06 : teman

Sejujurnya, Bara dan Semesta tidak pernah saling berbicara pada bulan pertama semester 1 kelas X dimulai. Meski berada di kelas yang sama, tetapi mereka berdua berada di dunia yang berbeda. Dunia bising dan ramai Semesta terasa kontras dengan dunia senyap Bara yang hanya dihabiskan untuk belajar dan mengerjakan tugas.

Tak pernah bertegur sapa, pun saling bertukar senyuman. Bagai orang asing yang kebetulan ditempatkan di tempat sama dan tak berniat untuk mengusik satu sama lain.

Namun, malam itu Semesta baru saja pulang dari rumah salah satu temannya. Masih mengenakan seragam, pemuda itu berjalan menuju mini market terdekat untuk membeli minuman dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Di sana, ia bertemu dengan siswa panutan satu angkatan. Si penerima beasiswa yang menjadi sanjungan para guru disetiap kesempatan sekaligus remaja laki-laki yang duduk paling depan dan selalu mendengar penjelasan guru dengan khidmat; Bara Aditya.

Semesta mengangkat alis. Pertemuan tersebut jelas berada di luar ekspektasinya. Apalagi saat mereka berdiri berdekatan untuk mengambil minuman dari kulkas yang sama. Kening Semesta spontan berkerut tatkala menghirup aroma yang begitu kentara dari pakaian Bara. "Lo ngerokok sampai berapa batang, sih?" gumaman itu keluar begitu saja.

Bara mengangkat kepala. Ia berkedip beberapa kali. Saat sadar bahwa yang berbicara dengannya ialah wajah yang dia kenali, segera pemuda tersebut membuang muka. "Bukan urusan lo."

"Baru tau siswa panutan juga ngerokok." Semesta mengedikkan bahu tak acuh. Dia sendiri bukan perokok, tetapi teman dekatnya ialah seorang perokok. Maka dari itu hidung Semesta sangat sensitif dengan bau tembakau tersebut. "Bukannya lo masih tinggal di panti? Emang panti asuhan lo ngebolehin anak asuhnya ngerokok? Lagian lo dapat uang dari mana buat beli rokok?" Saat Semesta telah mendapatkan sebotol youghurt stroberi di tangannya, ia pun berbalik pergi. "Well, good luck. Semoga lo gak ketahuan sama panti lo."

Rahang Bara mengetat. Perkataan Semesta justru membuat satu sudut hatinya tersentil. "Sok tau."

"Apa?"

"Dasar orang kaya sok tau." Bara menatap Semesta lurus. "Berlagak paling bener, padahal sendirinya juga rusak. Bikin muak."

Semesta tidak tahu apa yang salah dengan otak si ambisius kesayangan guru itu. Apa kebanyakan belajar membuat kepalanya error dan berhenti bekerja? Setelah melempar tatapan sinis, Bara berlalu pergi dengan menyambar sekaleng kopi dari kulkas.

Kala itu Semesta tidak tahu — dan tidak akan pernah tahu — tentang hal menyebalkan apa saja yang Bara lalui di hari tersebut.

Walau nyaris setiap minggu mereka bertemu di ruang kelas dan menerima pelajaran yang serupa, tetap saja ada tembok besar yang membedakan mereka. Tembok yang paling kukuh dan terlalu bengis untuk sekadar dilintasi. Belakangan, Semesta baru tahu bahwa nama tembok pemisah itu ialah nasib. Sesuatu yang sukar untuk mereka ubah—apalagi untuk dirubuhkan.

Pak Jaya : Hari ini ada urusan mendesak. Jadi saya gak bisa mampir ke apartemen kamu.

Pak Jaya : Kamu bisa pergi sendiri ke sekolah kan hari ini?

Sepersekian detik setelah Semesta membaca pesan itu, bibirnya spontan menyeringai. Akhirnya ia bisa menikmati pagi yang damai setelah berhari-hari terpaksa bangun cepat untuk sekadar berangkat ke sekolah. Tanpa repot-repot memberi respon, pemuda itu langsung mematikan ponsel dan kembali ke kamar. Merebahkan tubuh di atas kasur lantas kembali tertidur.

Sungguh hari yang indah untuk tidak pergi ke sekolah.

Sedangkan di tempat yang berbeda, Ara tengah berjalan menuju kelas XI MIPA 9 yang jujur saja jaraknya cukup buat napas ngos-ngosan jika dilihat dari letak kelas Ara yang berada di lantai satu dan MIPA 9 yang berlokasi di lantai dua serta letaknya paling ujung. Kedua tangannya membawa masing-masing satu kotak susu vanila untuk Semesta.

Di depan XI MIPA 9, Ara melihat Gino yang masih membawa ransel di punggung. "Pagi. Baru datang, Gin?" sapa Ara santai. Seakan-akan insiden pernyataan perasaan di lapangan tempo hari bukanlah apa-apa.

Dengan kikuk, pemuda itu mengangkat sudut bibir untuk tersenyum. "I-iya. Ara ngapain ke sini?"

"Mau ketemu Mas — maksudnya Semesta." Ara lantas menengok ke dalam ruang kelas. Alisnya terangkat ketika melihat kursi Semesta masih kosong tak berpenghuni. Padahal lima belas menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. "Dia belum datang? Apa sakit ya?"

"Bolos kali." Pemuda itu melirik tempat duduk Semesta dengan tak minat. "Dari awal masuk juga kayaknya dia udah gak bener."

"Gak bener gimana maksud lo?"

"Gue gak tau lo kenal Semesta dari mana, Ra. Tapi anak-anak lain juga sadar kalau Semesta itu aneh." Gino melanjutkan, "Ini sebenarnya saran gue aja, tapi kalau bisa lo nggak usah terlalu dekat sama dia. Yang lain juga udah berusaha buat ajak dia bicara, tapi Semesta selalu menghindar. Lo nggak pernah liat bekas luka di lengan sama pergelangan tangannya kan? Jelas-jelas ada yang gak beres dari Semesta. Semua orang di kelas tau kalau bekas luka itu disengaja. Semesta ngelukain dirinya sendiri dan mungkin aja dia pernah coba buat bunuh diri. Ngeri nggak sih? Emang dasar freak."

Ara terdiam. Ia menunduk menatap susu kotak dengan kemasan berwarna biru langit di kedua tangannya. Tentu saja cerita yang diungkapkan Gino bukanlah bualan semata. Sebagian besar hal yang diungkapkannya bisa jadi benar. Melihat bagaimana Ara pertama kali bertemu dengan Semesta dan bagaimana laki-laki beriris legam itu selalu menolak kehadirannya yang hanya ingin berteman. Namun, entah mengapa hati Ara sebal tatkala mendengar hal itu keluar dari mulut Gino. Pantas saja selama ini Semesta selalu terlihat sendiri ternyata teman kelasnya saja dengan terang-terangan menjauh seperti ini.

"Thanks atas saran lo (yang jujur aja gak terlalu berguna), tapi gue tetap mau berteman sama Semesta." Sebelum Ara angkat kaki dari depan MIPA 9, ia berbalik sembari menatap Gino. Gadis itu mengembuskan napas kasar ketika berkata, "Dan bukannya gak sopan ya ngomongin hal kayak gini di belakang Semesta? Bekas lukanya itu urusan dia. Kenapa lo yang repot? Menurut gue bukan Semesta yang aneh, kalian aja yang gak bener."

"Ara, bukan gitu—"

"Udah, Gin. Gue balik duluan."

Sudah kesekian kalinya Ara menghela napas hingga membuat Hari Yudhiro — ayah Ara — yang terbaring di atas ranjang rumah sakit merasa gemas sendiri. "Apaan? Kali ini kamu kenapa? Uang jajan kamu habis lagi?"

Ara mendongak. Ia segera menggeleng ketika matanya bertemu dengan mata sang ayah. "Gini loh, Yah." Hari memasang wajah serius. "Hah.... Gak jadi deh."

Pria yang telah kepala lima itu menatap putrinya datar. "Ara, kalau kamu sekali lagi gak jadi bicara seperti itu mending kamu diam aja ya, Nak. Dari pada kamu buat tekanan darah ayah naik."

Gadis tersebut berkedip. Dengan bibir mengerucut ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga lantas menggaruk tengkuk. "Ini bukan hal serius sih." Ara menyambung, "Jadi, aku cuma mau berteman sama satu orang ini. Tapi kayaknya dia gak nyaman. Gimana caranya biar dia nyaman sama aku dan mau jadi teman aku?"

Hari terdiam. Ia mengangkat alis tinggi-tinggi kemudian mengusap-usap dagu. Untuk beberapa detik, pria yang dulunya bekerja sebagai dokter itu akhirnya membalas, "Jangan bersikap menyebalkan? Kamu kan anaknya suka bikin jengkel."

"Ayah!"

"Bercanda." Si ayah berdehem sebentar. Ia pun memperbaiki posisi. "Ajak dia makan. Orang-orang kan bisa makin akrab kalau sering makan bareng."

Seketika Ara teringat dengan susu vanila yang ia beli tadi pagi. Sampai pulang, susu vanila itu masih juga tak tersentuh karena Semesta yang sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya di kelas. Ditambah Ara baru ingat kalau dia tidak memiliki kontak Semesta sama sekali. Ia jadi merasa buntu saat kehilangan jejak Semesta seperti ini. Bagaimana kalau pemuda itu berbuat macam-macam lagi? Ara jadi membayangkan hal yang buruk. Tidak mungkin kan besok pagi tiba-tiba tersiar kabar bahwa jasad seorang pemuda yang diduga bunuh diri telah ditemukan? Semoga saja semua kemungkinan tidak baik itu hanya eksis di dalam pikiran Ara saja.

"Kalau dia gak mau makan sama aku?"

Kali ini tak butuh waktu lama bagi Hari untuk menjawab secara spontan, "Ya udah, ikhlasin aja. Gak usah berteman sama orang yang gak mau berteman sama kamu. Buang-buang waktu aja." Si ayah pun kembali merebahkan diri. "Tapi terserah kamu, Ra. Kamu kan anaknya paling bebal. Gak mau nyerah. Jadi kalau kamu benar-benar pengin jadi temannya dia, dekatin aja terus. Asal jangan berlebihan."

Ara tersenyum kecil. Seperti yang ia harapkan. Ayah memang mampu mengucapkan hal yang paling ingin dirinya dengarkan di waktu seperti ini.

.
.
.

Sekarang giliran si Ara yg dapet spotlight wkwk. Silakan dipandangi mukanya ara secara khidmat ya.

Sampai ketemu chapter depan~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top