07 : selindung
Ketika waktu telah menunjukkan pukul lima sore, Ara akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang rawat sang ayah dan berniat kembali ke rumah. Setelah menuruni lift dan sampai pada lobby rumah sakit, gadis itu mengangkat sebelah alis tatkala melihat sosok tak asing yang tengah berjalan tidak jauh di depannya.
"Ibu!" Wanita berusia setengah abad itu menoleh. Sebuah sunggingan kemudian terukir di wajah lelahnya.
"Ara? Kamu habis jenguk ayah kamu?" tanya wanita tersebut setelah Ara, gadis yang dulu sempat tinggal di panti asuhan miliknya, menyambut dengan senyum simpul.
"Iya." Gadis beriris cokelat kopi menyambung, "Maaf aku jarang tengokin Rava lagi. Keadaannya dia gimana?"
Lengkungan di bibir ibu panti menghilang kala nama itu Ara sebutkan. "Rava masih belum ada perkembangan. Untungnya donatur panti selalu siap untuk membiayai pengobatan Rava." Sentuhan ibu panti terasa pada bahu Ara. Sentuhan yang sama lembutnya seperti yang dirinya ingat sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di area panti dan masih belum mengenal siapa-siapa. "Kalau kamu luang, kamu bisa tengokin Rava. Dia pasti senang banget kalau kamu datang."
Gadis berambut sejajar dada itu mengangguk. Ia membalas, "Pasti!" dengan yakin. "Kalau gitu aku permisi duluan ya, Bu. Titip salam buat Rava. Semoga dia cepat sembuh. Ah, dan seandainya ibu nanti butuh bantuan, jangan sungkan untuk bilang sama aku. Ara pasti bakal bantu ibu sebisa mungkin."
Ibu panti terkekeh. Ia mengelus rambut Ara dengan sayang. "Iya, terima kasih. Ibu senang sikap kamu kembali kayak dulu lagi."
Ara hanya berkedip sekali. Kemudian tersenyum begitu samar sebelum berbalik. Melambaikan tangan pada ibu panti yang masih menatapnya dengan pandangan khawatir bahkan ketika punggung Ara sudah hilang ditelan oleh jarak.
"Maafin ibu, Ra." Tanpa sadar kalimat itu meluncur begitu saja tanpa bisa ia kendalikan. "Maafin ibu."
Ada satu ingatan terkutuk yang selalu Semesta sesali seumur hidupnya. Ingatan pada malam itu, sewaktu ia masih di bangku sekolah dasar. Semua bermula ketika Semesta tengah membereskan bukunya sebelum tidur. Malam sudah cukup larut dan keadaan rumah telah hening. Lampu sudah dipadamkan semua. Hanya tersisa lampu dari meja belajarnya saja yang masih menyala.
Anak laki-laki yang baru menginjak usia sepuluh tahun itu mengusap matanya lelah. Menguap sebentar, Semesta keluar dari kamar untuk meneguk segelas air sebelum merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Dengan wajah kantuk, Semesta menuruni tangga. Ia menekan sakelar lampu. Menerangi rumah yang tadinya gelap gulita.
Usai segelas air itu tandas, Semesta berbalik menuju kamar. Sebelum itu ia melintasi kamar orang tuanya. Pintu cokelat penghubung kamar dengan dunia luar terbuka sedikit. Semesta mengerut bingung. Apa mamanya masih terjaga? Pasalnya sang papa sedang tidak ada di rumah sekarang.
Penasaran, Semesta diam-diam mengintip. Yang ia dapati selanjutnya ialah kegelapan. Mata kantuk Semesta mengedip ingin tahu. Ia mendorong handle pintu perlahan. Hendak memeriksa apa yang dilakukan mamanya tanpa tahu bahwa hari itu adalah cikal bakal semua kebohongan keluarganya terbongkar.
Telinga Semesta mendengar dengan jelas, pun begitu dengan matanya yang berfungsi baik di tengah kegelapan.
Siluet sang Mama dengan pria yang bisa ia pastikan bukan papanya terlihat. Menampar keras Semesta pada kenyataan yang seharusnya tidak pernah ia saksikan. Kedua matanya memanas. Air mata tumpah seketika. Sialnya Semesta tertangkap basah oleh pria asing itu. Panik, ia segera mundur. Mengambil langkah seribu menjauhi kamar terkutuk itu.
Mungkin takdir memang sedari awal membencinya. Semesta yang baru menginjak anak tangga kelima tersandung. Ia jatuh dengan suara yang cukup mengganggu. Setidaknya suara itu mampu membuat Tarina, sang mama, keluar dengan pria tersebut.
Semesta yang terjatuh menatap takut. Air mata masih mengiringi detik-detik yang ia lalui. Pria yang bertelanjang dada membuang napas kasar, hampir sama dengan reaksi Tarina yang tidak habis pikir dengan keberadaan Semesta.
Insiden tersebut spontan saja mempengaruhi hidup Semesta. Ia tidak berminat lagi menyentuh bukunya. Bocah laki-laki itu bahkan tidak pernah lagi menatap mamanya. Semesta tidak punya seseorang untuk diajak bercerita. Ia memilih memendam sendiri. Otaknya lebih dari mampu untuk mengerti apa yang mamanya perbuat malam itu. Alhasil, semua berimbas pada kertas ujian kenaikan kelas. Nilainya menurun drastis sehingga Semesta tinggal kelas.
Namun, bodohnya dia. Saat itu Semesta mengira bahwa mama saja yang berdosa dan merasa prihatin kepada papanya, tetapi takdir kembali menunjukkan kuasa akan hidup Semesta yang sudah terlanjur busuk itu. Saat usianya lima belas tahun, ia melihat papanya bermesraan dengan perempuan lain. Perempuan itu masih tampak belia. Dandanannya tebal, dan wajahnya menawan. Sekali lagi dunia Semesta runtuh.
Ternyata bukan hanya mama yang mengkhianati papa. Keduanya memang sepakat menikah walau tidak memiliki perasaan satu sama lain. Mereka punya kekasih di luar ikatan pernikahan ini. Lantas ... apa arti kehadiran Semesta bagi mereka?
Semesta terbangun dengan rasa pening yang luar biasa. Keadaan kamarnya yang gelap kini semakin gulita menandakan malam telah menyingkirkan siang untuk merajai langit. Bagai dipukul oleh puluhan palu godam di saat bersamaan, kepala pemuda itu berdenyut nyeri. Seakan mimpi buruk yang ia dapatkan tatkala menutup mata belum cukup jika tidak membuatnya ikut nelangsa saat membuka mata juga.
Bergegas, Semesta ke kamar mandi. Memuntahkan seluruh isi perutnya. Jika dipikir lagi, bukankah makanan yang terakhir kali ia santap ialah mi instan kemarin malam? Mi instan yang masih setengah keras karena Semesta yang memasaknya terlalu cepat. Sekarang sudah gelap, dan ia belum makan apa pun sejak pagi tadi. Ditambah sekarang dirinya terduduk di depan kloset dengan perut bergejolak tak wajar.
Ketika rasa mual mereda, Semesta dengan langkah gontai berjalan menuju dapur. Berniat untuk mengambil segelas air. Namun, alih-alih mengambil gelas, ia justru melihat sosok yang paling tidak mungkin berada di apartemennya tengah memotong daun bawang di atas talenan. Sosok tersebut kemudian menoleh.
"Mama?" Panggil Semesta ragu. Apa ia masih belum bangun dari tidur?
Tarina Byandara menahan napas. Tangannya berhenti menggerakkan pisau. "Kamu pucat sekali. Kenapa tidak bilang kalau sakit?"
Benar. Semesta tidak bermimpi. Paslanya intonasi dingin yang pada waktu bersamaan terdengar anggun itu adalah milik mamanya semata. Tidak bisa diimitasi, bahkan dalam mimpi sekali pun. "Mama ngapain di sini?"
Tarina berhenti menggerakkan pisaunya. Menatap Semesta dengan pandangan apa kamu buta? "Masak." Dia menyambung, "Kamu duduk dulu. Supnya sudah jadi."
Perempuan dengan rambut terurai sepunggung itu mematikan kompor. Mengambil satu-satunya mangkuk yang tersedia di lemari dapur Semesta lantas menuangkan sup ayam yang sedari tadi ia buat. "Saya cuma mau tau keadaan kamu." Tarina menaburkan daun bawang di atas sup yang mengepul. "Dan ternyata keadaan kamu lebih buruk dari yang saya kira. Apa kamu bolos sekolah karena sakit?"
"Aku gak apa-apa." Dengan wajah sangsi, Semesta duduk di kursi makan. Menatap sup ayam dan mamanya secara bergantian. Ketika seseorang yang selalu mengabaikanmu tiba-tiba bersikap perhatian ditambah membuatkan sup ayam seperti ini, padahal tahu kamu sudah membolos sekolah tentu merupakan hal yang patut dipertanyakan bukan?
Tarina Byandara pun membuang napas ketika melihat putra semata wayangnya kebingungan. Ia mengerling pada arloji di pergelangan tangan. "Saya akan suruh Pak Jaya untuk siapkan kamu obat. Saat kamu sudah sehat, jangan bolos sekolah lagi," ucap si Nyonya Byandara setelah membersihkan dapur lalu meraih tas di atas sofa.
"Udah mau pergi?" Semesta menengok ke arah mama. Wanita pemilik butik yang dulunya pernah berprofesi sebagai model itu sangat jarang ia temui. Satu-satunya kesempatan bagi Semesta untuk melihat paras mamanya ialah saat ia disuruh berkunjung ke rumah atau ada hal yang mendesak. Giliran sekarang Tarina duluan yang mengunjungi Semesta, tetapi mereka hanya bisa bersama dalam waktu yang begitu singkat.
"Habiskan supnya." Balasan yang keluar dari mulut mama sama sekali tidak menjawab pertanyaan Semesta. Namun, wanita itu tampak berhenti sejenak saat melihat sebungkus roti keju dan sekotak susu cokelat tergeletak di sofa. "Kamu suka rasa keju dan cokelat juga? Saya kira kamu hanya suka stroberi."
"Eh?" Agak terperanjat, Semesta mengerutkan kening. Barulah di detik ketiga usai pertanyaan itu dilontarkan ia mengerti apa yang dimaksud sang mama. "Itu ... dikasih teman." Tarina menatap Semesta agak lama. Setelah itu ia hanya berjalan menuju pintu keluar apartemen Semesta. Tanpa perlu memperpanjang percakapan mereka lagi.
Sementara itu Semesta yang duduk terdiam di kursi makan kembali menatap sup ayam bertabur daun bawang di depannya. Perlahan, ia menyendok kuah sup lalu meniupnya. Menyeruput air hangat berbumbu itu hingga sampai di lidah.
Enak.
Seakan-akan sesendok sup tersebut punya kekuatan magis untuk meredakan perut Semesta yang mual dan kepalanya yang tengah pening. Apa semangkuk sup ayam hangat memang semujarab ini? Atau ini semua karena orang yang membuatnya? Sampai sup itu habis pun Semesta masih juga tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya.
.
.
.
Emak-bapaknya Sam emang aura milf sama dilf-nya kuat banget wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top