10 : remedi

Lelaki paruh baya yang mengenakan jas putih itu masuk ke dalam ruangan Hari tak lama setelah Ara pergi. Hari Yudhiro yang meihat rekan kerja sekaligus temannya sedari masa kuliah berdiri di ambang pintu hanya bisa menarik ujung bibir. "Sudah berapa kali kamu datang ke sini? Pergi sana. Bosan saya liat muka kamu. Lagian dokter kok kayak gak ada pekerjaannya gitu?"

"Hari, mungkin kamu lupa. Tapi pemilik rumah sakit ini saya loh. Jadi, saya bebas aja mau ngapain." Adi Handjaja, orang yang kini duduk di kursi tepat sebelah tempat tidur Hari memperbaiki kacamatanya. "Bagaimana keadaan kamu? Apa kamu merasa lebih baik?"

Terdengar helaan napas panjang. "Bukannya sebagai dokter harusnya kamu yang lebih mengerti kondisi saya?"

Adi tersenyum kecut. Betul yang dikatakan sahabatnya itu. Mereka berdua ialah seorang dokter. Hari yang jujur saja selalu lebih unggul darinya dalam bidang medis, pasti tahu betul dengan kondisi tubuhnya sekarang. Maka dari itu setahun yang lalu Hari mengundurkan diri dari pekerjaan dan memilih untuk menaruh perhatian penuh pada kesehatannya. Jika saja Hari terlambat dan tetap memaksakan diri untuk bekerja, mungkin saja ia sudah tiada sekarang.

"Oh iya, saya sempat lihat Ara di lobby tadi. Pengin sapa, tapi dia sudah keburu pergi." Adi Handjaja melanjutkan, "Anak kamu sudah dewasa ya. Bagaimana dia sekarang? Apa ... dia sudah tidak apa-apa lagi? Saya ingat kamu sangat khawatir pada Ara saat istri kamu dulu baru saja meninggal."

Hari terdiam. Perlahan matanya melirik ke arah foto berbingkai yang sengaja Ara taruh di atas nakas. Foto seorang gadis berseragam putih biru itu tersenyum simpul ke arah kamera sembari menggandeng tangan Hari. "Iya. Dia sudah tidak apa-apa," ucapnya. "Setidaknya saya harap dia baik-baik saja sekarang."

Lima tahun lalu, istri Hari tewas karena kecelakaan.

Keluarga dan kebahagiaan yang ia kira akan bertahan selamanya lenyap pada hari berhujan itu. Masih dirinya ingat betul bagaimana ponselnya berbunyi saat dia masih berada di rumah sakit. Suara tegang pihak kepolisian yang menyambut Hari di ujung telepon ketika mengucapkan, "Istri bapak kecelakaan. Saat ini jasadnya sedang dibawa ke rumah sakit terdekat."

Ada banyak hal yang terlintas dalam pikiran Hari Yudhiro saat itu. Apa telepon ini hanya penipuan? Atau mungkin saja ini adalah sebuah kejutan yang sang istri dan putrinya, Ara, diam-diam siapkan untuknya? Tapi, suara itu terlalu meyakinkan untuk disebut kebohongan. Pun perasaan Hari semakin tidak enak seakan instingnya berusaha berteriak bahwa ada hal tidak beres yang tengah terjadi.

Jasad? Apa orang di ujung telepon yakin bahwa itu adalah pilihan kata yang tepat? Berarti ... istrinya sudah tewas? Hari tidak lagi bisa merasakan jemari hangat sang istri ketika membangunkannya di pagi hari? Benarkah ini semua nyata?

Bahkan hingga pemakaman berlangsung, Hari masih menolak percaya bahwa jasad yang berada di dalam peti itu ialah istrinya. Ketika orang-orang menangis dan mengucapkan turut berduka cita pun, ia masih merasa bingung. Sampai akhirnya Hari melihat Ara. Satu-satunya orang di pemakaman yang menampilkan ekspresi sama seperti dirinya; linglung dan hilang arah.

Hal ini begitu mengerikan karena gadis berumur sebelas tahun itu bahkan bukan putri kandungnya. Namun, cara mereka berduka sama persis bagai pinang dibelah dua. Bedanya ialah Ara tidak mampu menanggung semua kesedihan itu terlalu lama. Sebab beberapa hari setelah pemakaman, ia mulai bertingkah aneh. Menutup diri di kamar dan tidak mengucapkan sepatah kata pun — baik di rumah maupun di sekolah. Anak itu seperti membisu. Menangis dalam kekosongan. Kesusahan menemukan emosi yang tepat untuk dia utarakan sampai hari di mana dirinya meledak pun tiba.

Sudah petang, tapi Ara tidak juga keluar dari kamar. Hari berusaha membujuk putrinya untuk keluar berkali-kali namun nihil. Lantas, raungan mulai terdengar dari dalam. Segera Hari mendobrak pintu dan menyadari bahwa Ara berada di dalam lemari. Meringkuk memeluk lutut, bersembunyi pada sesuatu yang tak berwujud.

Ketika tubuh itu Hari dekap, Ara hanya mengatakan hal yang sama berulang-ulang, "Tolongin Ara, Ayah." Dia tersedu, gemetar tanpa ampun. "Ara takut."

Pagi demi pagi berlalu dan rutinitas Semesta tidak jauh berubah dari sebelumnya. Hanya saja kini kegiatannya di sekolah bertambah menjadi satu: meladeni Ara.

Setelah memasuki area dalam sekolah, Semesta segera menaiki anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Setidaknya ia berencana begitu sebelum Ara muncul tanpa aba-aba dan menyapanya dengan suara sedatar jalan bebas hambatan, "Pagi Mas Sam."

Semesta tidak menjawab. Meski begitu, Ara tetap mengekorinya di belakang.

"Siang nanti mau ke kantin?" Gadis itu menatap Semesta yang hanya mengangkat sebelah alis. "Oke-oke. Gue tau lo gak mau. Gue cuma basa-basi doang." Kelas XI MIPA 9 kini tersisa lima langkah lagi untuk sampai. Namun, tarikan dari ujung jaket marun yang Semesta kenakan membuatnya terhenti untuk menatap Ara yang tengah mengobrak-abrik tas. "Ah, ini. Jangan lupa diminum ya. Gue sengaja beliin buat lo."

Semesta melihat susu kotak stroberi yang disodorkan oleh Ara. Merasa benda itu familiar di matanya. "Bukannya di mini market depan beli dua roti dapat satu kotak susu kayak gini?" Ara membuang pandangan. "Jangan bilang lo kasih gue barang gratisan terus rotinya lo yang makan?"

Tangan Ara mendarat tepat di bahu Semesta. "Bro Sam, gak ada namanya yang gratisan atau bukan. Yang penting niat gue kasih lo itu tulus kan? Lagian gue liat di kafe lo suka banget sama rasa stroberi, jadinya gue kasih."

Semesta tidak lagi mampu berdebat dengan ocehan Ara. Ia hanya menggeleng dan tertawa kecil. "Terserah lo aja deh, Ra," ucap Semesta lantas melanjutkan perjalanan menuju kelas. Kali ini gadis itu tidak mengikutinya lagi. Namun, si susu stroberi di genggaman justru terus menggentayangi pikiran Semesta hingga bel pulang sekolah berbunyi.

.
.
.

Mukanya Bara terlalu ganteng gak sih? Wkwkwk. Padahal rencananya si Bara ini visualnya biasa aja (apalagi klo dibandingin sama visual Sam dan Ariq — jelas doi kalah jauh) tapi yodahlah, udah terlanjur juga hahaha.

Bayangin aja semau kalian :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top