Chapter 4
Pagi telah hadir. Para siswa pun telah hadir di sekolahnya lebih awal untuk menghindari kata terlambat.
Ya, terlambat. Karena terlambat adalah kesalahan terbesar untuk seorang pelajar. Selain itu, terlambat pun membuat otak menjadi sedikit sulit untuk mencerna informasi yang telah diberikan oleh penyampai materi atau pesan.
Tentunya, hal itu pun berlaku untuk (Name). Dan kini, dirinya pun sedang berjalan cepat untuk ke ruang OSIS guna mengurus kepentingan yang telah disampaikan oleh sang ketua secara dadakan.
Brak!
Pintu tak bersalah pun dibuka secara kasar olehnya. Tetapi, jangan salahkan dirinya, karena ia sudah buru-buru mengerjakannya dalam waktu satu malam, dan saat ini ia sedang kelewat ngantuk.
Bahkan, mata yang memaksa dirinya untuk beristirahat pun harus ia lawan dengan secangkir kopi pahit yang ia buat sebelum berangkat sekolah.
Bagaimana tidak?
(Name) baru saja selesai mengerjakan hal yang diminta oleh sang ketua pada pukul empat pagi, sementara pukul tujuh pagi ia harus sudah berada di sekolah.
Bisa kalian bayangkan betapa ngantuknya, bukan?
Sebelumnya, Rinne beserta istrinya pun telah menegur anaknya untuk tidak mengerjakan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang umum. Namun, keras kepala yang dimiliki oleh Rinne telah menurun pada anaknya. Sehingga (Name) tetap bersikeras agar tugas itu selesai malam ini pula.
"Selamat pagi, (Name)-chan. Maaf sudah merepotkan mu dalam waktu semalam," ucap Ayumu tanpa rasa bersalah sedikitpun.
(Name) pun meletakkan tumpukan kertas yang telah di jilid rapi pada meja sang ketua sembari berkata, "Aku tahu jika bunkasai harus diadakan. Namun, bukankah ini terlalu berlebihan?"
Ayumu yang sedang sibuk membolak-balik halaman itupun sempat tersenyum. Setelahnya, ia tak menjawab pertanyaan lawan bicaranya. Ia terlalu fokus pada tulisan yang telah disusun rapi dalam kertas itu.
Tak lama kemudian, Ayumu pun selesai dengan lembaran itu dan tersenyum. Tentu saja senyuman itu membuat sang gadis bingung.
"Jika aku melakukan apa yang kau tulis disini, apakah aku bisa mendapatkan keuntungan lebih?"
(Name) pun langsung memberikan tatapan terkejut padanya.
"Ada apa? Apakah salah jika aku bertanya demikian? Bukankah kau juga bisa mempertaruhkan nasib seseorang, seperti yang aku dan Sakuma-chan lakukan?" ucap Ayumu dengan sebuah senyuman misterius.
"Aku tidak mempertaruhkan nasibku pada hal-hal yang tidak berguna," tegas (Name).
Mendengar hal itu, Ayumu pun tertawa pelan lalu berkata, "Lalu, mengapa kau menulis semua ini? Aku bisa membacanya jika kau mempertaruhkan segalanya dalam acara ini."
(Name) pun pasrah sembari menghela nafas dan mulai menjelaskan jika Ayumu melakukan hal yang telah ia tulis, maka sekolah mereka akan memiliki keuntungan lebih besar dalam menarik para pengunjung.
"Tetapi, ada hal yang ingin ku bicarakan padamu. Lebih dari ini," ucap Ayumu dengan tatapan tajam.
*****
"Mengapa kau murung, Fumi-chan? Padahal cuacanya sangat bagus hari ini," ucap seorang gadis dengan surai hitam, lengkap dengan manik merah darahnya.
Mungkin sedikit mengerikan. Namun, ia selalu bilang jika dirinya adalah manusia, hingga membuat orang berpikir jika ia adalah keturunan makhluk mitologi barat, vampir.
Namun, bisakah kalian tebak siapa Fumi?
Ya, Fumi adalah anak dari Natsume sakasaki. Seperti ayahnya, ia memang dikenal cerdas. Namun, dibalik kecerdasannya, ada hal yang tak patut dicontoh, yaitu sering membolos dan hadir saat ulangan saja.
Lawan bicaranya pun tampak menghela nafas lalu berbicara, "Tidak ada apa-apa, Akina."
Akina, Sakuma Akina adalah anak kesayangan dari keluarga Sakuma yang berasal dari Sakuma Rei. Ia pun sedikit mirip ayahnya. Namun, letak perbedaannya hanyalah ia lebih kuat dibawah sinar matahari dibandingkan ayahnya.
Daywalker? Anggap saja begitu.
"Apakah kau pernah berfikir jika ... baik cepat atau lambat, akan selalu ada perubahan dalam hidup seseorang?" ucap Akina yang terkadang sulit dimengerti oleh Fumi.
Fumi pun masih murung. Namun tidak dengan pemikirannya. Ia masih memutar otak dan langsung mengiyakan apa yang dikatakan oleh Akina.
"Begitu pula dengan orang yang bereinkarnasi," ucap Akina dengan santainya. Dan dengan tatapan berpikir, Fumi pun berkata, "Apa maksudmu?"
"Mengapa tidak kau ramal saja, Fumi-chan? Aku yakin jika pengelihatan ayahmu menurun padamu," ucap Akina yang kemudian beranjak dari taman ini, meninggalkan Fumi seorang diri dengan pemikiran yang membingungkan.
'Apa yang ia coba tunjukkan,' batin Fumi dengan pemikiran yang senantiasa memperkirakan hal yang dimaksud Akina.
"Reinkarnasi ya ...," gumam Fumi sembari menutup matanya sejenak. Namun, tak lama kemudian, ia pun segera berlari menuju perpustakaan sekolah.
Sekarang, ia mengetahui apa tujuannya. Ya, ia harus mencari sesuatu yang hanya bisa dilakukan olehnya seorang diri.
"Berhenti!"
Fumi pun menurut pada suara itu. Ia berbalik menuju sumber suara yang menampakkan sosok gadis yang sangat cantik dengan surai (hair colour) dan (eye colour) tengah tersenyum padanya.
"Maaf?" ucap Fumi yang merasa tak mengenal, bahkan melihat sang gadis.
"Aku hanya ingin mengingatkan, jangan berlari di koridor," ucapnya sambil tertawa pelan.
Fumi pun memiringkan kepalanya sejenak.
"Sakasaki-san?"
Suara gagah itu membuat gadis bermarga Sakasaki ini terkejut dan langsung melihat sang lawan bicaranya barunya seraya berkata, "Shinji-sensei?"
Lawan bicaranya pun langsung melihat arah tatapan Fumi sebelumnya dengan tampang terheran-heran, "Berbicara dengan siapa?"
Fumi yang bingung pun langsung menatap arah tatapannya dan mengatakan jika ada seorang gadis yang memperingatkan dirinya untuk tidak berlari di koridor.
"Kau yakin? Sensei lihat tadi, kau berhenti sejenak lalu menatap arah yang kau lalui sebelumnya," ucap Shinji-sensei sembari membenarkan kacamatanya yang tak bergeser sedikitpun.
Fumi pun tertegun dan bingung seketika. Namun, sungguh, ia benar-benar melihat seorang gadis berbicara dengannya.
"Mungkin ... mungkin aku salah lihat, Sensei. Kalau begitu, permisi," ucap Fumi yang kemudian memilih berjalan cepat saja. Daripada ia harus repot-repot bertemu dengan seorang gadis yang bahkan tak dilihat oleh orang disekitarnya.
"Ah, jangan lupa untuk hadir di kelas berikutnya," ucap Shinji-sensei dengan penuh semangat.
"Aku izin untuk hari ini ya, Sensei," balas Fumi yang telah terlanjur jauh dari jangkauan sensei nya.
Melihat kelakuan muridnya, Shinji hanya bisa tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Lalu, ia pun langsung melanjutkan perjalanannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top