Chapter 17
Lain tempat, maka lain juga kondisinya. Saat ini, keluarga Amagi sedang dilanda perselisihan. Tentunya karena perbedaan pendapat antara Rinne dengan anaknya.
Rinne terkejut saat melihat Kaoru yang tidur di sofa ruang tamu. Dan saat melihat kamar anaknya, ia lebih terkejut lagi saat mengetahui ada gadis disebelah (Name).
(Name) berulang kali menjelaskan pada Rinne. Namun, entah mengapa, Rinne sangat sulit mendengar penjelasan anaknya.
Pada akhirnya, Kaoru memutuskan untuk mencari apartemen di pagi buta. Namun, (Name) segera menghentikannya dengan memohon-mohon pada Rinne.
"Papa, tolong, apa Papa tidak kasihan pada mereka," ucap (Name) yang mulai berlinang air mata.
Rinne pun tampak tidak tega pada anaknya. Tetapi, ia lebih curiga pada Kaoru yang bisa melakukan hal-hal yang tak terduga selama ia pergi.
"Maaf, Papa tidak bisa ...."
"Coba Papa bayangkan ada di kondisi Paman Hakaze dan Rie! Apa Papa bisa melakukannya seorang diri!" ucap (Name) sembari menggertakkan kakinya lalu mulai beranjak ke kamarnya lagi.
Namun, baru beberapa langkah, ia merasa mual sangat hebat hingga membuat (Name) memegangi perutnya. Rinne yang khawatir pun langsung meraih dan membantu anaknya duduk di sofa ruang tamu.
"(Name)-chan, daijoubu ka?" tanya Rie dengan raut prihatin.
"Aku pusing dan mual," ucap (Name) dengan wajahnya yang mulai memucat.
"Tunggu sebentar, akan papa ambilkan air putih," ucap Rinne yang langsung meninggalkan anaknya dibawah pengawasan keluarga Hakaze.
"(Name), apa kemarin kau pergi?" tanya Kaoru dengan tatapan curiga dan dibalas dengan anggukan pelan oleh (Name), "Paman Akashi mengajakku makan siang dan makan malam bersama."
'Sial, orang itu,' batin Kaoru yang tanpa sadar, ia telah mengepalkan tangannya.
"Apa kau diperlakukan dengan hal tidak wajar?" tanya Kaoru yang langsung mendapat teguran dari anaknya.
"Tenanglah, Rie-chan. Ini pertanyaan yang wajar untuk orang tua pada anaknya," ucap Kaoru sembari memberikan senyuman terbaiknya.
Disisi lain, Rinne yang telah selesai mengambil segelas air putih pun terpaksa menghentikan langkahnya dan mendengarkan semua jawaban atas pertanyaan Kaoru.
Namun, ia paling mencolok pada pertanyaan yang diajukan terakhir oleh Kaoru. Ia masih berpikir jika Akashi Seijuuro tidak melakukan hal-hal buruk pada anaknya.
"Apa maksudmu menanyakan hal itu pada calon suami (Name)?"
Rinne terpaksa menginterupsi pembicaraan mereka. Tentunya, karena Rinne tidak ingin atau lebih tepatnya menghindari adanya kesalahpahaman diantara kedua belah pihak, khususnya untuk keluarga Akashi dan Amagi.
"(Name)? Calon suami? Maksudnya ... (Name) sudah bertunangan?" ucap Rie yang dengan tatapan tidak percaya.
"Ceritanya panjang, Rie," jawab (Name) dengan nada lemah.
"Kau ... apa kau memaksa gadis yang masih muda untuk menikahi pria kejam demi uang?" ucap Kaoru yang telah memancarkan deathglare.
Rinne tidak mempedulikan ucapan Kaoru. Ia segera menghampiri (Name) dan memberikan minuman serta paracetamol untuk putri semata wayangnya.
"Papa ...," gumam Rie sembari menenangkan ayahnya yang marah tiba-tiba.
"Apa kau mengenal seorang Akashi Seijuuro dengan baik?" ucap Kaoru dengan penuh penekanan.
"Rie, bolehkah paman meminta bantuanmu untuk mengantarkan (Name) ke kamarnya? Sekaligus, temani (Name) sebentar, ya. Paman akan bicara dengan ayahmu sebentar," ucap Rinne yang secara tiba-tiba berubah menjadi halus.
Karena tidak ingin menambah masalah, Rie segera menatih (Name) untuk ke kamarnya dan membiarkan para orang tua berdebat.
'Tapi ... bukankah aku anak Papa? Mengapa Papa begitu marah saat mendengar (Name) bersama Tuan Akashi?' batin Rie yang tengah membantu (Name) berjalan perlahan-lahan.
Sesampainya di kamar (Name), Rie membantu (Name) berbaring serta menyelimutinya dengan lembut.
"Arigatou," ucap (Name) dengan lemahnya.
"(Name)-chan, bagaimana bisa kau bertunangan dengan Paman Akashi? Kau tahu bukan, jika dia berbahaya?" jelas Rie.
"Tenanglah, Rie. Paman Akashi bukanlah orang yang jahat," ucap (Name) yang membuat Rie sedikit jengah.
*****
"Apa yang kau pikirkan, bodoh?" ucap Kaoru yang membuat Rinne terpancing emosi.
"Kau siapanya anakku? Berani apa kau melarangnya?" ucap Rinne dengan tampang menantang.
"Ternyata kau memang benar-benar bodoh. Apa otakmu hanya diisi oleh judi dan mabuk? Apa kau tidak memikirkan nasib anakmu jika berada ditangan Akashi Seijuuro?" protes Kaoru yang sedikit mengenang masa lalunya.
"Apa kau orang tua (Name)? Punya hak apa kau? Aku adalah orang tuanya dan akulah yang mengerti apa yang terbaik untuk anakku," sanggah Rinne dengan tatapan yang semakin menakutkan bagi sebagian orang.
Namun, bagi Kaoru, tatapan itu tidak menakutkan untuknya. Dan yang paling ia takutkan adalah masa depan (Name).
Kini Kaoru sudah berada diambang kesabaran. Ia menggenggam erat kerah kaos Rinne dengan tangan kanan yang siap memukul Rinne kapanpun ia mau.
"Kau tahu ... Akashi Seijuuro lah yang telah membunuh istriku! Dia yang membuat istriku nyaris kehilangan nyawanya hanya demi melindungi anakku! Dan dia juga yang sempat memisahkanku dengan anakku! Apa kau paham sekarang, Amagi Rinne!" bentak Kaoru.
Namun, amarah Kaoru tampaknya tidak menggoyahkan dan tidak mempan untuk Rinne. Ia lebih menampilkan tampang masa bodoh dibandingkan rasa peduli.
"Lalu, apa kaitannya denganku? Itu masa lalumu, bukan masa laluku," ucap Rinne dengan santainya.
"Kau benar-benar bodoh!"
"Papa!"
Kaoru menghentikan aktivitasnya yang hendak memukul Rinne. Manik coklatnya beradu dengan manik yang serupa dengan dirinya.
Melihat hal itu, Rinne memanfaatkan kesempatan itu untuk mendorong Kaoru lalu meninggal kedua Hakaze di ruang tamu.
"Urusan kita masih belum selesai. Akan aku buat Undead menderita," ucap Rinne sebelum benar-benar meninggalkan Kaoru dan anaknya.
Kaoru hanya membisu. Ia terlalu kelu untuk sekedar menyapa anaknya. Serta, ia tidak bisa melakukan apapun. Tubuhnya terlalu kaku untuk sekedar membentangkan tangan agar putrinya bisa memeluk dirinya.
"Papa ...," gumam Rie yang kini tengah berada dihadapan ayahnya.
"Sudahlah, Pa," ucap Rie yang langsung memeluk erat Kaoru.
Tentunya, tangan Kaoru tidak bergerak sedikitpun. Jauh dipikirannya, hanya ada kenangan masa lalu yang menyakiti hati serta pikirannya.
"Papa, Papa lihat aku, lihat," ucap Rie sembari memaksa Kaoru untuk menatap maniknya.
Namun, ia merasa terkejut. Pasalnya, ayahnya telah memberikan tatapan kosong untuknya.
Dimana tatapan yang penuh kasih sayang itu? Dimana tatapan yang selalu ingin memanjakan dirinya? Secepat itukah sirnanya?
"Papa ... ini aku, Rie. Aku anak Papa satu-satunya. Papa masih punya aku," ucap Rie yang berusaha menahan air matanya. Namun ia gagal, ia tidak kuat melihat tatapan kosong dari ayahnya.
"Papa ... hiks ...." Rie pun menundukkan kepalanya dan mulai menangis perlahan-lahan. Ia mulai mengutuk dirinya karena telah membawa masalah yang baru untuk ayahnya.
"Papa jangan seperti ini! Papa masih ada aku ... hiks," ucap Rie sembari menggoyangkan tubuh ayahnya.
'Paman Rei ... ya, aku harus menelepon Paman Rei,' batin Rie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top