Bab 6 - Rumah Mertua

"Selamat datang, Nona Maya." Lasmi membukakan pintu dengan membungkukkan punggungnya menyambut  Maya sebagai menantu rumah ini.

"Lasmi, siapkan makanan yang enak, setelah ini kami akan masak." Sandra memberi perintah pada Lasmi asisten rumah tangganya.

"Baik, Nyonya." Lasmi mengambil koper Maya dan menyeret ke kamar Edgar.

Maya memasuki rumah megah ini, ia menyimpul senyum kecil. Ah, akhirnya ia bisa menginjak rumah Bram tanpa takut dengan istrinya.

"Ikut saya Maya." Sandra menarik Maya ke ke kamar Edgar.

"Ini kamar siapa, Bun?" tanya Maya terpana dengan kamar luas dan rapi. 

"Kamar kamu dan Edgar, kalian akan tinggal di sini." Maya tambah senang, otomatis dia leluasa berdekatan dengan Bram. 

Maya mulai membayangkan bagaimana dia harus melalui malam pertama mereka? Bagaimana kalau Edgar memaksa? Ah, dia tak sudi disentuh tetangga biadabnya itu.

"Permisi, Nyonya makanan sudah siap. Apakah Nyonya mau makan sekarang?" Sandra mengangguk, lalu mengibas tangannya. 

"Maya, ayo kita makan dulu." Maya dapat melihat kebaikan dan ketulusan Sandra menerimanya sebagai menantu, tapi Maya malah berpikir ingin merebut Bram dari wanita ini, ada untungnya juga ia menikah dengan Edgar.

Saat ke ruang makan, mata Maya terpaku melihat pria yang tengah menatapnya, pria itu tersenyum membuat perutnya mual, sosok Edgar semakin menjijikkan baginya. 

"Bun, aku mau ke toilet."

"Perlu diantar?" Maya menggeleng tegas menolak tawaran Edgar tersebut. 

"Lasmi, bisa tunjukan toiletnya?" Lasmi bergerak cepat, ia mengantar Maya ke toilet.

"Silakan, Nona Maya." Maya masuk dan menutup pintu.

Dia mondar-mandir memikirkan cara menghindari terjadi gulatan malam ini. Dari tadi Maya terus memikirkan cara menghindari Edgar, apalagi malam sudah menjelang, pasti setelah makan malam ini, ia dan Edgar akan masuk kamar.

"Non Maya, sudah selesai?" Lasmi mengetuk pintu pelan.

Maya mendengar suara ketukan, ia membuka dengan menghempaskan napas kasarnya. "Kok kamu di sini?"

"Saya diminta Nyonya Sandra menemani Non Maya." Astaga, sebaik itukah mertuanya? Maya pun kembali ke ruang makan dan duduk di samping Edgar.

"Maaf, sudah menunggu," ucap Maya. Ia melirik Edgar yang sama sekali belum makan, padahal dari pagi Edgar tidak sempat makan, tapi demi menghargai Maya, ia menunggu Maya untuk makan bersama.

"Maya, Bunda harap kamu cepat hamil." Penuturan Sandra seakan membuatnya serangan jantung. Hamil? Gila kali dia harus hamil anak Edgar. Enggak … nggak, ia jelas gak mau lah.

"Bun, baru juga nikah tadi pagi, masa langsung minta cucu," komentar Edgar sambil menyantap makanan yang sudah disajikan oleh Lasmi.

"Hehehe … Bunda kan pengen punya cucu." Bram tampak tak suka dengan ucapan istrinya. 

Pria ini merasa dia lebih pantas bersama Maya daripada Edgar putranya sendiri. Dih, gak sadar umur, udah tua juga doyannya sama yang muda.

"Kamu terlalu buru-buru," ujar Bram terdengar datar.

"Apa salahnya sih, Mas? Aku pengen lho punya cucu, coba deh kamu lihat mereka serasi." Sandra tidak berhenti menguras Edgar agar mau memiliki anak. Dulu saja dia nikah, cuma satu bulan langsung hamil, anak zaman sekarang hobinya menunda melulu.

"Gak ada yang salah, mereka ini kan dijodohkan, biarkan dulu mereka berdua saling kenal." 

"Udah paling benar tuh kata Ayah." Edgar berkomentar, lagian ngapain sih buru-buru? Belum tentu juga si Maya mau diajak bikin anak.

Maya tersenyum sambil melirik Bram, baginya Bram selalu jadi pahlawan dalam hidup, dari dulu hingga saat ini. Mungkin itu juga yang membuat Maya jatuh cinta padanya.

"Kamu selalu gitu ah, Mas. Emangnya kamu gak pengen punya cucu." Sama sekali tidak, ia bahkan berencana memisahkan kedua menantu dan anaknya. 

Tidak mau ikutan Maya makan dengan lahap, ia merasa orang baru di rumah ini. Dan belum tau ini itu tentang rumah ini, apalagi tentang istri dari Bram, bisa saja baik di depan. Eh, taunya bermuka dua, sama kayak anaknya tuh nyebelin.

"Sandra, kamu seharusnya menyakinkan Edgar untuk menguruk perusahaannya, bukan bekerja yang tidak jelas." Edgar menatap sarkas Bram. 

"Mas!" Sandra menekan suaranya, dia tidak mau Bram melukai hati putra kesayangannya.

"Kenapa? Kamu tidak suka?" Bram malah menunjukan muka menantang, dia tau ujung-ujungnya Sandra akan membela Edgar.

Brak!

Edgar memukul meja, lalu meninggalkan ruang makan itu.

Sedangkan Maya hanya tercenggang melihat sikap Edgar. Harus ia akui kata-kata Bram memang sangat menyakitkan, bukannya semua pekerjaan itu sama saja. Apa salahnya menjadi seorang arsitek? Kali ini Maya sangat tidak setuju dengan sikap Bram.

"Maya, tolong susul Edgar." Maya mengangguk, untung saja ia sudah selesai melahap habis makanannya.

*

Malam ini terasa horor bagi Maya, ia memasuki kamar berukuran besar. Dia menelan salivanya saat suasana kamar ini seperti remang-remang. Lampu yang cahayanya tidak terlalu terang membuat Maya kesulitan mencari keberadaan Edgar, seluruh lantai bertebaran sebatang mawar merah.

"Edgar, kau di mana?" Maya tak mendapat jawaban apapun, ia berjalan menuju ranjang, dan sedikit lega karena tidak adanya Edgar di kamar ini, dia pun tak peduli kemana pria itu pergi. 

"Kenapa? Kau sudah merindukanku?"

Suara itu membuat Maya terhenyak, argh … ternyata Edgar ada di kamar ini juga, tapi kemana pria itu berada.

"Edgar, kau jangan mempermainkanku!" Maya mencari dalam keberadaan Edgar.

"Lantang sekali suaramu? Apa kau lupa aku ini suamimu, seharusnya kau menghormatiku." Dengan suara jumawanya Edgar berkata. 

"Hormat? Kau ingin dihormati? Pernikahan ini tidak akan lama, dan aku yakin itu." Maya sangat kesal dan masih tidak menerima pria ini menjadi suaminya, awas saja Edgar berani menyentuhnya, dia pasti tulang rahang Edgar patah semua.

"Kenapa kau begitu yakin?" Maya terjenggit ketika tangan besar Edgar tiba-tiba melilit di pinggangnya.

"Edgar! Kau jangan kurang ajar!" Maya menjerit kencang membuat pria ini spontan mendekap mulut Maya.

"Jangan berisik! Kau mau ayah dan bunda kemari." Maya sontak menggeleng. "Ya sudah jangan berisik." Edgar menahan kekehannya, padahal setiap kamar di rumah ini kedap suara, mau Maya teriak sekuat apapun percuma tidak akan ada yang mendengar.

Sentuhan Edgar membuat bulu kuduk Maya merinding, dia mulai dihantui rasa takut. Ia turun dari ranjang perlahan dengan mata yang berkaca, kejadian menyakitkan mulai menghantui Maya. "Jangan mendekat!"

Edgar menghidupkan lampu, lalu mengangkat satu alisnya, ia menatap Maya heran. Tampak jelas raut mimik Maya seperti melihat setan, sayangnya dia bukan setan. Mana ada sih setan setampan Edgar, ada lesung pipi pula.

Wanita berusia dua puluh lima tahun ini, sudah merasa melihat laki-laki bejat yang seolah Edgar ingin berbuat tidak senonoh padanya. Lha, harusnya ini malam pertama mereka, sudah sewajarnya mereka melakukan hubungan lebih intim. 

"Edgar, aku bilang menjauh! Jangan coba mendekat!" pekik Maya.

"Maya, kau istriku." Jantung Maya berdebar karena takut, hantaman masalah mengelilingi otaknya.

"Jangan … jangan …." Kali suara Maya terdengar histeris, dia bahkan mengerjapkan mata tak berani membukanya.

Edgar melihat sikap Maya, ia lalu mendekati wanita ini lalu berkata, "Aku tidak akan menyentuh tanpa ijin darimu." 

Tangan kanan Edgar mendarat mengelap keringat di dahi Maya, lalu perlahan mengangkatnya kembali ke ranjang. "Jangan!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top