16 : andai
Bel pulang sekolah tidak pernah terasa selama ini.
Mulai dari mengetuk jari, pandangan yang terus tertuju pada pintu kelas, gerak-gerik tak nyaman, hingga pikiran yang tidak mau lagi diajak kompromi. Guru yang mengajar sudah menegur Semesta beberapa kali agar kembali fokus pada pelajaran. Namun, bagaimana bisa benaknya menerima materi sedangkan perasannya resah begini?
Ketika bel pulang akhirnya berbunyi, Semesta menjadi orang paling pertama yang bangkit dan melesat keluar kelas. Guru sejarah yang masih membereskan barangnya di atas meja pun menatap siswanya itu tak habis pikir. "Teman kalian itu kenapa sih?" Dan serempak, siswa-siswi yang sekelas dengan Semesta menggeleng, sama bingungnya. "Nggak tahu, Bu."
Semesta sampai di XI MIPA 2 ketika anak-anak kelas itu baru saja keluar. Guru yang baru selesai mengajar di kelas Ara pun sampai mengernyit melihat kehadiran Semesta yang buru-buru, seperti dikejar sesuatu. Ia memilih berlalu pergi setelah Semesta menunduk takzim ketika melihatnya.
Ara yang berada di ambang pintu mengangkat alisnya, tidak menyangka orang yang pertama kali ia lihat ketika keluar kelas ialah Semesta. "Lo kenapa? Ada masalah?"
Pemuda itu menggeleng. Ia menegapkan tubuh. "Gue cuma pengin ketemu lo doang." Semesta melanjutkan, "Mau ke kafe dulu gak?"
Mereka berdua lantas berjalan menyusuri koridor menuju gerbang. Sesekali Ara mendongak, mencuri pandang ke arah Semesta yang entah mengapa terlihat begitu gugup. Tubuhnya yang lebih menjulang dibanding siswa-siswi lain berjalan kaku di sebelah Ara. Dengan tarikan napas panjang, gadis itu menarik ujung hoodie Semesta agar menatapnya. "Apa ini karena kondisi ayah gue yang tadi pagi gue bilang? Kalau karena itu lo nggak usah khwatir. Gue nggak apa-apa."
Tubuh Semesta sempat membatu. Ia berdehem sebentar. "Khawatir? Gue nggak khawatir kok." Oke, jawaban itu sangat buruk dan memalukan. Apa Semesta kira dia ini protagonis tsundere di sebuah manga? Untung saja Ara meresponnya dengan senyuman simpul. Jika tidak, Semesta akan langsung menguburkan diri di bawah aspal jalanan sekarang juga karena malu.
Mereka akhirnya sampai di Kafe Delight, tapi sialnya kafe itu sedang ramai. Tidak ada satu pun kursi tersisa. Hampir semuanya sudah terisi, didominasi oleh remaja berseragam yang baru saja pulang dari sekolah.
Maka dengan hati kecewa, resah, dan jengkel, Semesta angkat kaki dari kafe langganan mereka. Keduanya duduk di halte bus dengan Ara yang membisu menatap jalanan yang membentang di depan mata. Gadis bermata cokelat kopi itu menyandarkan punggung, memejamkan mata seraya membuang napas panjang.
Di tengah keheningan, Semesta makin uring-uringan. Ia tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan agar Ara bisa kembali bersikap seperti biasa lagi. Dia juga tidak mengerti mengapa perubahan dari gadis itu menjadi suatu hal yang wajib ia tangani dan khawatirkan. Sebelumnya Semesta tidak pernah merasa seperti ini. Tidak pada mantannya, temannya, atau bahkan orang tuanya. Semakin lama Ara diam, Semesta semakin merasa tertekan. Ia harus mengucapkan sesuatu. "Ara—"
"Mau ke rooftop Rumah Sakit Kenanga nggak?" tukas Ara tiba-tiba.
"Eh? Ngapain?"
Mata Ara mengawan, mencari jawaban yang tepat. Namun, otaknya tidak juga kedatangan alasan yang bagus. "Pengin aja," katanya sembari mengangkat bahu. "Sekalian jengukin ayah gue kalau lo mau."
Semesta berkedip-kedip. Gadis itu telah menyihirnya berkali-kali, tetapi senyuman tipis itu ialah mantra yang paling magis. Maka, bagaimana bisa Semesta mengatakan tidak pada Ara yang sudah bertingkah begini?
Keadaan rooftop rumah sakit tidak banyak berubah dari yang terakhir kali Semesta lihat. Meski begitu, ia tidak dapat menampik fakta bahwa dirinya merasa cukup canggung. Terlebih ketika mereka mendekat ke bibir atap, tempat Semesta nyaris melompat jika saja Ara tak menariknya dari belakang. Dirinya yang dulu datang untuk mati di atap ini tidak akan pernah menduga bahwa kelak Semesta akan berdiri di tempat yang sama dengan orang lain di sampingnya, terlebih dalam keadaan masih hidup--bukan sebagai arwah.
Tidak sesepi pada malam hari, ada beberapa orang yang tampak di rooftop sore itu. Tiga di antaranya ialah pemuda-pemudi yang mengenakan jas putih. Wajah mereka terlihat lelah dengan lingkaran hitam di bawah mata. Sedangkan yang lain ialah keluarga pasien yang datang untuk mencari udara segar.
"Ra?" Si empu nama menoleh ke arah Semesta. "Lo ... beneran nggak apa-apa?"
Ara kembali diam. Mulutnya mengatup rapat. Perkataan Om Adi terngiang di kepala. Ketika ia membuka mulut untuk menjawab, ia justru tidak berani mengucapkan apa-apa. Ara mengangkat kepala, menatap Semesta lama. Ketika pemuda itu mendekapnya, barulah Ara sadar kalau pipinya sudah basah karena air mata. Mungkin ia sudah lama tidak menangis, atau mungkin dirinya sudah lelah untuk berduka. Namun, tangis Ara begitu senyap sampai membuat Semesta takut.
"Ara...." Semesta mengeratkan pelukan. Rambut Ara yang berbau mint dan bahunya yang bergetar kecil tertanam di benaknya. Ia ikut menutup mulut. Tidak ingin bicara apa pun sampai akhirnya gadis itu yang angkat suara. Masa bodoh jika mereka harus berdiri di sini sampai malam dan banyak orang yang menatap penasaran. Semesta bisa mengabaikan itu semua sampai Ara mau bercerita padanya.
Ara melepaskan pelukan. Ia mengusap wajah yang memerah dan dengan senang hati, tangan Semesta menjeremba. Menghapus jejak-jejak air mata di sana. Pemuda itu menangkup wajah Ara, mengamati gadis itu baik-baik dengan perasaan buruk yang campur aduk.
Ia tidak suka melihat Ara menangis. Jantungnya berdetak begitu lambat ketika Ara sedih. Bisa jadi jantungnya mencelus berhenti jika Ara terus-terusan begini. Andai mampu, Semesta bersedia agar kabut kesedihan itu dibagikan juga kepadanya. Toh, ia sudah terbiasa nelangsa.
"Ada gue, Ra," ucapnya pelan. "Ada gue di sini."
Gadis itu menunduk. Terbata-bata ia bercerita tentang kondisi ayahnya yang sekarat. Tentang bagaimana dia akan bersikap dalam sembilan bulan ke depan. Juga tentang harapan yang musnah dan andai-andai yang tak terlaksana.
"Kalau ayah gue pergi, gue harus gimana?"
"Gue bakal selalu ada buat lo."
"Tapi kalau lo juga nggak ada, gue harus apa?"
"Itu ... nggak bakal pernah terjadi."
Semesta menebar janji untuk menenangkan Ara. Ia tidak berpikir panjang, yang ia tahu dirinya harus melakukan sesuatu agar keresahan gadis itu sedikit terobati. Tapi ... siapa sangka bahwa suatu saat janji itu akan berbalik menyerangnya? Sesuatu yang tragis sudah menunggu Semesta, tersenyum mencemooh di ujung sana. Menyaksikan harap-harap berguguran, terkekeh ketika melihat derita yang kelak akan mereka lalui di ujung jalan.
Adi Handjaja menghela napas. Sedikit frustrasi melihat Hari yang tetap bergeming. Ia menatap punggung temannya yang tengah berbaring itu baik-baik. "Hari ini Ara nggak datang 'kan?" Lawan bicaranya tidak membalas. "Aduh, Hari! Kamu ini bikin saya kesal lama-lama. Saya kan sudah bilang kalau setidaknya kamu harus jelaskan ke Ara tentang kondisi kamu dan buat dia mengerti. Kamu ini satu-satunya keluarga buat dia!"
Hari memejamkan mata. Tangannya melambai, sebagai gestur untuk menyuruh Adi agar segera pergi. "Bukannya kemarin kamu sudah kasih tahu ke anak itu tentang kondisi saya? Apa lagi yang mau saya jelaskan? Dia bakal datang ke sini kalau mau. Ya kalau nggak, tunggu saja nanti sampai emosinya reda dulu."
Pemilik rumah sakit itu menggeleng-geleng. Jika saja Hari bukan seorang pasien yang terbaring di atas ranjang rumah sakit karena kanker stadium akhir, Adi akan segera menarik temannya itu. Kalau perlu menyeretnya jika ia masih keras kepala juga. Hari benar-benar butuh bicara dengan Ara sekarang, mengucapkan kata-kata menenangkan meski itu semu semata. Setidaknya Hari perlu sedikit bertanggung jawab karena telah merahasiakan kondisinya yang makin parah dari putri satu-satunya.
Namun, watak Hari memang sekeras batu. Maka ia tetap tidak mau menurut. Adi yang sudah sebal akhirnya memutuskan angkat kaki dari ruang inap.
Malam itu Ara tidak sempat mengunjungi sang ayah karena ia sibuk menangis di atap bersama Semesta.
Langit yang polos menyambut Hari murung dari balik jendela. Ia menatap kejauhan. Mencoba memikirkan bagaimana anaknya akan hidup ketika ia sudah tiada nanti. Namun, langit menggeleng. Tidak memberi jawaban apapun atas kegelisahan yang mengendap di dalam kepala.
Lebih dari siapa pun, Hari sangat ingin hidup. Ia masih ingin tinggal di sini. Ada banyak hal yang belum ia lakukan walaupun sudah setengah abad tinggal di dunia. Salah satu masalah manusia yang tengah sekarat ialah mereka punya terlalu banyak keinginan, tapi sedikit waktu untuk mewujudkannya. Tidak pernah merasa cukup, apalagi bersyukur. Padahal waktu sudah memberi segalanya, tapi mengapa ia tidak pernah bisa dihargai?
Hari membuang napas. Kembali menghabiskan malam dengan terjaga dari tidurnya.
.
.
.
Editannya Bara paling bagus ya wkwk.
Btw pengen nanya dong. Kalau misal sebelum mati kalian dibolehin denger satu lagu, kalian bakal dengerin lagu apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top