05 : menempel

Selama hidup, Semesta sudah beberapa kali menjalin hubungan. Mulai dari berpacaran dengan adik kelas, yang seangkatan, kakak kelas, bahkan seorang mahasiswi pun pernah ia kencani. Mereka punya sifat yang berbeda-beda. Banyak yang menyebalkan dan selalu menempel pada Semesta. Namun, si Ara ini ... dia menempel dengan cara yang paling bikin gerah.

Awalnya Semesta berusaha merasa biasa saja. Namun, mengingat pertemuan pertama mereka rasanya tidak wajar jika Semesta merasa baik-baik saja di depan Ara. Ditambah lagi anak itu sudah mengekorinya selama seminggu terakhir. Menyapanya dengan wajah sedatar tembok dan mengajaknya ke kantin seperti teman setongkrongan yang sudah kenal sejak pakai popok.

Omong-omong soal kehidupan Semesta di kelas barunya ini, ternyata seperti yang dia ekspektasikan - buruk dan membosankan. Setelah siswa di kelas basa-basi mengajak Semesta berkenalan, mereka akhirnya mulai menyerah dengan sikap pemuda itu. Kaku, dingin, cuek, pendiam, dan tidak asyik. Belum lagi Semesta dekat dengan Ara, padahal satu kelas mendukung penuh kelangsungan hubungan Gino dan Ara yang kandas di hari pertama Semesta sekolah. Sejak saat itu eksistensi Semesta dianggap seperti hantu yang tak kasat mata. Siapapun di kelas yang mencoba bicara akan ditatap aneh oleh siswa lain.

Alunan musik yang didengar seketika terusik tatkala kulitnya menerima sentuhan pada bahu. Semesta spontan mengangkat kepala demi melihat Ara yang sedang mengangkat alis tinggi.

Semesta melepaskan ear phonenya. Saat tahu yang di depannya adalah orang yang paling tidak ingin ia temui, Semesta melengos. Gino yang kebetulan duduk tidak jauh dari situ mendengus. Ara malah cuek bebek. "Kantin, yuk," ajaknya enteng.

Pemuda tersebut menggeleng. "Lo pergi ke kantin. Gue di sini aja."

Ara berkedip. "Kenapa?" Wajahnya mendekat membuat Semesta sontak mundur. "Mas Sam sakit?"

Decakan kesal terdengar. "Gue nggak apa-apa. Dan please jangan panggil gue pake nama yang aneh. Geli," jawabnya sembari berharap Ara segera pergi dari hadapannya.

"Emang kenapa? Sam itu kan singkatan dari Semesta." Sebelah alis Ara naik. "Kemarin-kemarin nyuruh buat ngomong gue-lo, udah gue turutin loh. Tapi kalau 'Mas Sam' disuruh ganti, gue nggak mau, ah."

Semesta mengembuskan napas, mengendalikan rasa sebalnya yang mulai menggebu.

Tak menyerah, Ara kembali bersuara, "Kalau gitu pulang bareng gimana?"

"Gue nggak bawa kendaraan."

"Gue juga!" Si gadis mengimbuhkan, "Pulang naik bus aja. Oke gak tuh?"

"Gue dijemput," Semesta kembali beralasan.

"Eh?" Dahi gadis di depan Semesta berkerut. "Lo dianter-jemput? Kayak tuan muda aja."

Lah, emang. "Ke kantin sana. Jangan ganggu."

"Galak amat." Wajah Ara berubah kecut. Ia bangkit tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan Semesta yang menghela napas lega, akhirnya Ara pergi juga.

"Han, boleh bayarin gue dulu nggak? Lagi bokek nih." Ara menoleh pada seorang gadis berhijab putih di sampingnya.

"Emang pernah lo gak bokek?" Rahani Sanira yang kerap disapa Hani menggelengkan kepala. "Katanya gak ada uang, terus roti di tangan lo itu dibeli pake apa?"

Yang ditanya melirik sejenak pada sekantung plastik berisi roti keju dan susu cokelat di dalamnya. "Ini buat nanti. Kalau buat makan di kantin sekarang uang gue udah habis."

Hani menggeleng sembari terkekeh pelan. "Gak modal amat. Emang semua uang jajan lo pada ke mana, Ra?"

"Gue beliin bubur ayam tadi pagi. Terus pas pulang gue harus bayar belanjaan online gue. Plis yah? Nanti gue ganti. Gak bohong." Dengan usaha semaksimal mungkin, wajah datar Ara membuat ekspresi memohon. Hani hampir muntah melihatnya. Ia mendorong wajah teman sebangkunya itu hingga Ara hampir terjatuh.

Kala keduanya sudah duduk manis dengan semangkuk soto dan sepiring nasi goreng di atas meja, Hani memulai percakapan sembari melahap nasi goreng. "Lo sama si Semesta itu cuma temen doang?"

Usai memeras jeruk nipis di atas kuah soto, Ara menjawab Hani, "Mungkin bisa dibilang temen."

"Kok bisa dibilang? Gak yakin banget."

Ara menatap gadis berhijab itu. "Gue keliatan sok deket banget ya sama dia?"

"Tuh lo sadar. Walau kocak juga sih liat ekspresinya Gino tiap kali lo datang ke MIPA 9 cuma buat ngajak Semesta ke kantin."

Gadis dengan rambut tergerai itu menyeruput kuah soto. "Mau gimana lagi dong? Gue terus kepikiran dia."

Berhenti menyendok nasi, Hani menatap teman sebangkunya baik-baik. "Lo naksir sama Semesta?"

"Sembarangan. Gue cuma khawatir. Pengin dekat sama dia juga, tapi si Sam galak banget sama gue. Jadi, gue harus lebih hati-hati lagi."

Hani mengembuskan napas. Selama mereka saling mengenal, Ara memang agak apatis soal hubungan romantis. Akhirnya, Hani pun menyerah untuk menanyakan perihal Semesta lagi. Ketika ia hendak menandaskan makanan di piringnya, Ara sudah berdiri duluan dengan mangkuk soto yang sudah kosong. "Mau kemana?"

Diraihnya kantung plastik berisi roti dan susu kotak di atas meja. "Mau ke MIPA 9 dulu." Ara lalu melambaikan tangan pada Hani meninggalkan area kantin setelah mengucapkan, "Thanks buat traktirannya!"

Semesta menatap kantung plastik putih di genggamannya. Tak terhitung sudah berapa kali ia menghela napas dan mengerutkan kening. Akhirnya bungkusan itu diputuskan untuk masuk ke dalam ransel saja.

Kenapa Ara selalu bersikap seperti ini padanya? Gadis itu terlalu baik sampai Semesta merasa tak enak dan risi, tapi bagaimana bisa dia menolaknya terus-terusan?

Pikiran Semesta berkonflik. Hingga sampailah langkahnya pada gerbang sekolah. Di sana ia mendapati seseorang yang tak asing lagi baginya berdiri di depan sebuah mobil.

Semesta menatap pria dengan rambut hampir beruban di depannya. "Boleh saya pulang sendiri?"

Pak Jaya Adiyan-tangan kanan Ayah Semesta-terdiam sejenak. Ia menggeleng. "Orang tua kamu yang langsung menyuruh saya untuk antar-jemput sekolah."

Kesal, Semesta mengusap tengkuk kasar. "Pak Jaya kan bukan supir saya."

"Apa bedanya?" Pak Jaya balas menjawab. Wajahnya terlihat biasa saja. Ekspresi wajah Pak Jaya sekarang ini justru mengingatkan Semesta dengan ekspresi datar menyebalkan yang dimiliki Ara. Hal itu membuatnya dua kali lipat lebih sebal.

"Saya mau sendiri-"

"Loh? Halo, Om." Entah ada angin apa, Ara tiba-tiba muncul di sebelah Semesta. Keberadaan Ara makin mengejutkan saat gadis itu menyalami tangan Pak Jaya. "Ayahnya Semesta ya, Om? Kenalin, saya Ara. Temannya Semesta."

Oh, Tuhan.

Selepas Ara berkata begitu, tidak ada satu pun dari mereka yang angkat suara. Suasana canggung yang aneh mangawan di udara. Pak Jaya yang bingung, melirik anak majikannya sedang menahan kekesalan. Ia berdehem sebentar berniat menjelaskan, "Saya bukan-"

"Ayo, Ra," potong Semesta. Ia melihat hal ini sebagai kesempatan agar bisa pulang tanpa diantar bawahan Ayahnya. Namun tubuhnya malah bereaksi berlebihan. Jemari Semesta menyusup pada sekat-sekat jari Ara. Dengan nada bicara yang dibuat-buat, Semesta mengajak, "Mau pulang bareng kan? Ayo."

Ara menatap heran. Pertama, ia menatap tangannya yang digenggam Semesta tiba-tiba. Kedua, orang yang menolak pulang bersamanya beberapa jam yang lalu, seketika mengajak pulang bersama. Adegan roman picisan macam apa ini? Ara bergidik.

"Lah, bokap lo gimana?" Tak hentinya kepala Ara menoleh ke arah Pak Jaya yang hanya diam di tempat. Semesta menghiraukan. Ia melepas tautan jemari mereka, beralih merangkul bahu gadis tersebut. Dengan cepat ia menuntun Ara menuju halte bus terdekat.

"Katanya mau pulang bareng kan?"

"Hah? Iya, sih."

"Yaudah, Ra." Saat sampai di halte, Ara mendongak. Menatap Semesta dengan alis menukik. "Kenapa lagi?"

"Lo mau terus rangkulan sampai di bus?"

Tergagap, Semesta menjauh. Lantas melepas rangkulannya. Ia menggaruk kepala yang tak gatal. "Maaf," ucapnya canggung. Padahal barusan ia mengaku risi dalam hati, tapi tubuhnya tanpa sadar bersikap berlebihan.

Keheningan di antara mereka hanya berlangsung beberapa detik sebelum Ara bertanya, "Udah makan rotinya belum?"

"Eh?" Tentu saja Semesta belum menyentuh roti itu sama sekali. "Udah, thanks."

"Baguslah. Gue kira gak lo makan." Semesta hanya merutuk di dalam hati sebagai tanggapan. "Gue beliin susu kotak cokelat sama roti rasa keju. Lo suka kan sama rasa itu?"

Semesta mengangguk kaku. Meneruskan kebohongannya. Sejujurnya, ia tidak terlalu suka dengan susu, roti, atau manisan apa pun selain yang berperisa stroberi. Jadi, kemungkinan besar roti keju dan susu cokelat yang diberi Ara hanya akan teronggok di suatu tempat tanpa tersentuh siapa pun.

Ara mengamati raut Semesta sekilas lantas tersenyum tipis. "Maaf, gue bikin lo gak nyaman ya? Nempel mulu ke lo." Ah, ternyata dia sadar dengan sikap Semesta. "Gue cuma pengin berteman doang."

Bus pun tiba. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kendaraan umum tersebut. "Lo duduk sini aja." Setelah membiarkan Ara duduk di satu-satunya kursi yang tersedia, Semesta menatap gadis itu. Ia masih diam dengan wajah datar khasnya membuat Semesta merasa sedikit bersalah.

Apa ia terlalu kasar pada Ara? Padahal gadis itu yang mengulurkan tangan duluan ke arahnya. Walau begitu, saat ini Semesta tidak ingin berada di dekat siapa pun. Ia ingin menyendiri. Tidak mau diganggu.

Semesta menelan ludah. Ia mengembuskan napas panjang. "Gue gak butuh teman, Ra." Iris cokelat kopi itu menatapnya bingung. "Makanya cukup sampai sini aja. Gak bakal ada untungnya temanan sama orang kayak gue."

.
.
.

Silakan dipandangi mukanya mas sam secara close up.

Jgn lupa vote ya. Sampe jumpa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top