Bab 1


I've got a little secret too, I've got a mad little crush on you
I wonder if you notice, wonder if you see
I wonder if you ever want to dance with me
We shall never talk about such things, such things
Hey na na hey na na
Hey na na hey na na
Hey na na hey na na
Hey na na hey hey

Terdengar lantunan lagu Hey Na Na dari Katie Herzig di kamarku. Mendengar lagu ini membuatku teringat Kak Melvin. Ah, cinta pertamaku! Di manakah kau berada?

Kuraih bingkai foto yang berada di atas meja belajarku. Ini adalah fotoku dan Kak Melvin waktu kami masih sama-sama kecil. Di dalam foto itu, Kak Melvin terlihat sedang cemberut karena kucium.

Hahaha! Kak Melvin lucu, deh. Jadi kangen.

Sudah lama aku enggak bertemu Kak Melvin. Kak Melvin sombong, sih. Dulu dia memilih melanjutkan SMA di Yogyakarta, terus dia melanjutkan kuliahnya di sana juga. Karena hal itu aku jadi enggak bisa godain Kak Melvin yang ganteng lagi.

Sudah begitu, nomor Whatsapp-ku diblokir pula. Facebook juga dari dulu nge-add enggak di-confirm. Twitter juga di-protect. Instagram pun di-private. Mana nomornya Kak Melvin sudah lama tulalit. Ditambah lagi, setiap kali aku mendapatkan nomornya Kak Melvin, pasti sehari kemudian dia bakal ganti nomor gara-gara aku kirimin SMS atau kutelepon. Jahat, 'kan, ya? Tapi enggak apa-apa, aku suka.

Oh, Kak Melvinku sayang!

"Ninda! Mau berangkat sekolah atau mau karaokean di kamar?" terdengar teriakan Mama dari luar kamarku.

"Mau berangkat sekolah sambil karaokean, Ma," jawabku sambil tertawa.

Kemudian aku menyambar tas punggungku yang berada di atas tempat tidur. Setelah itu, aku langsung meninggalkan kamar menuju ruang makan.

"Pagi, semua," sapaku sambil duduk manis di sebelah Nando, adikku.

"Pagi, Sayang. Cepat makan sarapannya, terus berangkat bareng Papa," kata Mama seraya menuangkan susu cokelat ke gelasku.

"Iya, Kak Oon. Cepetan makannya. Keburu telat," omel Nando.

"Heh, panggil gue Ninda!" Aku melotot sebal ke arah Nando.

Baiklah, memang waktu kecil orang-orang lebih suka memanggilku Oon. Kata 'Oon' ini berasal dari nama depanku, Oninda. Akhirnya jadi On, lalu Oon. Sama sekali enggak ada hubungannya dengan blo'on atau sejenisnya. Dulu, sih, aku senang-senang saja dipanggil dengan panggilan 'Oon'. Tapi setelah aku mengetahui arti dari kata 'Oon' itu apa, demi apa pun aku enggak sudi dipanggil dengan sebutan Oon lagi.

"Dih, emang namanya Kakak itu Oon, 'kan? Week!" Nando menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.

"Setiap hari kerjaannya berantem aja. Bakalan Papa masukin pesantren kalau pada berantem terus," ancam Papa. Kami langsung terdiam.

Ya, Papa selalu mengancam akan memasukkan kami ke pesantren kalau kami bertengkar atau nakal. Padahal aku lebih suka dimasukkan ke dalam toko es krim.

Setelah menyelesaikan sarapan, aku langsung mengikuti Papa dan adikku menuju mobil. Pertama, Papa mengantar Nando dulu ke SMP-nya. Setelah itu, barulah Papa mengantarku ke sekolah.

"Sekolah yang bener, jangan nakal," ucap Papa ketika aku menyalaminya.

"Iya, Papa," jawabku.

Aku berjalan menuju ke kelasku. Di sepanjang koridor, kurasakan puluhan mata memandangku dengan tatapan penasaran. Bukan penasaran karena naksir aku, sih. Tapi, penasaran kenapa Ninda dan Gaby bisa jalan berdampingan.

Ya, sekarang aku sedang 'enggak sengaja' jalan bersama Gaby di koridor. Gaby adalah cewek yang—dari pertama kali aku menginjakan kaki di sekolahan ini—menganggapku sebagai musuh. Gaby dan diriku memang enggak pernah akur. Itu pun karena Gaby yang merasa posisinya sebagai queen bee terancam sejak kehadiranku. Akhirnya, dia mengecapku sebagai 'saingan'. Entahlah, dia aneh.

"Nin," sapanya sinis.

"Gab," sapaku balik dengan nada yang sama. Setelah itu, kami berpisah di ujung koridor.

Aku memasuki kelas yang sudah agak ramai oleh teman-temanku yang sedang kebingungan. Aku yakin mereka sedang kebingungan mencari jawaban PR fisika.

"Ninda, sayang! Contekan fisika, dong!" teriak April dari bangkunya ketika melihatku memasuki kelas.

Nah, benar, 'kan.

"Nih," kataku seraya menyerahkan buku tulis fisika-ku kepadanya. Detik itu juga, hampir semua anak di kelas ikut mengeroyok bukuku.

Aku adalah penyelamat PR mereka. Enggak mau sombong, sih, tapi, ya, bagaimana lagi. Nasib orang pintar memang begini. Dan hal ini terjadi hampir setiap hari.

"Woi, hati-hati sama buku gue. Awas aja kalian kalau buku gue lecek!" kataku memperingatkan mereka. Kucrut langsung mengelus bukuku dan melayangkan cengiran lebar ke arahku.

"Bakalan gue jagain buku lo, Nin," ucap Kucrut sambil menaik-turunkan alisnya.

Kucrut itu sebenarnya mempunyai nama yang bagus banget. Alex Afandro. Tapi, karena tampang sama namanya beda jauh, jadi Alex ini dipanggil Curut. Nah, karena kadang dia mengeluarkan 'kuah' saat bicara, dia pun sekarang dipanggil Kucrut. Kuah Curut. Begitulah sejarah nama Kucrut yang sebenarnya enggak penting.

Tanpa memedulikan Kucrut lagi, aku memilih untuk duduk manis di kursiku. Qila, teman sebangkuku, kini juga sedang sibuk menyalin buku tugasku.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipi kananku. Segera aku menoleh dan kulihat seorang cowok tengah tersenyum lebar ke arahku.

"Hai," sapanya, masih memamerkan deretan gigi putihnya yang membuatku tertawa kecil. "Nih. Es krim," katanya kemudian menyodorkan sebatang es krim ke arahku.

"Wah, makasih Kak!"

"Gue ke kelas dulu, ya. Bye!" Dengan gemas dia mengacak-acak rambut panjangku sambil tertawa riang. Setelahnya, ia berjalan keluar dari dalam kelasku.

"Berantakan, woi!" kataku kesal. Segera kusisir rambut lurusku dengan jari. Poni yang tadi sempat menutupi dahiku kini sudah acak-acakan. Dasar, resek!

Cowok tadi itu adalah Kak Astin, kakak kelasku. Sejak Kak Astin tahu bahwa aku sangat menyukai es krim, dia rajin banget bawain es krim buatku. Kata teman-teman, sih, Kak Astin sebenarnya suka sama aku. Tapi, enggak tahu juga, deh. Habisnya dia enggak pernah ngomong apa-apa.

Sebenarnya, Kak Astin adalah salah satu alasan Gaby enggak suka sama aku. Ya, Gaby menyukai Kak Astin. Dia pengin banget pacaran sama Kak Astin. Tapi, Kak Astin malah lebih dekat denganku. Tentu saja itu membuat Gaby semakin enggak menyukaiku.

"Eciieee, yang dapet es krim lagi," goda Qila yang sudah kembali ke kursinya di sebelahku.

Aku hanya nyengir lebar sambil menjilati es krim pemberian Kak Astin.

"Keadaan lo gimana? Udah baikan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. Dua hari kemarin aku enggak masuk sekolah karena terserang flu. Tapi, sekarang aku sudah jauh lebih baik. Aku bahkan sudah berani memakan es krim.

"Ah, lo sih, kemarin enggak berangkat. Enggak bisa lihat guru ganteng, 'kan," katanya cengengesan.

"Guru ganteng?" tanyaku bingung.

"Iya, Pak Guru ganteng. Lo tahu kan Bu Maya guru MTK kita lagi hamil tua dan bentar lagi melahirkan. Nah, Bu Maya lagi ambil cuti terus digantiin sama Pak guru ganteng," katanya dengan wajah penuh semangat.

"Idih! Gitu banget sih, muka lo," kataku geli.

"Alah, gantengan juga gue, kok," kata Kucrut menyahuti percakapan kami. Kemudian, dia duduk di kursi depanku.

"Kalau gantengan Kucrut, berarti tuh guru jeleknya maksimal, dong," ujarku, membuat Qila sukses tertawa. Sementara itu, Kucrut sudah memasang wajah sebalnya ke arahku.

"Lihat aja, deh, nanti. Asli, ganteng banget. Lebih ganteng dari Kak Astin malah. Serius deh, Nin."

Bagiku pribadi Kak Astin itu sudah termasuk ke dalam golongan cowok ganteng. Aku ragu ada yang bisa lebih ganteng dari Kak Astin.

Enggak lama kemudian, bel masuk berbunyi dan semua anak yang tadi mengerubungi buku Fisika-ku sudah kembali ke kursi mereka masing-masing. Karena malas keluar kelas untuk membuang sampah, akhirnya aku memasukkan sampah es krim ke dalam laci mejaku. Setelah itu, aku mulai celingak-celinguk mencari buku Fisika-ku yang entah saat ini berada di mana.

"Heh, buku gue mana?" tanyaku setengah berteriak kepada Beta yang berada di seberang kursiku. Dia menggeleng sambil berkata 'enggak tahu'. Kemudian, dia menunjuk cowok yang duduk di belakangnya. Kutanya padanya, dia pun menggeleng dan berkata bahwa dia enggak tahu.

Astaga, semuanya enggak bertanggung jawab!

"Pril, buku gue mana?" tanyaku pada cewek berambut sebahu yang terlihat sedang fokus memandang depan kelas. "Pril, April! Woi!"

Kini Qila menyenggolku dan menyuruhku diam. Tapi, bagaimana bisa diam kalau buku fisikaku hilang!

"Woi! Buku fisika gue mana?" tanyaku lebih kepada semua anak yang kini sudah sibuk dengan pemandangan di depan kelas.

"Ehem ... Ehem ...," terdengar dehaman yang sangat keras dari depan kelas. Sontak aku terdiam dan mematung di tempat.

Mati! Jangan bilang kalau sudah ada guru yang masuk ke dalam kelas.

Dengan cepat aku menoleh ke depan kelas. Di sana aku mendapati seorang pria sedang memandang tajam ke arahku.

Aku membulatkan mata, kaget ketika melihatnya. Kini dia sudah memandang horor ke arahku. Aku bahkan merasa kesulitan menelan ludah ketika menyadari siapa yang sekarang sedang berada di depan kelas.

Itu ....

Dia ... Kak Melvin!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top