02 : jangan

"Tunggu!"

Teriakan seorang gadis terdengar ketika pintu lift nyaris tertutup. Satu-satunya orang yang berada di dalam lift itu segera menekan tombol agar pintu lift kembali terbuka lebar. Setelah menunduk takzim sembari mengucapkan terima kasih, lift kembali membawa tubuh keduanya naik ke lantai atas.

Gadis itu menekan lantai tujuannya. Ia spontan melirik pemuda di sampingnya ketika melihat lantai yang pemuda tersebut tuju. Diam sejenak, dirinya berpikir. Mata gadis tersebut berpindah pada pantulan mereka di pintu lift yang membuatnya lebih leluasa mengamati sosok di sebelahnya. Mulai dari ekspresi kosong hingga pergelangan tangan yang diperban. Ada beberapa hal janggal dari penampilan orang ini yang membuat perasaannya tidak enak.

Si gadis menahan napas. Sebentar lagi ia akan sampai pada lantai yang ia tuju. Jadi, hal apa pun yang menyangkut pemuda itu bukanlah urusannya. Maka saat pintu lift terbuka, dia langsung melangkah keluar. Untuk terakhir kalinya gadis itu menoleh ke arah lift yang hampir tertutup. Menatap lurus wajah pemuda mencurigakan yang tampaknya tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Kotak silver tertutup. Gadis tersebut hanya mendapat kesempatan selama dua detik untuk melihat sosok itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Bukan urusannya. Demi Tuhan ini sama sekali bukan urusannya.

Dering ponsel membuat si gadis terperanjat. Segera ia mengangkat telepon tersebut. Suara pria separuh abad bergema di ujung telepon.

"Kamu di mana? Katanya mau jengukin Ayah?"

Terdengar deheman. "Iya, ini aku udah sampai. Lima menit lagi aku udah ada di ruangan ayah." Gadis itu mengulum bibirnya yang tiba-tiba kering. Hatinya jelas masih terasa mengganjal.

Pemuda barusan ... tidak mungkin kan seperti yang dirinya pikirkan? Mungkin saja lelaki asing itu ada keperluan di lantai teratas rumah sakit. Namun, firasat sang gadis terus memaksanya untuk bertindak. Memintanya untuk menyusul, setidaknya untuk sekadar memastikan.

Hening yang berlangsung selama tujuh detik akhirnya mengantarkan si gadis pada satu keputusan akhir. "Emh, Yah?"

"Kenapa?"

"Aku ... kayaknya aku harus urus sesuatu dulu. Nanti aku kabari lagi."

"Hah? Katanya kamu sudah sampai—"

Dia berbalik setelah telepon diakhiri secara sepihak. Benar. Tidak ada salahnya mengikuti firasat yang mengganjal ini dan memastikan apa yang dilakukan oleh pemuda barusan.

Dan begitulah cara gadis tersebut menemukan Semesta yang nyaris melompat dari atap rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya.

"Mas udah gila, ya?"

Semesta terdiam. Keningnya berkerut kesal. Dipanggil gila pada pertemuan pertama tentu bukan hal yang begitu ramah. "Bukan urusan lo." Ia bangkit. Tidak peduli dengan pakaian yang kotor, Semesta kembali berjalan menuju bibir atap.

Gadis itu memekik tidak percaya, "Eh?! Beneran gila ternyata!" Ia berusaha berdiri, tapi kakinya kehilangan kekuatan sehingga tubuhnya kembali jatuh. Kali ini menimbulkan suara yang tidak kalah kerasnya dari suara ketika mereka jatuh sebelumnya.

Semesta terkejut. Ragu-ragu ia menoleh ke belakang demi melihat gadis yang menggagalkan rencananya itu kini duduk tak berdaya di atas jalan yang basah karena genangan air hujan. Perempuan tersebut meringis kesakitan dengan wajah memerah menahan sakit.

"Lo ... gak apa-apa?" Pertanyaan retoris itu keluar begitu saja dari mulut Semesta. Ia menjauh dari bibir atap demi menghampiri gadis tersebut. Setelah dilihat dari dekat, ternyata keadaan gadis itu cukup memprihatinkan. Kedua sikunya terluka dan ada beberapa lecet di telapak tangan. Selain itu bajunya juga kotor karena terkena genangan air—terutama pada bagian punggung.

"Ma-maaf." Semesta mendadak tak enak hati. Dirinya ikut berjongkok dengan wajah bingung entah harus melakukan apa. "Harusnya lo gak usah ikut campur—"

"Ya kali ada orang mau bunuh diri di depan saya terus saya bengong aja gitu liatnya?" potongnya nyolot. Dia menyusul dengan buru-buru ke lantai atas dan rooftop adalah satu-satunya tempat yang ada dalam benak setelah melihat Semesta di lift. Namun, tak disangka bahwa beberapa menit setelah sampai di rooftop, ia akan berada dalam situasi seperti ini.

Semesta tak berkutik. Gadis di depannya hanya menunduk. Entah menangis, menyumpahi Semesta, atau hanya menahan rasa sakit saja. Setelah itu mereka dikuasai oleh keheningan. Hingga akhirnya si gadis yang masih tak ia ketahui namanya itu menarik ujung baju rumah sakit yang Semesta kenakan dengan kekuatan sekenanya. Ia mendongakkan kepala dengan iris cokelat kopi yang menatap Semesta dalam.

"Tolong ... jangan." Gadis itu menenggak semua keraguan yang terdengar pada suaranya. Jika kata motivasi dan bentakan tak lagi mempan untuk orang yang sudah tidak ingin hidup ini, maka yang bisa dirinya lakukan hanyalah memohon. Dengan suara lirih, gadis tersebut berharap agar niat hatinya tersampaikan dengan baik, "Jangan lompat, Mas. Saya mohon."

Semesta berjalan tanpa nyawa. Raganya berada di lorong rumah sakit, tetapi jiwa dan pikirannya tengah melanglang buana. Benaknya tersesat tatkala insiden yang baru saja lewat beberapa menit yang lalu terlintas. Alis pemuda itu mengerut. Ia bingung dengan perasaan yang dirinya alami. Melihat orang asing menangis untuk mencegahnya mengakhiri hidup membuat dirinya merasa buruk.

Pemuda itu menautkan alis saat melihat ruang rawat inapnya terbuka lebar. Di sana Pak Jaya berdiri dengan wajah resah. Pria dengan rambut yang mulai ubanan itu terlihat sibuk berbicara di telepon sampai ia menyadari kehadiran Semesta.

"Semesta." Jaya Adiyan segera mengakhiri panggilannya. Ia melemparkan tatapan khawatir pada putra atasannya itu.

Wajah Semesta mendadak pucat ketika menyadari bahwa ada satu orang lagi yang berada dalam ruangannya selain Pak Jaya. Sosok yang telah melempar tatapan tajam sedari Semesta muncul di ambang pintu beberapa waktu lalu.

"Dari mana saja kamu?" Suara berat itu menghujam Semesta telak. Bulu kuduknya meremang. Sementara itu peluh mulai menetes dari pelipis. "Kenapa gak jawab?"

Semesta perlahan masuk ke dalam ruangannya. Segera dia menyembunyikan pergelangan tangan yang diperban ke belakang tubuh. Ragu-ragu menatap sang ayah yang terlihat murka saat ini.

Derap kaki Alan Byandara—Ayah Semesta—hampir tak terdengar ketika pria berjas rapi itu maju lantas melayangkan pukulan pada pipi Semesta. Satu kalimat pun lantas dia ucapkan dengan penuh penekanan, "Dasar bikin malu."

Untuk sesaat Semesta tak merasa apa pun. Tidak ada rasa sakit maupun perih di wajahnya. Hanya rasa hampa. Seakan sekujur tubuh telah kebas kemudian mati rasa. Maka ketika Semesta mengangkat kepala untuk menatap sang ayah, hal yang pertama kali dia pikirkan adalah bahwa hari ini merupakan satu dari sekian hari buruk yang menjadi alasan valid baginya untuk berdiri di bibir atap atau pun mengiris nadinya sendiri seperti yang pernah ia lakukan di waktu-waktu sebelumnya.

.
.
.

Dan ... gue pun gabisa nepatin janji di chapter sebelumnya buat up cepet :") maapkeun ya?

( p.s. Jan percaya sama Semesta, karena gak bakal ada alasan yg valid buat nyakitin diri sendiri.)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top