14 : ambisi
Ariq tahu bahwa ia tidak bisa mendapatkan semua hal yang dia mau, sedangkan Semesta bisa. Orang tua Semesta lebih dari mampu untuk mewujudkan apa pun yang putra mereka inginkan. Berbeda dengan dirinya.
Sedari kecil, Ariq tidak pernah bisa akur dengan kedua kakaknya. Mereka terlalu nakal, berisik, dan sok tahu. Teo, kakak pertamanya ialah sosok yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak terhitung berapa kali ia mengamuk, menuntut ayah untuk membelikan barang mahal agar harga dirinya terselamatkan. Teo bahkan memaksa sang ayah kendati keadaan ekonomi mereka tengah tercekik agar dirinya mampu bersekolah di luar negeri saat itu. Katanya agar ia bisa sukses, berjanji manis bahwa kelak dirinya akan mengganti uang dan usaha yang ayahnya berikan dengan berkali-kali lipat. Namun, sekarang bagaimana? Teo memang mapan, sukses, dan sudah berkeluarga, tetapi ia justru menganggap ayah dan adiknya di rumah sebagai makhluk tak kasat mata. Teo lebih memilih kehidupan mentereng di luar negeri dan membuang jauh-jauh riwayat hidupnya semasa berlindung di bawah nama Jaya Adiyan. Ia bahagia, dan tidak ingin repot-repot membagikan kesenangan itu pada orang yang paling berjasa padanya.
Jangan lupakan tentang Galih, bajingan pembuat onar yang angkat kaki dari rumah dengan alasan merantau beberapa tahun silam. Bisnis inilah, investasi itulah, semua alasan ia pakai. Akal bulus dan bujuk rayunya tidak pernah habis. Ariq tahu bahwa Galih kecanduan berjudi dan main perempuan dari teman kakaknya yang sempat mengabari—mungkin si teman merasa kasihan dengan ayah si Galih yang kerap kena tipu anak sendiri. Berkali-kali Ariq meyakinkan Pak Jaya untuk berhenti meladeni Galih, tetapi pak tua itu tetap keras kepala. Menulikan kuping dan tetap mengirimkan uang dengan patuh setiap kali putra keduanya meminta.
Ariq benci dengan keluarganya. Namun, ia lebih murka dengan sikap pasrah sang ayah. Jaya Adiyan bahkan tidak berkutik ketika istrinya meminta bercerai. Alih-alih memohon, dia hanya diam seribu bahasa ketika perempuan yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun itu berjalan keluar dari rumah sembari membawa koper besar. "Silakan pergi. Saya tidak mau menghalangi orang yang tidak ingin lagi tinggal di sini," ucap Jaya tanpa segaris pun emosi.
Rasanya Ariq nyaris gila. Hanya ibu alasannya bertahan di rumah, tetapi setelah perceraian terjadi, ibunya semakin sukar dihubungi. Dia hampir putus asa. Menggorok lehernya dengan pisau dapur agar membuat ibu kembali ke rumah adalah salah satu ide liar yang sempat terlintas di benak Ariq kala itu.
Lantas, di sana ada Semesta. Wajahnya tanpa beban, nyaris kosong. Hal yang ia lakukan setiap hari di kelas hanyalah tidur dan meminum berkotak-kotak susu stroberi dari kantin. Semua orang memujanya—tuan muda kaya yang berasal dari keluarga berpengaruh. Ia rupawan dan sikapnya misterius.
Di akhir semester ketika mereka masih mengenakan seragam putih biru, Ariq pernah menanyakan kepada Semesta, "Lo pengin lanjut ke SMA mana?"
Seperti biasa, tatapan Semesta selalu mengambang. "Gak tau. Kalau lo?"
"Gue mau lanjut ke sekolah swasta yang terkenal itu." Ariq melanjutkan, "Tapi SPP-nya mahal banget. Mungkin gue mau coba program beasiswa. Semoga aja gue bisa keterima."
Semesta menopang dagu. "Lo pasti keterima. Lo kan murid yang paling pintar seangkatan."
Mata hazel itu menatap iris legam Semesta yang melemparkan pandangan bingung, tidak mengerti mengapa Ariq terlihat tidak percaya diri. "Itu aja gak cukup sebagai jaminan, Ta. Banyak siswa dari sekolah lain yang lebih unggul dari gue. Apalagi katanya cuma tiga orang yang bisa dapat beasiswa. Itu pun lewat seleksi ketat, dan kalau udah dapat gue harus terus tingkatin prestasi sama jaga sikap biar poin gue gak berkurang plus biar nggak kalah juga sama siswa lain."
Lantas, kalimat itu terucap. Kalimat yang membuat Ariq mengerti mengapa ia selalu iri dengan temannya ini. "Lo mau gue bantu? Mama atau Papa gue pasti bisa biayain sekolah lo sampai lulus SMA kalau lo mau." Semesta mengedikkan bahu tak acuh. "Sama kayak sekarang. Yang tanggung biaya SMP lo kan orang tua gue."
Tangan Ariq berhenti menulis. Ia tersenyum sarkas, meski Semesta terlalu dungu untuk memahami arti senyuman tersebut. "Gue nggak mau." Ariq meraih pulpen, kembali meneruskan catatannya. "Gue pengin bisa sekolah dan dapat beasiswa tanpa andalin siapa pun lagi. Gue nggak mau terlalu banyak berhutang sama keluarga lo."
Semesta mengerjap. "Yah, terserah lo kalau gitu."
Bayang-bayang Byandara perlahan sirna ketika Ariq berhasil meraih beasiswa dan bersekolah di tempat prestise yang ia inginkan. Meski berada di tempat kedua, dirinya sudah sangat bersyukur. Akhirnya Ariq bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan keluarga Semesta lagi.
Saat upacara penerimaan siswa baru itulah Ariq bertemu dengan Bara Aditya, si penerima beasiswa yang berhasil menyabet urutan pertama. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, ketika berjalan posturnya agak membungkuk, kulitnya putih mendekati pucat, dan ekspresinya begitu datar. Ketika ia naik ke podium dan kata selamat diberikan kepadanya, Bara hanya tersenyum simpul. Mengatakan beberapa hal dan rasa terima kasihnya kepada pihak sekolah atas beasiswa yang ia dapatkan. Setiap kalimat dari mulut Bara meluncur dengan tegas. Begitu yakin, seperti lisannya tak pernah mengenal kata ragu sekali pun.
Di tengah keterpakuan Ariq, terdengar embusan napas yang mengganggu dari sebelahnya kemudian disusul suara menguap. Semesta yang juga masuk ke sekolah swasta ini lewat jalur belakang tampak berdiri dengan malas-malasan. "Dia yang ngalahin lo jadi urutan pertama kan?" bisiknya tatkala Bara turun dari podium.
Ariq menoleh tak minat. "Orang yang masuknya nyogok gak usah banyak bacot." Putra tunggal Byandara itu kemudian terkikik geli.
Ketika hendak kembali ke barisan, mata Bara dan Ariq tak sengaja berserobok. Wajah itu tanpa ekspresi, tetapi di saat bersamaan matanya terlihat bersemangat. Gerak-geriknya kikuk, namun di satu sisi derap kakinya terdengar memijak begitu mantap. Sejauh ini Ariq tidak pernah bertemu seseorang dengan pesona kontradiktif seperti yang Bara pancarkan hari itu.
Ariq menelan ludah. Ia memang bersyukur telah menerima beasiswa, tetapi dia tidak pernah bilang bahwa dirinya puas berada di urutan kedua. Dia jadi menginginkan sesuatu yang lebih, tempat di mana dia bisa berbicara di podium dan diberi selamat oleh kepala sekolah, tempat di mana semua mata tertuju padanya, tempat di mana ia bisa berdiri sendiri dan diakui oleh semua orang. Dan Ariq melihat tidak ada tempat yang lebih cocok baginya selain tempat yang dipijaki Bara saat ini.
Ariq ingin mengalahkan Bara, menyingkirkan dia dari pusat atensi para guru. Namun, Bara tampak terlalu ideal. Dia pintar, cerdas dalam bertindak, dan kritis saat berpikir. Tidak ada celah untuk menjatuhkan figur yang sempurna itu. Ia bagai pohon kelapa yang tinggi menjulang dan Ariq hanya manusia biasa yang mencoba menggoyangkan daunnya dengan tiupan napas—sebuah pekerjaan yang sia-sia.
Namun, ketika ia kira Bara mustahil untuk dikalahkan, sebuah cara untuk membuat celah justru datang dari orang yang tidak disangka-sangka. Belum genap satu semester mereka menjadi anak SMA, Semesta tiba-tiba berkata, "Tau nggak? Kemarin gue ketemu perokok yang lebih parah dari lo."
Ariq mengangkat wajah dari bukunya dengan malas. "Gak nanya."
Semesta tidak peduli, ia terus melanjutkan ucapannya, "Lo tau Bara kan? Si ambis kesayangan guru yang ngalahin lo itu." Ia melanjutkan, "Gue ketemu dia di mini market dan dia bau rokok banget. Entah berapa bungkus yang udah dia habisin. Image-nya di dalam sama di luar sekolah bener-bener beda banget."
"Gue juga ngerokok. Asal dia gak ketahuan sama pihak sekolah sih poin sikapnya gak bakal dikurangin," Ariq menyahut. Lantas ia terdiam sejenak. Beberapa detik berlalu dan Ariq tidak mengucapkan sepatah kata pun. Momen ketika ia sadar tentang apa yang dirinya temukan, senyuman lesung pipi spontan mengembang.
Kalau belum ketahuan, Ariq tinggal mengadu saja 'kan? Jika tidak bisa menjatuhkannya dengan cara adil, tinggal bermain kotor sedikit tentunya bukan sebuah masalah besar.
Alhasil, Bara dipanggil oleh pihak sekolah usai pelaporan itu. Dia kembali ke kelas dengan wajah kusut seraya berjalan menghampiri Semesta. "Lo 'kan yang laporin?"
Mata legam Semesta mendelik. "Apaan sih?"
Bila bagi Ariq beasiswa ialah cara untuk lepas dari bayang-bayang Byandara, maka bagi Bara beasiswa ialah hidup dan masa depannya. Bara tidak punya apa-apa lagi selain itu. Dia tidak punya keluarga yang bersedia untuk menyokongnya dan panti terlalu miskin untuk mendukung pendidikan Bara.
"Sialan. Lo pikir gue takut sama lo?" Tangan Bara mengepal. Peringatan serta ancaman dicabutnya beasiswa membuat ia tak gentar. "Dimata gue, lo sama sekali gak nyeremin atau nakutin. Gue cuma kasihan. Lo kaya, tapi dalam diri lo ... lo sama sekali nggak punya apa-apa."
Semesta mengernyit. Tidak ada angin, tidak ada hujan, anak ini tiba-tiba menghinanya di depan banyak orang. "Apa lo bilang?" Bibirnya menyeringai walau netra legam itu menampilkan geraman emosi yang begitu kentara.
Ariq menelan ludah. "Ta, udahlah."
Namun, amarah Semesta tersulut sepenuhnya ketika satu pukulan dari Bara melayang duluan ke pipinya. Kaget, pemuda itu menatap si bintang kelas dengan pandangan nyalang. Kekacauan terjadi. Bara berakhir tak sadarkan diri sementara Semesta lepas kendali.
Di dalam UKS, pemuda yang telah Ariq kenal selama bertahun-tahun itu hanya diam dengan alis menukik berang. Wajahnya memar, meskipun tak separah Bara. Dengan suara tajam ia berkata, "Ini pasti karena masalah ngerokok itu. Lo 'kan yang laporin dia?"
Ariq tercekat. Namun, segera ia menetralkan ekspresinya. "Gue cuma ngomong apa adanya."
"Gue yakin yang lo laporin ke guru-guru jauh lebih buruk. Kalau gak, bajingan itu gak mungkin bakal semarah tadi kan?" Wajah Semesta mengeras. Ia menatap teman sedari kecilnya dalam-dalam. "Apa ini ada kaitannya soal beasiswa lo? Jangan bilang lo mau jatuhin Bara dengan cara rendahan kayak gini?"
Suasana UKS terasa mencekik. Atmosfer dingin merebak dengan cepat. "Kalau lo tau, kenapa lo masih nanya? Lagian masalah apa pun yang lo buat bakal diberesin kan sama orang tua lo? Beda halnya kalau gue yang buat masalah. Jadi, gak apa-apa dong kalau gue pakai cara kayak gini." Jeda lima detik. "Semesta, lo harus ingat ya. Walaupun gue yang laporin Bara, tapi yang mukulin dia itu lo. Gue gak salah apa-apa."
Dahi Semesta berkerut. Wajah dingin Ariq terlalu asing dalam ingatannya. Waktu itulah ia sadar bahwa anak kecil berambut mangkuk yang pernah menawarkannya permen stroberi telah hilang, ditelan bulat-bulat oleh setan bernama ambisi yang tersenyum bangga di sudut ruangan.
"Hah! Dasar gila."
Menggelikan sekali, sehingga Semesta tidak mampu menahan senyuman sepatnya. Selama ini dia kira hanya dirinya saja yang rusak, tenggelam, hilang dalam sebuah kenangan yang mengada-ada. Ternyata sahabatnya itu sama gilanya. Semesta yang senang menindas dan Ariq yang rela melakukan apa saja untuk mewujudkan ambisinya. Mereka bilang orang-orang akan berkumpul dengan sesamanya, tidak Semesta sangka bahwa perkataan itu memang benar adanya.
.
.
.
Chapter ini full Ariq. Kalian kesel gak? Gue sih suka. Hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top