01 : jatuh
BRUK!
Suara debuman keras memekakan telinga. Orang-orang memekik nyaring. Yang berada di sekitar tempat kejadian sontak mundur, sementara yang jauh bergerak mendekat. Ikut menyaksikan tubuh bersimbah darah yang sebentar lagi menjadi mayat.
Pasokan oksigen menghindar dari radar pemuda bersimbah darah itu. Pada seragam putih yang ia kenakan tertera name tag bertuliskan namanya, Bara Aditya.
Semua manusia yang berada dalam sekolah swasta elit itu mendesak, membentuk sebuah kerumunan mengitari Bara yang terkapar. Yang tidak melihat pun segera lari untuk mencari tahu asal suara daging dan tulang yang beradu dengan paving block sekolah.
Tatapan Bara menggelap. Sebelum nekat melompat, satu orang dilihatnya lamat. Setelah tulangnya remuk dan tempurung kepalanya pecah pun ia masih menatap sepasang mata panik dari lantai teratas sekolah, tempat Bara sebelum memutuskan terjun ke bawah.
Menit-menit terakhir dalam hidup, lelaki itu mengingat semua kenangan yang singgah dalam benak. Bagai kaset, bagian-bagian hidup itu bergulir persis seperti film.
Pada akhirnya, Bara memilih untuk pergi dan ia tidak menyesali hal itu.
Untuk bagian klimaksnya, Bara menyunggingkan senyuman. Terkekeh walaupun mulutnya mengeluarkan darah segar. Orang-orang berteriak rusuh. Tenaga medis akhirnya datang, tapi terlambat. Bara Aditya telah mengembuskan napas terakhirnya saat itu juga. Menyisakan ngeri dan atmosfer mencekam sebelum sekolah keparat itu justru berpura-pura seakan tidak ada hal yang terjadi dan menutup kematian salah satu siswa mereka begitu saja.
Detik jam dinding yang berbunyi konstan memenuhi seisi ruangan. Semesta yang terbaring di atas ranjang rumah sakit masih juga membisu. Tangannya yang diperban terasa perih tatkala digerakkan. Pemuda itu lalu menahan napas.
Ternyata bunuh diri tidak semudah yang ia kira.
Setelah mencoba mengakhiri garis hidupnya beberapa hari yang lalu dengan menorehkan pisau cutter ke pergelangan tangan, Semesta tak jua dipertemukan dengan malaikat maut yang selama ini ia dambakan. Alih-alih malaikat maut berpakaian serba hitam dengan sabit besar di tangan, saat bangun Semesta justru bertemu dengan manusia asing berjas putih dengan stetoskop di leher mereka.
Pemuda yang masih berusia 18 tahun itu bersusah payah bangkit dari posisinya meski kepalanya pening bukan main. Ia berjalan hati-hati lantas membuka pintu ruang rawat inap. Memeriksa apakah Pak Jaya, tangan kanan sang Ayah, masih eksis menjaganya di luar ruangan. Untungnya, sosok itu sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya. Maka Semesta pun mantap melangkah meninggalkan area ruangannya.
Kali ini Semesta mengubah rencana. Karena cutter tak becus melaksanakan tugas untuk mengambil nyawanya, ia pun berencana menyerahkan kewajiban itu pada atap rumah sakit, ketinggian, dan gravitasi.
Usai pintu lift tertutup, Semesta menatap wajah tanpa jiwanya pada pantulan lift yang ia naiki. Tanpa pemuda tersebut sadari, dia menelan ludah kelu tatkala seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu tersenyum ke arahnya. Baju putih yang ia kenakan kemudian memerah karena bermandikan darah sedangkan matanya menatap Semesta makin tajam. Samar-samar terdengar bunyi tulang patah ketika cairan merah berbau anyir mengalir deras dari kepala yang pecah. Senyuman sosok tersebut berubah menjadi seringaian. Semakin lebar hingga pipinya nyaris robek.
Semesta tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya mengepalkan tangan yang bergetar hebat sembari tersenyum kecut. Laksana beludru yang begitu lembut, suara itu berbisik di telinga Semesta dengan sangat halus, "Lo harus mati."
Awan sudah berhenti menangis beberapa menit sebelum Semesta mencapai rooftop rumah sakit. Kendati demikian, langit malam dan udara masih terlihat murung tak bersahaja. Tidak ada rembulan atau pun bintang yang seringkali terlihat ketika mentari telah pamit di sore hari. Mereka semua menyepi, seakan kabur dan tak mau tahu dengan kesedihan yang dialami Semesta malam itu.
Agak tertatih, ia melangkah menuju bibir atap. Menyisir pandangan lantas bernapas lega ketika mendapati suasana sekitar yang berbanding lurus dengan keadaan langit malam. Syukurlah tidak akan ada mata yang menyaksikannya melompat dari sini. Bisa repot juga kalau salah satu dari mereka beringsut mencegah Semesta dan menghancurkan rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang ini.
Wajah pucat itu mengukir senyum. Matanya yang sayu menampilkan tatapan paling hidup saat ia melihat pemandangan di bawah sana.
"Wah.... Kalau gue lompat dari sini, gue benaran bakal mati." Menyadari hal itu Semesta terkekeh hambar. Ia melepaskan sandal rumah sakit yang dikenakannya lalu melewati pagar besi penghalang yang dipasang pada ujung atap rumah sakit. Sekali lagi Semesta melempar pandangan ke bawah.
Malam ini ... ia akan terbang.
Angin bertiup. Menari tanpa ampun. Menelusuri tiap inci tubuh Semesta yang terbalut pakaian rumah sakit. Mendadak, ia kembali merasakan nyeri di pergelangan tangan kirinya. Begitu pula kaki yang menggigil kedinginan. Tidak masalah. Semua hal mengganggu yang Semesta rasakan ini akan hilang dibawa angin saat ia melompat nanti.
Semesta merentangkan tangan. Memeluk malam, semilir angin, serta dosa yang siap ia bayar tuntas.
Tubuhnya sudah ia condongkan ke depan. Membayangkan sensasi seperti apa yang akan ia peroleh ketika dirinya menghantam jalanan yang keras. Sejujurnya, Semesta telah siap atas segala konsekuensi rasa sakit yang akan ia terima saat jatuh nanti, tetapi tampaknya ada hal yang tidak ia antisipasi saat itu.
Semesta tersentak ketika merasa perutnya dilingkari oleh sepasang lengan tak dikenal. Kekuatan empu lengan itu tak main-main, karena dalam sekali hentakan, Semesta jatuh (meski tidak dalam posisi yang elegan) ke belakang alih-alih menghantam jalanan di bawah.
Debuman yang cukup keras terdengar saat tubuh mereka terjatuh disusul dengan suara ringisan. Semesta tidak merasa terlalu sakit, karena orang yang menarik dirinya tanpa sengaja bertransformasi menjadi matras manusia ketika ia jatuh barusan.
Dari kejadian yang berlangsung tiba-tiba bak petir menyambar itu, Semesta dapat menyimpulkan tiga hal. Pertama, ia masih hidup. Kedua, rencananya untuk bunuh diri telah gagal total. Yang ketiga, dari mana munculnya orang ini? Dan demi Tuhan, bagaimana bisa dia menarik Semesta tiba-tiba hanya dengan sekali hentakan?
Setelah mencapai titik kesadaran untuk mencerna semua hal, Semesta menjauh. Ia menolehkan kepala demi melihat sosok yang sudah menggagalkan rencananya.
Di hadapannya, seorang gadis berambut sejajar dada tengah mengaduh kesakitan seraya mengusap punggungnya. Tatapan mereka bertemu dan untuk pertama kalinya Semesta melihat mata gadis tersebut. Mata dengan iris cokelat kopi yang menatapnya dengan seribu satu kata yang tak sempat ia terjemahkan semua.
Keheningan memendar sampai akhirnya gadis itu angkat suara, "Mas udah gila, ya?"
.
.
.
Gue usahain updatenya cepet ya. Gemes juga gue cerita ini gak selesai-selesai dari tahun lalu :"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top