04 : sua
"Yakin gak mau gue bantu obatin?"
Gadis berambut legam sedada mendongak. Wajahnya kini datar sedatar jalan bebas hambatan. Matanya yang masih sedikit basah menatap Semesta lurus. Ia mengembuskan napas sejenak sebelum menggeleng. "Gak usah, Mas. Sebagai gantinya gimana kalau mas janji satu hal sama saya?"
Semesta menaikkan sebelah alis. Pemuda itu berkedip berkali-kali ketika si gadis mengacungkan jari kelingkingnya. "Engh, enggak deh. Gue gak mau ngumbar janji yang gak bisa gue tepatin."
Gadis bermata cokelat kopi tidak peduli. Ia justru meraih tangan Semesta duluan kemudian melingkarkan kelingkingnya dan kelingking laki-laki di hadapannya. "Janjinya gak ribet kok." Lalu ia mengucapkan janji (yang secara paksa) disetujui oleh Semesta.
Ketika putra tunggal Byandara itu mencoba kembali mengingat hal yang terjadi setelahnya, sebuah alarm membangunkannya dari mimpi.
Di luar sana, matahari Senin tersenyum begitu cemerlang. Semesta mengerutkan alis. Dirinya berencana untuk mengabaikan titah orang tuanya untuk bersekolah hari ini dan melanjutkan tidur. Setidaknya hal itu berlangsung dengan sukses sampai Pak Jaya masuk ke dalam kamarnya.
"Sudah pagi, Semesta. Kamu harus bangun," ucap Pak Jaya dengan nada monoton.
Tentu Semesta tidak cepat menyerah untuk berpisah dari kasur, tetapi Pak Jaya ternyata lebih bebal dari yang dirinya kira. Setelah dua puluh menit merecoki tidur Semesta, akhirnya putra tunggal Byandara itu pun beringsut dari tempat tidur dengan setengah hati.
Hari Senin Semesta sekaligus hari pertamanya bersekolah pun dimulai. Walaupun demi Tuhan, Semesta berharap semuanya berakhir dengan segera.
Semesta menginjakkan langkah pertamanya pada gerbang salah satu sekolah negeri. Terpampang jelas tulisan 'SMA NEGERI 097' sebelum Semesta turun dari mobil. Sekarang ia tidak punya pilihan lagi untuk kembali (karena di depan gerbang, Jaya Adiyan telah siap siaga mengawasi jika saja ia nekad melarikan diri di hari pertama sekolah). Maka dari itu Sudan Semesta Byandara hanya bisa menghela napas. Membulatkan tekad memasuki kawasan sekolah menuju ruang kepsek yang sempat ia tanyakan letaknya pada satpam yang bertugas.
XI MIPA 9 adalah ruangan selanjutnya yang akan didatangi Semesta. Ruangan yang akan menjadi kelasnya dua semester ke depan.
"Kalian kedatangan murid baru. Coba perkenalkan nama kamu," ucap wali kelas XI MIPA 9 setelah berdiri dan mengambil alih perhatian seluruh ruangan.
Semesta menelan ludah. "Sudan Semesta. Panggil Semesta aja."
"Asal sekolah?" celetuk salah satu siswi yang duduk paling depan.
Semesta menggarung tengkuk. Sekejap ia terdiam sebelum menjawab, "Salah satu sekolah swasta di luar kota." Senyuman tipis pun terpaksa dia ulas agar kebohongannya tidak terendus siapa pun.
Pelajaran kemudian berlangsung normal. Semesta mendapat satu-satunya tempat duduk kosong yang tersisa di sudut kanan ruangan. Tidak ada teman sebangku. Alhasil Semesta menghabiskan waktunya menahan kantuk mendengar penjelasan awal mengenai materi pelajaran kimia.
Saat bel istirahat meraung, Semesta memutuskan melipat tangan di atas meja. Menenggelamkan wajahnya dan tidur. Tidak peduli dengan teman barunya yang sibuk bolak-bailk seperti sedang mempersiapkan sesuatu.
"Eh, Gino! Siap-siap! Doi udah mau keluar, tuh," suara nyaring berteriak dari luar kelas.
"Buset. Bentar. Gue masih gemetaran."
"Ah, ilah. Buruan, oy. Semuanya udah siap."
Semesta menulikan telinga. Semakin ia bermasa bodoh, semakin gigih keributan kelas mengganggunya. Akhirnya Semesta mengangkat kepala. Melirik tidak suka. Diamatinya seluruh penjuru kelas. Beberapa anak cowok membawa bunga sementara yang cewek sibuk menyoraki mereka.
Gerombolan teman kelasnya pun keluar dari kelas dengan iringan 'cie-cie' dari setiap siswa-siswi yang melihat. Penasaran, Semesta yang tadi kesal karena rencana tidurnya diganggu akhirnya ikut keluar lantas mengamati dari lantai dua, tempat kelas XI MIPA 9 berada.
Gerombolan kelasnya itu ternyata sudah sampai di bawah. Mereka berkumpul di tengah lapangan. Seorang siswi ikut digiring ke sana, meski dari gerak-geriknya terlihat sangat ogah-ogahan. Suasana semakin riuh. Para siswa yang berada di sekitar lapangan dan yang kebetulan melintas membentuk kerumunan dengan seorang siswa dan siswi yang digiring tadi di tengah-tengahnya.
Remaja laki-laki yang tampaknya teman kelas Semesta berlutut seraya mengangsurkan sebuket bunga. Sorakan terdengar makin liar. Massa tidak sabar melihat reaksi si gadis beruntung itu. Apalagi saat beberapa anak cowok membentangkan semacam spanduk dengan tulisan, 'do you want to be my grilfriend?'
Ow, cringe.
Semesta mendelik. Ia hampir tersedak air ludahnya sendiri. Acara norak macam apa ini? Apa cowok itu tidak tahu kalau zaman sekarang rata-rata perempuan justru malu mendapat pernyataan cinta di tempat umum? Karena berdasarkan pengalaman, perempuan yang dikenal Semesta semuanya mengatakan hal yang serupa.
Pemuda yang sudah tidak tahan lagi dengan adegan ala-ala itu segera meninggalkan tempatnya dan kembali ke kelas. Tanpa dirinya sadari, ada satu hal menarik yang terjadi. Si gadis yang ditembak cinta tak sengaja menoleh ke atas saat bingung harus bereaksi apa. Kebetulan saja gadis tersebut melihat Semesta tepat sebelum dia masuk ke kelasnya.
"Ara, terima gue, ya? Please." Siswa bernama Gino yang masih berlutut di tengah lapangan kini memelas. Gadis yang sedang diajak bicara masih mengabaikan. "Tenere Atarah? Gue suka sama lo. Ngomong-ngomong lo denger gue gak, sih?"
"Hah?" Orang yang dimaksud Gino, alias Ara, tersadar. Cepat-cepat ia menormalkan akal sehatnya. "Maaf, Gin. Gue gak bisa," tegas Ara to the point. Ia sudah gregetan mau naik ke lantai dua. Ara hanya ingin memastikan, bahwa yang dilihatnya tadi benar-benar pemuda yang sempat ia temui di rooftop rumah sakit.
Kerumunan bersorak kecewa. Wajah Gino terlihat lebih suram lagi. "Kenapa, Ra?"
"Kenapa?" Ara menaikkan alis. Wajahnya masih datar. "Thanks atas perasaan lo ke gue sebelumnya, tapi gue gak punya perasaan yang sama kayak lo." Pemuda yang baru saja patah hati itu bangkit. Menatap Ara dengan wajah sok kuat. "Kalau gitu gue duluan, Gin. Sekali lagi maaf."
Tidak butuh waktu lama bagi Ara untuk berlari. Dengan yakin, ia menaiki lantai dua. Mengabaikan setiap pasang mata yang memperhatikannya. Ara memeriksa tempat di mana ia terakhir kali melihat pemuda tersebut. Tempat itu tepat berada di depan kelas XI MIPA 9. Secepat kilat, Ara memasuki kelas tersebut. Tidak peduli dengan fakta bahwa kelas itu adalah kelas yang sama dengan kelas Gino-cowok yang barusan ia tolak.
Dalam kelas yang sepi--pasalnya semua penghuninya masih berada di lapangan--Ara melihat seseorang duduk pada bangku paling pojok. Kepalanya terbenam di lipatan tangan. Kemungkinan laki-laki itu sedang tidur. Ara menghampiri bangku pojok itu perlahan.
Gadis berambut sedada kemudian menarik bangku dekat pemuda yang dicurigainya itu. Dia menatap agak lama sebelum akhirnya orang tersebut menyadari eksistensi Ara dan menolehkan kepala yang masih dalam posisi terbenam ke kanan. Matanya yang mengintip dari balik lipatan lengan spontan membelalak kaget saat berhasil mengenali wajah tak asing di hadapannya.
Ara tersenyum simpul. Wajah putih bersihnya yang berkeringat terlihat berseri. Ia kenal betul dengan sepasang netra gelap yang tengah menatapnya kaget itu. Makin terbuktilah dugaan Ara ketika sosok di hadapannya mengangkat kepala.
Dengan semangat Ara menyapa, "Mas yang mau bunuh diri!" Senyuman antusias terlukis pada wajah manis. Untuk suatu alasan, sebuah pintu tua di hati Semesta terketuk. Memberi sinyal aneh pada sekujur tubuh.
Benak Semesta tiba-tiba mengembara pada malam yang ia lalui di Rumah Sakit Kenanga usai dirinya membawa gadis aneh yang terluka untuk meninggalkan area rooftop. Dialog yang berseliweran dalam kepala akhirnya bermunculan.
"Janjinya gak ribet kok," ujar si gadis dengan jari kelingking yang masih bertautan dengan jari Semesta. "Lain kali kita harus ketemu di tempat yang lebih bagus - lebih bagus dari atap rumah sakit tadi. Dan kalau nanti kita beneran ketemu lagi, kita harus saling sapa ya?"
.
.
.
Jangan lupa tinggalin jejak ya~ Sampai jumpa! Hohoho
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top