kesetiaan, kasih sayang, sekaligus kerinduan. Orang-orang lebih kenal bunga ini dengan nama forget me not."
Gadis tersebut mengangkat wajah. Iris cokelat kopinya menatap Ariq sedikit heran dan sebagiannya lagi terkagum-kagum. "Katanya Kak Ariq cuma kerja sehari di sini? Kok bisa tau banget soal bunga?"
Pertanyaan Ara dijawab dengan kedikan bahu. "Gue cuma suka belajar banyak hal kalau lagi luang." Ia bersiap mengambil bunga tersebut. "Lo jadi ambil ini kan?"
Usai mengangguk, Ariq pun sibuk merangkai bunga itu hingga menyulapnya menjadi sebuah buket yang indah. Untuk ukuran seorang pengganti yang hanya berniat bekerja sehari, Ariq terlihat terlalu profesional untuk posisi tersebut.
"Apa lo mau tulis note buat buketnya?" Sebuah pena dan kartu ucapan pun telah siap di tangan pemuda berkacamata.
Ara membenarkan. "Tolong tulis kalau gue kangen dia."
Pemuda itu menurut. Tersenyum samar melihat ekspresi Ara yang datar dan canggung. Mungkin ia sedikit malu saat mengungkapkan hal barusan. "Lo mau tulis nama pengirim sama penerima juga nggak?"
Ada jeda sejenak sebelum si gadis berdehem. "Dari Tenere Atarah," ucapnya. "Untuk Bara Aditya."
Deru napas tenang dari anak kecil yang terlelap mengirimkan senyuman ke wajah wanita paruh baya itu. Pelan-pelan, ia menarik selimut hingga mencapai dada lantas mengusap kepala anak laki-laki di hadapannya penuh sayang.
Karena kematian putra dan suaminya dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun silam, wanita tersebut merasa kesepian. Ia butuh pelampiasan untuk mengobati rasa kesedihannya. Berkat bantuan dari beberapa teman, dukungan keluarga, dan keyakinan tekad, akhirnya panti asuhan miliknya pun berhasil dibangun belasan tahun lalu. Hingga kini, ia masih dipanggil ibu oleh anak-anak dari panti asuhan yang dirinya kelola.
Selama mendirikan panti, sudah banyak anak yang ia temui. Mereka yang tinggal di panti pun memiliki cerita sedihnya masing-masing. Ada yang ditinggal di depan pintu saat mereka masih bayi, ada yang dititipkan langsung oleh kerabat mereka yang tidak sudi lagi untuk mengurus, beberapa tinggal karena orang tua mereka yang kesulitan ekonomi, dan berbagai macam sebab lainnya.
Tidak terkecuali Ara dan Bara. Ia masih ingat bagaimana anak perempuan yang pendiam itu memasuki panti asuhan. Ia menolak bicara, menolak makan, dan menolak didekati siapa pun. Ibu Panti mafhum dengan sikap Ara yang anti akan semua hal. Ia paham bahwa anak ini perlu diberi perhatian lebih agar bisa terbuka dengan orang lain. Namun, tanpa ia sangka, orang pertama yang berhasil membuka pintu hati Ara yang tertutup rapat ialah Bara—salah satu anak yang telah tinggal di panti sedari bayi.
"Bu...." Rava, salah satu anak panti yang kini terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit Kenanga, melenguh pelan. Matanya masih terpejam, sedangkan alisnya mengerut tak nyaman.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Rava menggeleng. Barang kali anak itu hanya mengigau, karena beberapa detik setelahnya napas Rava kembali teratur, ia kembali lelap dalam tidur. "Mimpi yang indah, Rava," bisik ibu panti pelan.
Ibu Panti yang masih mengamati Rava harus mengalihkan pandangannya saat ponsel pintar yang berada di dalam saku celana bergetar. Ketika ia melihat nama 'Donatur Panti' yang tertera dalam layar, Ibu Panti tanpa sadar menahan napas.
Perlahan, didekatkannya benda pipih berwarna hitam itu ke telinga. "Ada apa ya, Bu Tarina?" sambut Ibu Panti kepada Nyonya Byandara di ujung telepon.
.
.
.
Bagi yang amnesia ibu panti itu siapa, kalian bisa lihat chapter 07 : selindung. Mungkin habis baca chapter itu bisa jadi lebih make sense lagi ya.
Oh iya, biar kalian makin ngerti lagi:
*Mama = emak angkat Ara
*Bunda = emak kandung Ara
*Ibu = ibu panti asuhan
Sekian terima gaji.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top