SEVEN

Baru saja diumumkan bahwa akan ada rapat guru, sehingga siswa dipulangkan pagi. Choi Yeonjun yang sedang berjalan di lorong sekolah mendadak dikejutkan dengan seorang gadis yang berjalan berlawanan dengannya menuju garasi mobil sekolah.

"Hwang Yeji?" Yeonjun mengerutkan alis, lalu segera mengikuti gadis itu.

Ia melihat Yeji sedang memasuki sebuah mobil mewah berwarna hitam. Ia sangat yakin itu mobil milik Yeji, secara Yeji orang kaya. Namun bukan itu yang Yeonjun bingungkan. Yeonjun bingung kenapa raut wajah Yeji seperti orang kesurupan seperti itu? Penuh dendam dan amarah.

Dalam hati, Yeonjun merutuki diri karena tidak membawa motor ke sekolah. Akibatnya, ia menjadi kesusahan mengikuti mobil Yeji. Untung saja saat itu ada taksi yang berhenti di depannya.

"Pak, ikuti mobil hitam itu. Cepat, Pak." Yeonjun menunjuk mobil hitam milik Yeji yang melaju di depannya

Taksi yang ditumpangi Yeonjun terus mengikuti mobil Yeji. Sampai akhirnya mobil Yeji berhenti tepat di depan sebuah SMU.

"Ini pak uangnya," kata Yeonjun memberikan uang lebih kepada sopir taksi. Ketika si sopir hendak memberinya kembalian, Yeonjun segera menolaknya. Ia segera keluar dari taksi dan berdiri diam tak jauh dari mobil hitam yang terparkir itu.

Mata Yeonjun menyipit ketika melihat seorang gadis yang turun dari taksi. Aku seperti pernah melihatnya, dan seragamnya. Astaga! Itu kan seragam sekolahku? Alis Yeonjun menyatu. Apa Hwang Yeji  mengikuti taksi gadis itu tadi? Kenapa aku tidak menyadarinya?

Setelah dua jam berlalu, si gadis akhirnya keluar dari sekolah itu. Ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menyeberang. Jantung Yeonjun seakan copot ketika Yeji menghidupkan mobiilnya dan melaju ke arah gadis yang belum menyadari apa-apa itu. Buru-buru, Yeonjun berlari dengan penuh tenaga dan menarik tangan gadis itu agar tidak tertabrak.

Yeonjun membuka pintu mobil Yeji. "Minggir!" teriaknya kepada Yeji yang pucat di belakang kemudi. Perlahan, kepala Yeji menoleh ke arahnya. Gadis itu menatapnya dengan sendu, membuat hati Yeonjun sakit.

"Yeonjun-a..."

"YA! KUBILANG MINGGIR! Minggir! Biar aku yang mengemudi!!" Yeonjun mendorong tubuh Yeji  agar bergeser, lalu duduk di belakang kemudi. Ia menjalankan mobil dengan pelan, dengan harapan Yeji akan tenang. Namun setelah setengah perjalanan, ia malah mendengarkan isakan kecil.

Yeonjun menolehkan kepala dan menemukan Hwang Yeji sedang terisak. Tangan gadis itu bergetar hebat. Yeonjun benci ketika Yeji terlihat seperti itu.Tangan kananya mengambang di atas tangan Yeji yang bergetar, berniat menggenggamnya, namun ia mengurungkan niatnya dan berdeham pelan.

"Hwang Yeji, kenapa kau lakukan itu?"

"S...Soobin..." Yeji terbata-bata, membuat Yeonjun tersenyum sedih. "A...aku takut kehilangannya..."

"Lalu, sekarang maumu bagaimana?"

Bukannya menjawab pertanyaan Yeonjun, Yeji justru mengoceh terus. "Yeonjun-a, aku benar-benar ketakutan. Aku takut..." suara Yeji lenyap, namun beberapa menit kemudian suaranya terdengar kembali. "... aku meminta Soobin putus, tapi aku sendiri yang takut kehilangannya... apa yang harus kulakukan...?"

"Melupakannya," jawab Yeonjun enteng sambil membanting setir ke arah yang berlawanan. "Akan kubantu kau melupakannya."

***

Mobil hitam mewah Yeji terparkir mulus di depan rumah bobrok seorang Choi Soobin. Di teras rumah bobrok itu terlihat dua orang laki-laki yang terlihat cemas. Yeonjun melihat laki-laki yang sedang duduk di kursi sambil melamun, lalu ganti menatap laki-laki yang sedang berjalan mondar-mandir, menatap jamnya setiap lima detik sekali, dan menggigit jari.

Ia melepas sabuk pengaman. Sebelum keluar dari mobil, ia memandang Yeji dan melihat gadis itu sedang mengerutkan alis. Dengan napas panjang, Yeonjun membukakan sabuk pengaman Yeji.

"Kubilang keluar atau kau akan menyesal selamanya," kata Yeonjun dengan penuh ancaman.

Walau sebenarnya bingung setengah mati, Yeji tetap menurutinya. Ia turun dari mobil. Yeonjun yang melihatnya segera menarik tangannya. Dari wajah bingung Yeji, ia langsung tahu kebingungan gadis itu.

"Tidak usah bingung kapan Soobin pindah rumah, dan jangan tanya aku tahu dari mana!" Yeonjun langsung memberi penekanan di kata terakhir ketika Yeji hendak bertanya.

"Choi Soobin," panggil Yeonjun membuat dua orang laki-laki berwajah mirip itu menoleh ke arahnya. Laki-laki yang sedang mondar-mandir tadi menghampirinya.

"Ada apa?" ia lalu menatap Yeji. "Kenapa?"

"Ada yang hendak dikatakan Yeji kepadamu." Yeonjun menatap Yeji tajam.

Soobin dan Yeonjun sudah menanti Yeji selama beberapa menit, namun bukannya sepatah kata atau apa, tapi malah tangis yang mereka dapat. Soobin menatap keduanya tidak mengerti.

"Baiklah, kalau kau tidak mau mengatakannya biar aku saja." Yeonjun menghela napas ketika melihat tampang bodoh Soobin. "Ya, Choi Soobin, apa gadis yang tinggal serumah denganmu sudah pulang?"

Mata Soobin membulat. "Tahu dari mana kau?"

Yeonjun menunjuk Yeji. "Salahkan orang ini. Dia baru saja hampir membuat nyawa gadis itu melayang."

Soobin mengerutkan alis, ia menatap Yeji tidak mengerti. "Apa maksud semua ini?"

Yeji mengangkat kepala. Ia membuka mulut dan berkata dengan patah-patah. "Tadi... aku... mobil... jadi..."

Lagi-lagi Yeonjun mewakilkan Yeji menjawab segalanya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di tembok yang sudah retak. "Yeji hampir menabrak Jisu tadi, tapi untung aku menolongnya."

Choi Moonbin, saudara kembar Soobin yang terlihat pucat tiba-tiba berdiri dari duduknya. "Apa katamu?! Lalu sekarang di mana Jisu?"

"Tidak tahu." Yeonjun mengangkat bahunya. "Mungkin sedang duduk di taman bermain kota. Oh ya, aku mau mewakilkan-sebenarnya aku tidak berhak, tapi mau bagaimana lagi," kata Yeonjun sebelum akhirnya ia menatap tajam kedua mata Soobin. "Kau dengan Yeji. Kalian hari ini, tepat waktu ini, PUTUS."

Jantung Soobin berdentum tak karuan. Antara sedih, tidak rela, dan sedikit senang. Ia menatap Yeji yang sudah berlinang air mata. Sebelum sempat membuka mulut, Yeji sudah mendahuluinya.

"Maafkan aku, mungkin ini yang terbaik... aku... aku akan mencoba melihat ke laki-laki lain mulai sekarang. Maafkan aku Soobin, aku minta maaf."

"Hwang Yeji..." tenggorokan Soobin seakan tersendat. Ia menelan ludah dalam-dalam.

"Maafkan aku Choi Soobin."

"Hwang Yeji... kau... kau..." Soobin menatap mata Yeji dalam-dalam.

Yeji balas menatap Soobin dalam, dengan berlinang air mata. "Percayalah, aku masih menyayangimu, Soobin."

"Heleh, sangat drama sekali." Yeonjun mengibas-ibaskan tangan di samping wajah, seolah kepanasan. "Sudah belum salam perpisahannya? Kalau sudah aku akan membawa Yeji pergi dari tempat..." Yeonjun menyapukan pandangannya ke sekeliling. Pandangan jijik. "...ini."

Tangan Yeji segera ditarik Yeonjun. Namun baru beberapa langkah, Yeonjun berhenti berjalan ketika teringat sesuatu, lantas membalikkan badannya. "Oh ya, Soobin, kau ingat saat kau berjanji akan membantuku mendapatkan Yeji? Terkadang aku memikirkan betapa liciknya kau saat itu. Harusnya pacar Yeji itu aku, bukan dirimu. Makanya aku ingin mengatakan kalau cinta itu butuh proses, yang selamanya tidak akan pernah mulus." Ia tersenyum miring dan segera berlalu dari hadapan Soobin.

Sementara Soobin terdiam mematung.

***

"Tidak tahu, mungkin ia sedang duduk di taman bermain kota."

Kata-kata Choi Yeonjun terngiang-ngiang di telinganya, secepat langkah kakinya menyusuri taman bermain kota yang lokasinya berada di sekitar sekolah kakaknya. Ia berhenti di tengah-tengah taman, menyapukan pandangan ke sekeliling. Ia lalu menatap jam tangan. Pukul tengah malam.

Taman bermain sudah kosong. Tidak akan ada anak yang mau bermain di taman pada tengah malam seperti ini, kecuali anak setan. Memikirkannya membuat Soobin merinding. Mungkin, Jisu sudah pulang-atau paling tidak, sudah on the way. Pemikiran itu membuat hati Soobin sedikit tenang. Ia pun membalikkan badan, namun ketika hendak pergi, tanpa sengaja ia melihat punggung seorang gadis sedang duduk termanung di ayunan.

Soobin menyipitkan matanya, untuk memastikan apa gadis itu adalah Choi Jisu. Kakinya perlahan mendekat... dan mendekat... hingga ia sudah berdiri di depan gadis itu. Dan gadis itu memang benar-benar Choi Jisu.

"Jisu-ya!" panggil Soobin sedikit berteriak.

Jisu mengangkat wajah, membuat hati Soobin sakit ketika melihat kedua matanya yang sembab. Ia pun berjongkok di hadapan gadis itu  dan membiarkan ibu jarinya menghapus sisa-sisa air matanya. "Maaf. Kau pasti sangat kedinginan. Kau sangat kedinginan, ya?"

Jisu hanya terdiam.

"Baiklah kubantu menghangatkan," kata Soobin lagi. Ia meraih tangan Jisu, mendekatkan telapak tangan gadis itu ke mulutnya, lalu meniupkan napas agar tangan gadis itu merasa hangat.

Namun, Jisu hanya diam tanpa respon.

Entah mengapa Soobin ingin menangis saat itu juga. "Maafkan aku." Soobin menggosok-gosokkan kedua tangan Jisu, masih membantunya menghangatkan diri. "Maaf..." ucapnya di sela-sela kegiatannya.

Akhirnya, Jisu membuka mulut secara perlahan, "Tadi aku hampir mati."

Air mata Soobin terjatuh ketika Jisu mengatakannya. Ia sendiri tidak tahu kenapa. Pelan-pelan, ia meletakkan kembali tangan Jisu ke pangkuan pemiliknya.

"Orang seperti aku sepertinya memang tidak boleh ya hidup bahagia?"

Soobin menggelengkan kepala.

"Kenapa aku tidak tertabrak saja tadi?"

"Jangan berbicara seperti itu." Soobin menggenggam tangan Jisu, sedikit meremasnya.

"Kan kalau aku mati, eomma di penjara akan senang. Selain itu, aku juga tidak akan merepotkanmu dan Moonbin oppa. Juga, aku ingin bertemu dengan ayahku. Siapa tahu kalau mati aku bisa bertemu ayah."

"Hentikan!" Soobin langsung menarik Jisu kedalam pelukannya. "Maafkan aku, ini semua salahku. Seharusnya aku tadi mengantarmu untuk bertemu hyung. Seharusnya aku membantah ketika kau menyuruhku pulang lebih dulu! Aku bodoh!"

"Choi Soobin, tidak pernah melihat kepadaku," gumam Jisu seorang diri. "Choi Soobin, tidak akan pernah melihat kepadaku..." ia terus mengulangi kalimat itu seolah senandung lagu.

"Hentikan semua itu! Hentikan!" Soobin berteriak di sela-sela gumanan Jisu.

"Choi Soobin tidak akan--"

"BODOH! Kau benar-benar bodoh! Apa kau tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini aku selalu memperhatikanmu? Aku selalu memperhatikanmu, bahkan melebihi kekasihku sendiri! Itu artinya cinta bodoh! Itu artinya aku cinta kepadamu! Bodoh..."

Jisu hanya terdiam.

"Aku mencintaimu, Choi Jisu."

"Ben-benarkah?" bisik Jisu pelan.

Soobin menganggukkan kepalanya. "Aku menyukaimu! Aku benar-benar mencintaimu! Aku... akan melihat kepadamu mulai sekarang. AKU, CHOI SOOBIN, AKAN MELIHAT KEPADAMU SAJA MULAI SEKARANG!"

Air mata Jisu tumpah. Bibirnya terkunci. Ia tidak dapat berkata apa-apa. Terlalu bahagia. Saking bahagianya ia sampai menangis sangat keras dalam pelukan Jisu. Dan selama Jisu menangis dalam bahagia, Soobin tidak pernah melepaskan pelukannya. Setidaknya sampai ia benar-benar merasa harus meluapkan semua perasaan yang selama ini dipendamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top