ONE
Gadis bermata bulat itu nyaris tak berkedip. Bola matanya tak beralih dari sosok seorang Choi Soobin yang tengah menggiring bola basket dan kini tengah melakukan lay-up, mencoba untuk memasukkan bola giringannya ke dalam ring. Namun, seorang pemain lawan yang jauh lebih tinggi darinya berhasil merebut kembali bola itu, membuat si gadis mendesah tidak terima dalam hati.
Soobin mengejar laki-laki itu, lawan main yang telah kurangajar menggagalkan aksi Soobin yang hampir saja mencetak poin. Mata bulatnya terus terfokus pada satu titik, tidak pernah teralihkan, berkedip saja tidak!
Ia terus mengamati Soobin yang kini salah satu tangannya hendak meraih bola dari tangan pemain lawan. Oops... tanpa sengaja, mata bulat gadis itu menatap kaki lawan yang mulai menghalangi kaki Soobin yang akan melewatinya. Dan terjadilah, suara bedebam keras, pertemuan tak mengenakkan antar tulang dan lantai lapangan basket yang kemudian disusul bunyi peluit.
DUAK!
Soobin terjatuh.
Pritttt!!!!
Wasit bergegas masuk ke lapangan dan memberikan kartu pelanggaran kepada pemain lawan yang dengan sengaja mencelelakai Soobin. Soobin yang terjatuh dengan lutut berdarah dibantu oleh teman-temannya menuju ke pinggir lapangan. Tersirat kekesalan di wajahnya, namun laki-laki itu bersaha menutupinya dengan senyuman, serta kata-kata, "Aku baik-baik saja." ketika siapa saja menanyainya.
Tak jauh dari lapangan, gadis bermata bulat itu berdiri cemas. Di tangannya tergenggam kamera digital murahan yang biasa digunakannya untuk memotret sang idola tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk si idola itu sendiri. Dan kini, ia tengah cemas karena sang idola sedang terluka di sana.
Otaknya seakan bergulat. Gadis itu terus berdiri sembari memikirkan sesuatu, sampai suatu hal membuatnya mengambil langkah untuk berlari dan diluar nalar ia melepaskan kameranya begitu saja, terjatuh, membuatnya pecah menjadi beberapa bagian. Seakan ia melupakan perihal tentang kamera, ia terus berlari dan berlari.
Tubuhnya harus rela tertabrak orang beberapa kali ketika ia seakan tak sabar untuk segera pergi ke suatu tempat yang terprogram dengan jelas dalam benaknya. Sepatunya berdecit nyaring ketika ia mengerem langkah tiba-tiba dan berbelok.
Satu...
Dua...
Tiga...
Sampai!
Gadis itu berhenti berlari sambil menatap ke sekeliling. Di tengah napasnya yang terengah-engah, ia masih bisa tersenyum melihat keadaan kantin yang sepi. Dalam hati ia bersyukur. Terima kasih Tuhan. Tanpa menghabiskan banyak waktu, ia langsung berlari ke arah mesin penjual minuman bersoda.
Ia segera memasukkan koin dan membiarkan matanya jelalatan mencari sebuah minuman.
"Ya, Choi Soobin, kau tidak mau minum ini?" Choi Yeonjun menatap kesal sahabatnya yang sedang duduk dengan ekspresi datar, seolah mengabaikannya yang kini melebarkan mata tidak terima.
"Aku tidak menyukainya," jawab laki-laki itu santai.
Yeonjun mendesah kesal, "Sejak kapan kau jadi pilah-pilih?"
"Aku tidak pilah-pilih. Aku hanya tidak menyukai soda lemon. Memangnya kenapa? Kalau kau mau membelikanku minuman bersoda, lain kali belikan soda apel saja."
"Soda apel," gumam gadis itu lalu memencet sebuah tombol. Terdengar suara gemeluduk dari bawah, disusul suara cekikikan gadis itu. Ia tidak sabar untuk segera memberikan minuman itu kepada idolanya. Ia menunduk untuk mengambil minuman itu.
Sebelum mengambil langkah, gadis itu menatap minuman soda rasa apel di tangannya dengan penuh harap. Bisakah kau membuat Soobin melihatku? Ia mencium pelan minuman itu, lalu memeluknya, berharap kalau minuman itu tidak hanya sekadar minuman, melainkan sesuatu yang sangat berarti untuk Soobin, atau Soobin itu sendiri.
"Soda apel-nya Soobin, kau harus membantuku membuatnya melihat kepadaku!"
Gadis itu mulai mengambil langkah, sedikit lebih santai dari yang tadi. Ia hanya cengengesan ketika beberapa orang menatapnya aneh. Ia terlalu bahagia membayangkan bagaimana kisahnya bersama Soobin akan dimulai saat nanti ia memberikan minuman ini. Wah, fantasinya meliar ke mana-mana.
Setelah sampai di tempatnya semula, di pinggir lapangan, senyum gadis itu merekah melihat Soobin masih duduk di tempatnya sembari mengelap keringat dengan handuk. Hanya saja ia sekarang tengah duduk sendiri. Sementara timnya dan tim lawan kembali melanjutkan pertandingan.
Senyumnya bertambah lebar, mengukir sebuah pemandangan indah. Cantik sekali. Perlahan, ia berjalan mendekat. Soobin masih juga belum menyadari kedatangannya.
Gadis itu terus melangkah mendekat. Semakin dekat. Dan semakin dekat.
"Choi Soobin!"
Teriakan nyaring itu membuat pergerakan si gadis terhenti. Refleks, dirinya dan Soobin menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Hwang Yeji dengan wajah merah tengah berjalan dengan langkah lebar ke arah Soobin. Yeji berjalan begitu saja melewati gadis itu, seolah keberadaan si gadis hanya entitas figuran yang tidak penting.
Melihat kedatangan Yeji, Soobin memaksakan diri untuk berdiri, namun ia malah terjatuh kembali.
"Choi Soobin!"
"Choi—"
Gadis itu ingin berlari dan membantu Soobin berdiri, namun pegerakannya terhenti seketika. Bibirnya kelu dan tenggorokannya terasa kering. Saat itu juga ia menyadari suatu hal: Soobin tidak membutuhkannya, tidak, Soobin tidak pernah mengenalnya—tidak! Soobin... tidak pernah melihat kepadanya.
Setetes air matanya terjatuh. Yeji sedang membantu Soobin duduk di depan sana, tepat beberapa meter dari gadis itu berdiri. Mereka berdua tengah berpelukan. Pemandangan menyakitkan manalagi yang melebihi hal itu?
Tangannya melemah. Kakinya bergetar. Minuman apel bersoda itu jatuh begitu saja ke lantai lapangan. Suara yang cukup nyaring itu membuat Soobin dan Yeji sempat menatap gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya sesaat, sebelum kembali sibuk berbincang.
Mereka tidak peduli. Ia tidak peduli.
Perasaannya remuk. Hatinya hancur. Sekuat tenaga gadis itu ingin membiarkan tubuhnya untuk tetap berdiri, namun tidak bisa. Daripada jatuh dan menjadi kacau, ia lebih baik pergi.
Ketika ia membalikkan badan, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Seorang laki-laki yang cukup tinggi.
"Kau tidak apa-apa?" tanya anak laki-laki itu.
Gadis itu menggeleng cepat dan langsung berlari tanpa perlu melihat wajahnya. Baru beberapa langkah, ia berhenti dan tertegun. Tepat di hadapan sepatunya, kameranya pecah berserakan di lantai. Ia baru ingat kalau ia tadi membawa kamera itu untuk memotret Soobin.
Gagal. Ia gagal. Gagal! Semuanya gagal!
Foto, kamera, soda apel, Soobin, semuanya gagal.
Pecahan kamera itu membuat hatinya semakin teriris. Bagaimana bisa ia menjadi kacau begini? Ia menunduk untuk memunguti pecahan itu. Tangisnya pecah. Dalam pelukannya, pecahan kamera itu berkumpul menjadi satu.
Ia menegakkan pungung, kembali berjalan. Pelan.
Pulang, dan berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi kejam.
***
"Soobin, kau tidak apa-apa?" tanya Yeonjun begitu menghampiri Soobin yang sejujurnya terlihat kenapa-napa. Laki-laki itu sedang duduk bersama Yeji. Yeonjun melirik Yeji sekilas, yang juga sedang menatapnya, lalu kembali menatap Soobin.
"Aku baik-baik saja," jawab Soobin dengan nada meyakinkan, walau dalam lubuk hati, masih tersirat dendam kepada orang sialan yang menjegal kakinya tadi. Dasar curang. Ingin ia berlari ke dalam lapangan, memukul orang itu, atau melempari kepalanya menggunakan bola basket sampai benjol. Tentu saja kalau saja hal itu bisa ia lakukan saat ini.
Yeonjun mendesah dan duduk di samping sahabatnya. "Apanya yang tidak apa-apa?" ia menunjuk lutut Soobin yang sudah diperban. "Itu sakit, 'kan?"
Soobin menatap lututnya yang berbalut perban. "Ya, sakit memang. Perih." Ia menolehkan kepala kepada Yeji yang tersenyum menatapnya. "Tapi ada Yeji, jadi rasa sakitnya tidak terlalu kerasa. Lagipula ia juga yang membantuku membalutkan perban." Soobin mengelus puncak kepala Yeji.
Pemandangan itu membuat hati Yeonjun seakan diremas-remas dengan air cuka. Semoga tidak ada yang bisa membaca pikirkanku, batinnya menelan ludah dalam-dalam. Perasaan cemburu mulai menggerogoti dirinya. Dalam pikirannya sudah ada beribu-ribu umpatan yang bisa saja ia lontarkan kepada dua sejoli itu. Oke, tapi sepertinya ia memang tidak berhak untuk mengumpat kepada pasangan yang tidak bersalah apa-apa kepadanya.
Em... baru saja apa yang ia pikirkan? Tidak bersalah? Cih.
"Choi Soobin, kau dan aku sudah bertahun-tahun menjadi teman. Aku sudah setia kepadamu bertahun-tahun ini," kata Yeonjun tiba-tiba. Terdengar aneh. Tidak biasanya ia berkata seperti itu.
"Lalu?" Soobin membalik halaman novel yang ia baca tanpa perlu menatap Yeonjun.
"Bantu aku mendapatkan Hwang Yeji."
Tangan Soobin yang tadinya hendak membalik kembali halaman nobelnya terhenti di udara. Ia meneguk ludah sebelum akhirnya mendongakkan wajah untuk menatap Yeonjun. "Apa?"
Yeonjun mendesah dan kembali menegaskan, "Kau," Ia menunjuk Soobin, lalu menunjuk dirinya sendiri. "bantu aku," Yeonjun merogoh saku dan mengeluarkan sebuah foto. Ia menyodorkan foto itu. "mendapatkan gadis dalam foto itu, Hwang Yeji."
Hening. Tangan Soobin bergetar ketika meraih foto itu. Bibirnya tiba-tiba kering, lantas ia menjilatnya. Perlahan, ia mendongakkan wajah dan mulai terkekeh. "Kenapa aku? Katakan saja sendiri."
"Aku sudah setia menjadi temanmu selama bertahun-tahun ini! Kenapa kau tidak mau membantuku satu kali ini saja?"
Tangan Soobin kembali bergetar, semakin hebat. Masalahnya, Yeonjun tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Soobin saat ini. Bayangan-bayangan Yeonjun dan Yeji berkencan membuat keringat Soobin menetes tanpa disadarinya.
Yeonjun kaya, tampan, dan pintar. Gadis manapun akan luluh dengannya, termasuk Yeji. Dan ia sendiri? Orang biasa, orang miskin malahan, yatim piatu. Sekolah hanya mengandalkan beasiswa. Kalau saja tidak ada beasiswa, ia mungkin sudah menjadi gelandangan.
"Choi Soobin?" Yeonjun mengguncang bahu sahabatnya.
Soobin memejamkan mata. Yeonjun masih menunggunya.
"Baiklah." Soobin tiba-tiba berdiri. "Aku akan mendapatkan gadis itu untukmu."
"Benarkah?" Bahagia. Yeonjun langsung memeluk Soobin detik itu juga dengan secercah harapan yang timbul dalam dada. "Akan kutunggu!"
"Yeonjun, kau baik-baik saja?"
Lamunan Yeonjun buyar seketika sebelum mencapai akhir. Ia menatap Soobin dan Yeji bergantian, lantas mengelus tengkuk. "Em... sepertinya aku harus pulang."
Soobin menatapnya aneh. "Pulang? Kenapa buru-buru sekali?"
Yeonhun kembali mengelus tengkuk. "Maaf, aku memang buru-buru sekali."
"Kenapa?" Yeji tiba-tiba berdiri. "Temani saja Soobin di sini, lagipula aku juga harus pulang."
Kenapa? batin Yeonjun, Aku benci melihatmu dengan kunyuk ini berpacaran, bodoh!
"Tidak," kata Yeonjun sembari tersenyum. Ia ikut berdiri. "Aku harus segera pulang. Kau saja yang menemani Soobin di sini. Ku rasa ia lebih membutuhkanmu."
"Tapi aku juga harus segera pulang. Jam pelajaran juga sudah berakhir."
"Benar. Tapi Soobin lebih membutuhkanmu di sini."
"Dia membutuhkanmu juga. Kau kan sahabatnya."
"Bukankah pacar lebih dibutuhkan daripada sahabat?"
Soobin berdiri dengan susah payah, melempar pandangan jengkel kepada Yeji dan Yeonjun bergantian. "Kalian ini anak TK yang memperebutkan diriku?" tanyanya kesal. "Sudahlah pulang saja sana, aku akan baik-baik saja. Yeonjun, kau antar Yeji pulang." Soobin mendorong bahu Yeonjun.
Seketika Yeonjun membeku di tempat. "A-apa?" Apa dia gila?!
"Antar Yeji pulang." Soobin menekankan.
Yeji dan Yeonjun menatap Soobin bersamaan, namun tidak berkata apa-apa. Mulut keduanya serasa terkunci.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Soobin. "Kalian tidak terima?"
"Ya."
"Tidak."
Yeonjun tertegun menatap Yeji, lalu memasukkan jari kelingkingnya ke telinga, mengorek isinya dalam. "Kau bicara apa barusan?"
"Aku?" Yeji menaikkan alis. "Aku bilang aku terima. Ayo kita pulang. Antar aku."
"Kau bilang apa barusan?
Yeji tersenyum, membuat matanya seakan menghilang karena sipit, "Ayo, Choi Yeonjun, antar aku pulang!"
"Apa katamu?" Yeonjun masih mencoba mencerna kata-kata Yeji barusan. Apa Hwang Yeji baru saja mengatakan kalau ia memintanya untuk mengantarkannya pulang? Benarkah? Itu nyata? Apa sekarang ia tidak sedang bermimpi? Apa tidak seharusnya ia sedang berjemur di pinggir pantai lalu tertidur dan bermimpi? Jangan-jangan, memang ada yang bermasalah dengan telinganya.
Beberapa menit, Yeonjun lalui dengan terbengong.
Kali ini Yeji benar-benar tidak sabar. Ia menatap Soobin, meminta suatu persetujuan. Setelah kekasihnya itu mengangguk, barulah Yeji berani menarik lengan Yeonjun pergi.
.
.
.
Cerita sedikit nih ya. Kemarin pas lagi main ke blog aku nemu ini FF, kasihan banget dan padahal aku sebagai penulisnya suka dengan cerita ini :"V tapi bahasanya masih awut-awutan, maklum waktu itu aku masih kelas dua smp kalau tidak salah. Sekarang aku coba perbaiki, aku tambahi kata yang kurang dan aku kurangi kata yang kurang pas. Kalian boleh baca versi sebelumnya di milleny165.wordpress.com. Tapi sebenernya nggak disarankan sih.
Ya kalau ada yang baru kenapa cari yang lama? EAAAA.
Wkwkwkwk.
Kalau misal membingungkan, wajar sih soalnya bahasa lama dicampur bahasa baru itu hmmm :"V. Lagipula cerita ini sebelumya cuma dua part, di sini aja aku pecah jadi beberapa chapter xD, biar nggak kepanjangan.
Awalnya cast cerita ini adalah Boyfriend, tapi berhubung mungkin sekarang peminat bacanya sangat langka, jadi aku ganti castnya. Semoga tetap suka ya :D
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top