13 : reda
Semesta membuka kedua mata, merasakan denyutan nyeri yang bersarang di kepala semakin parah. Langit-langit ruang tengah menggantung di depan mata. Ketika Semesta mendapatkan akal sehatnya kembali, ia pun membeku di tempat. Tubuhnya terbaring di sofa dalam balutan selimut, kepalanya berada di atas bantal empuk, dan lengannya yang luka telah diperban seadanya. Lantas ia mengamati gadis yang tertidur tak jauh darinya baik-baik. Memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Namun, bagaimanapun juga, gadis yang tengah terlelap dengan kaki terlipat di atas sofa single itu memang orang yang ia kenal, yang ia harapkan kehadirannya; Ara.
Mulut Semesta mendadak terasa kering, kepalanya makin pening, tapi perasaannya justru senang bukan main. Di tengah-tengah rasa yang menggebu-gebu itu, jantung Semesta nyaris jatuh ke perut ketika melihat kelopak mata Ara bergerak, membuka perlahan, menatap Semesta terang-terangan.
"Lo udah bangun." Ara mengusap wajah yang masih kantuk. Ia menyugar rambutnya, membiarkan poninya berantakan ketika bangkit dari sofa. "Apa ada yang sakit? Lo mau ke rumah sakit gak?"
Semesta mendadak bisu, kehilangan kosa kata, lupa bahwa komunikasi verbal itu ada. Sebagai gantinya, ia hanya menggeleng pelan. Menyaksikan Ara membungkuk memeriksa perbannya, meletakkan telapak tangan di kening demi memastikan suhu tubuh Semesta yang normal.
"Kalau gitu lo harus makan. Lo belum makan kan semenjak pulang dari kafe?" Gadis itu bangkit lagi, hendak berjalan menuju dapur sebelum akhirnya Semesta menarik ujung kemeja Ara untuk berhenti. "Kenapa?"
Perasaan yang sempat senang beberapa detik lalu kembali gamang. Benak yang mulanya kosong kini sekonyong-konyong semarak oleh berbagai pemikiran, dugaan, menyusun sebuah konspirasi. Apa yang akan Ara pikirkan tentangnya? Mengingat bahwa dirinya yang mati-matian mendorong Ara menjauh, tetapi dia pula yang paling pertama jatuh di pelukan gadis itu. Konyol sekali.
Melihat dirinya yang terbaring di sofa sambil diselimuti begini, itu berarti ia sempat hilang kesadaran saat di depan pintu tadi. Semesta bahkan tidak berani membayangkan bagaimana cara Ara membawanya yang tidak sadarkan diri ke atas sofa sampai mengobati luka di lengannya.
Hah ... memang benar Semesta tidak ingin hidup, tapi bukan berarti dia mau mati dengan harga diri ternodai seperti ini. Dasar memalukan, rutuk Semesta berkali-kali. Sudah memalukan, merepotkan pula. Rasanya Semesta ingin menjedotkan kepala di pintu sekarang juga agar pikirannya bisa lurus sedikit.
"Maaf," kata Semesta dengan serak. Ugh, bahkan kalimat pertama yang ia ucapkan setelah semua hal memalukan ini terdengar buruk juga.
Ara tidak membalas, dan Semesta sudah siap jika gadis tersebut akan mencecarnya. Bahkan hinaan dan umpatan pun akan Semesta terima dengan lapang dada asalkan kalimat itu datangnya dari mulut Ara. Namun, yang dirinya terima justru sentilan di dahi. Tidak terlalu perih, tapi cukup membuat Semesta kaget. Ia mengangkat kepala dengan wajah bingung, dan netra cokelat kopi Ara memerangkap Semesta sepenuhnya.
Mata itu berkilat-kilat cemerlang. Ia tersenyum lembut laksana surya yang mengecup bumi di pagi hari. "Lo harusnya minta maaf sama diri lo." Ara menunjuk lengan Semesta. "Lo jahat banget loh sama diri sendiri. Gak sayang apa?"
Semesta menarik lengan, berusaha menyembunyikannya ke dalam selimut. "Gue gak nyangka lo beneran datang." Benar, Semesta tidak berekspektasi banyak. Tangan yang sudah penuh luka, lantai pualam yang berwarna darah, dan ucapan tidak masuk akal Bara sudah mampu membuat pikirannya mengambang. Mabuk akan imajinasi negatif. Maka saat ia menyebutkan alamat unit apartemen yang dia tinggali pada Ara, Semesta tidak menduga gadis itu akan melesat secepat kilat hanya untuk berdiri di ambang pintu, menekan bel, dan memastikan bahwa laki-laki yang menyeretnya keluar dari kafe sore tadi baik-baik saja.
Bahu itu terangkat tak peduli. "Gue kan udah bilang bakal datang." Ia menyambung, "Lo mau cerita ke gue gak? Tentang alasan lo lakuin hal ini. Apa ini ... ada kaitannya sama orang-orang di kafe tadi?"
Ara memang terlalu peka untuk dibohongi. Apa perasaan Semesta memang semudah ini dibaca oleh gadis itu? "Mungkin." Jeda tiga detik. "Sarah sama Ariq itu teman gue di sekolah lama. Cuman hubungan kita sekarang lagi gak baik, terutama Ariq."
Terdengar helaan napas. Ara tampak pasrah dengan penjelasan Semesta kendati di kepala masih ada 1001 tanya yang menanti untuk dijawab. Ia kemudian berjalan menuju dapur, membuka sebuah plastik putih berisi makanan. "Makan dulu gih. Gue udah pesanin makanan pas lo masih tidur tadi."
Kotak styrofoam dibuka, menampilkan bubur ayam yang sudah dingin. "Sekarang udah jam berapa?"
"Jam 3 malam. Atau gue harus bilang 3 pagi ya?"
"Eh?" Semesta berhenti menyendokkan bubur. "Lo nginap semalaman dong di sini?"
Ara mengangguk tanpa beban. "Iya. Lagian masih ada banyak waktu kok sebelum berangkat ke sekolah. Jadi lo santai aja."
Tidak-tidak. Bukan itu poin utamanya. Semesta menggeleng panik. "Orang tua lo gimana? Kalau mereka tau anaknya nginap di rumah laki-laki gimana?"
"Gue tinggal sendiri kok. Ayah gue di rumah sakit, mama udah meninggal. Jadi, gak bakal ada yang tau kalau gue gak pulang semalaman." Gadis itu tersenyum jail. "Emang lo mikirin apa sih? Gue kan cuma rawat lo yang lagi sakit."
Kuping Semesta memerah, mendidih panas. Takut-takut jika ia mendengar tawa Ara lebih banyak maka dia akan meledak tiba-tiba. Segera pemuda itu mengalihkan wajah. Berusaha menelan bulat-bulat rasa malu yang menjalar di setiap sisi tubuhnya.
Namun, Ara tidak berniat untuk memberi jantung Semesta istirahat. "Semesta," suara itu begitu lugas, mulus, tanpa cacat. Ini pertama kalinya Ara menyebut namanya tanpa embel-embel 'mas'. Hanya ada nama itu, dieja setiap suku kata. Se-mes-ta. "Mau gak lo janji sama gue kalau setiap kali lo ada pikiran buat lukain diri sendiri, lo harus telepon gue dulu sebelumnya? Gue sedih banget loh liat lo luka-luka gini."
Jeda yang diberi Ara mampu membuat leher Semesta tercekat tiba-tiba. "Gue ... gue gak suka liat orang yang gue sayang luka atau kesakitan."
Bubur yang dingin itu terasa hambar, lantas beberapa detik kemudian terasa pedas, ketika sampai di kerongkongan, rasa manis yang familiar seketika menggerogoti daksa Semesta. "Orang yang lo sayang?" Dari sekian banyak kata yang Ara ucapkan, ia berhenti di satu kata itu. "Maksudnya gue?"
Senyuman simpul mendesaki wajah Ara. Hal ini membuat desakan di dalam dada dan gelitik pelan di perut Semesta semakin parah. "Makanya, jangan pendam semuanya sendiri lagi ya? Kan ada gue."
Pendar hangat menyalur di sekujur raga Semesta tanpa aba-aba. Ia tidak menyahut apa-apa lagi, lebih tepatnya tidak mampu. Ara seperti mimpi baginya. Sampai sekarang pun Semesta takut jika sewaktu-waktu ia bangun dan menyadari bahwa segala perhatian, ucapan, sikap, dan eksistensi gadis itu hanyalah bayangan yang bercokol di kepalanya. Delusi akan hal yang begitu dirinya dambakan, tapi tak pernah bisa ia dapatkan.
Namun, setelah hari itu berlalu pun Ara tak pernah ingkar. Ia membuktikan perkataannya, kehadirannya yang nyata. Menanyakan kabar, mengobrol, atau sekadar menyapa ringan. Hari-hari sekolah Semesta tidak pernah terlewatkan tanpa kehadiran Ara. Saat libur pun gadis itu kerap mengirimkan pesan singkat.
Kini Ara telah menjelma menjadi rutinitas, sebuah kebiasaan. Janggal bila ditinggalkan. Meskipun acap kali Semesta dan segenap harga dirinya masih menolak percaya akan hal tersebut.
"Teman lo yang hijab ke mana?"
Ara menolehkan kepala. Sepasang matanya terlihat jauh lebih jernih dan berkilau dibasuh cahaya surya. "Namanya Hani." Percuma, Semesta tidak akan mau bersusah payah mengingat nama seseorang yang tidak terlalu dia kenal. Mereka berjalan menyusuri koridor yang ramai oleh siswa dengan seragam serupa. Mereka semua tertawa, bercerita, atau hanya duduk-duduk saja sembari memainkan gawai. "Dia sakit. Gue mau jengukin dia pulang sekolah nanti."
Ah, berarti tidak ada es krim stroberi di Kafe Delight sore ini. Tidak akan ada pulang bersama Ara ketika bel meraung nanti.
"Oh," respon Semesta singkat.
Keduanya berbelok menuju kantin yang lebih padat, sesak oleh para manusia di ujung sana. Samar-samar aroma makanan terendus di indra Semesta. "Omong-omong, tumben banget lo keluar dari kelas pas istirahat. Padahal dulu gue ajakin ke kantin berkali-kali lo gak mau."
Semesta memalingkan wajah. "Gue lapar." Tatapan Ara seperti menuntut jawaban lebih. "Dan gue bosan di kelas."
Benar. Kalimat macam apa lagi yang Ara harapkan bisa keluar dari mulut pemuda di sampingnya? Sudah merupakan sebuah peningkatan jika Semesta mampu keluar dari kelas dan menggadaikan waktu tidurnya dengan jajan di kantin bersama Ara, tanpa diminta-minta pula. Maka, gadis itu hanya tersenyum sekilas.
Hani bersandar dengan wajah lemas di atas tempat tidur. Ia tersenyum melihat teman sebangkunya sibuk menjelaskan tentang berbagai tugas yang baru diberikan serta materi-materi yang dia dengarkan sewaktu di kelas. "Makasih, Ra. Gue bikin repot banget sampai lo harus ke rumah biar gue gak ketinggalan pelajaran gini."
Gadis yang berambut hitam sejajar dada itu menyahut "Makasihnya pake kata-kata doang nih?"
Hani tertawa renyah. "Nanti gue traktir. Pamrih banget sih jadi orang." Usai mengangguk, menyegel janji Hani di dalam kepala, Ara pamit untuk pulang. "Hati-hati, Ra. Maaf gue gak bisa antar sampai depan rumah."
"Gak apa-apa." Ara meraih gagang pintu untuk menutupnya. "Cepat sembuh ya, Han. Jangan sakit-sakit lagi." Gadis itu kemudian menuruni tangga setelah memperbaiki letak ransel di punggung. Samar-samar ia mendengar suara beberapa orang pria di ruang tamu. Semakin jelas setelah Ara menginjakkan kaki pada anak tangga terakhir.
Di atas sofa, tampak Harun—kakak laki-laki Hani—yang juga merupakan siswa kelas 12 di SMA 097. Di sebelahnya ada dua orang laki-laki lagi. Satunya Ara tidak kenal, tetapi pandangannya berhenti tatkala melihat pemuda yang duduk di hadapan Harun. Wajah manis, senyuman berlesung pipi, dan tesmak bergagang besi yang membingkai sepasang mata hazel. Ara ingat jelas di mana terkhir kali ia melihat wajah tersebut.
Harun yang duluan menyadari kehadiran Ara lantas tersenyum ramah. "Ara? Udah mau pulang ya? Mau gue antarin?"
Ara kelabakan—tidak biasanya ia gelagapan di depan orang. Namun, senyuman orang asing di kafe dan bayangan tentang lengan Semesta yang berdarah membuatnya tak keruan. Terlebih ketika pemuda berkacamata itu balik menatap, ikut terkejut melihat kehadiran Ara. "Gak apa-apa, Kak. Aku pulang sendiri aja."
"Yakin?" Harun menaikkan sebelah alis.
Pemuda berlesung pipi mendekat. Ekspresi kagetnya telah berkamuflase menjadi senyuman. "Kebetulan banget kita ketemu lagi, ya?" Ia lantas menoleh pada Harun dan temannya di sofa. "Harun, Fadil, gue pulang duluan gak masalah kan?" Kembali ditatapnya iris cokelat itu lurus-lurus. "Nama lo Ara kan? Oke, kalau gitu kita sekalian pulang bareng aja, Ra. Biar gue yang antar."
.
.
.
Menurut kalian di mana sih letak perbedaan rasa sayang sama suka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top