Bab 3 - Wasiat Kakek

"Surat wasiat kakek minta Maya nikah sama teman cucu beliau." Maya sampai histeris mendengar berita ini, seperti mendapatkan berita duka dalam hidupnya, bagaimana mungkin dia harus nikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal. "Kenapa harus Maya, Buk?" Maya protes dengan wasiat kakeknya yang konyol.

Baru juga sampai beberapa jam yang lalu, malah dikejutkan berita seperti ini.

"Karena kamu cucu kesayangan kakek, dulu kakek dan temannya ingin sekali menjodohkan anak-anaknya, tapi karena ibuk dan anak teman kakek itu perempuan, mereka memutuskan menjodohkan cucu-cucu kesayangannya." Ayu berkata dengan lembut, berusaha membuat Maya mengerti.

"Tapi Maya sama sekali gak kenal dan cinta sama teman cucu kakek, Buk." Maya berusaha menolak secara halus.

"Ibu tau ini sulit buat kamu, tapi ini wasiat terakhir kakek. Kamu gak tega 'kan melihat kakek sampai tidak tenang di sana." Astaga, ibunya ini bisa saja mengobrak-abrik isi hatinya, mana tega sih Maya kalau begini ceritanya.

"Bagaimana aku harus menjelaskan ini ke dia, Buk?"

"Maya, dia gak pantas buat kamu. Ibu udah sering peringatkan kamu melupakan dia, cari yang lebih pantas menemani kamu, bukan Bram." Ayu menghembuskan napas panjang. "Ibu gak mau kamu nantinya dianggap pelakor, Bram itu udah punya istri." Maya terdiam, walaupun nasihat Ayu benar, tetapi ia terlanjur mencintai Bram, selama istrinya gak tau Maya rasa semuanya aman-aman saja.

"Maya gak peduli, Buk. Maya cuma cinta sama Bram, titik!" Ayu menggelengkan kepalanya, dia merasa heran apa yang Maya lihat dari pria yang lebih pantas disebut ayah daripada kekasih.

Beberapa bulan yang kakek Maya sudah memperingatkan Ayu untuk menjauhi Bram dan Maya, meski sama sekali bertemu langsung tapi Ayu tau mengetahui tentang Bram dari Maya.

Awalnya, Ayu tidak suka. Namun, sejak peristiwa membuat hidup Maya hancur, putrinya hanya merasa nyaman bersama Bram membuat Ayu membiarkan begitu saja. Ini salahnya, seharusnya dia memisahkan keduanya sejak pertemuan mereka di rumah sakit itu.

"Tapi, dia lebih pantas jadi ayah kamu, May." Ayu meninggikan suaranya. Dinikahi dengan jantan tampan kok gak mau, malah memilih yang tua. Ayu memang gak pernah ketemu orangnya, tapi dia tau cucu Adiguna pasti tampan, kakeknya saja tampan begitu.

Debatan anak dan ibu masih saja berlanjut, meski kurang nyaman harus bertengkar dengan Maya seperti ini, tapi tekad Ayu membuat setuju semakin gencar. Sementara Maya, masih saja gigih mempertahankan Bram.

"Enggak! Maya gak mau khianati mas Bram." Ya ampun, anak ini batu juga ternyata, Ayu sampai lelah melembutkan hati Maya.

"Kalau kamu nolak, itu artinya kamu juga menolak wasiat kakek."

"Bukan begitu, Buk."

"Lalu apa?"

Sekarang malah yang serba salah, paling tidak berikan Maya waktu bisa, kan. Maya harus memikirkannya dengan baik. "Berikan Maya waktu."

"Gak ada waktu, karena beberapa hari lagi pernikahan akan dilaksanakan."

"Secepat itu?"

"Iya, pihak laki-laki yang meminta." Maya geram mendengarnya, bagaimana dia harus bertemu dengan Bram? Dia kan ingin menceritakan masalah ini.

Maya meninggalkan ruang keluarganya tampak sederhana, ia masuk ke kamar sembari memegang ponselnya. Maya berpikir, bagaimana caranya menyampaikan kepada Bram? Maya mondar-mandir mencoba menghubungi Bram, tapi pria itu tidak mengangkat, berulang kali Maya menelponnya, namun tidak ada jawaban.

"Pasti dia lagi bersama istrinya," ujar Maya sendiri.

"Maya, Ibu menunggu jawaban kamu." Ayu menyusul Maya ke kamar. Wanita ini menatap ibunya yang berdiri di depan pintu kamar.

"Buk, Maya kan bilang kasih waktu."

"Pak Adiguna sudah menghubungi Ibu menanyakan persetujuan kamu." Ish, sial banget si Maya, diminta pulang malah disuruh kawin.

"Sebentar ya, Buk." Ayu duduk di tepian ranjang, melihat Maya berusaha menghubungi seseorang.

"Kamu telepon Bram?" tanya Ayu membuat Maya terdiam. "May, lupakan laki-laki itu. Sini ponsel kamu." Ayu merebut ponsel Maya. "Sampai hari pernikahan, biar Ibu yang pegang!" Maya mendengus, ingin marah tapi jatuhnya durhaka.

"Buk, gak bisa gitu dong, itu ponsel Maya tolong balikin," pinta Maya.

"Ibu gak mau kamu bicara sama Bram sampai acara pernikahan."

"Ya ampun, Ibu tega banget." Masa cuma bicara lewat telepon gak bisa, apa perlu Maya ke rumah Bram? Ah apalagi itu, sangat tidak mungkin. Bram bisa marah besar, dan Maya tidak ingin kehilangan Bram.

"Sekarang jawab Ibu kamu bersedia atau tidak."

"Emangnya Maya punya pilihan lain?"

*

Maya berdecak duduk di pinggiran sungai, rasa kesal ia rasa dalam hatinya. Kenapa harus dia sih? Maya kan bukan satu-satunya cucu kakeknya. Ia melempar batu ke sungai dengan muka masam.

"Auh!" Maya kaget mendengar suara teriak laki-laki.

Astaga, ternyata percikan airnya terkena orang lain. "Woy, hati-hati!" teriak pria itu, lalu berbalik menghampiri Maya.

"Maya!" Edgar kaget melihat Maya ada di perdesaan ini.

"Kau penguntit!"

Enak saja penguntit

"Kau pikir aku kurang kerjaan harus jadi penguntit." Edgar membuang muka malas, dia juga bosan setiap hari melihat Maya. Sudah jauh-jauh ke Surabaya malah ketemu lagi, kan jadi malas.

"Bukannya iya kau penguntit, karena kau selalu ada di mana-mana." Sudah kesal dipaksa nikah, sekarang malah ketemu si penguntit satu ini.

"Kau!"

"Sekarang kau pergi sebelum aku cakar." Pria berusia 26 tahun ini ikut duduk samping Maya, dia tertawa kecil memandang kekesalan Maya.

"Hey Nona, apa yang membuatmu kesal?" Wajah bersungut-sungut Maya terlihat jelas memiliki masalah. Wanita cantik ini sudah membuat percikan air di muka Edgar.

"Kau! Kau membuatku kesal, masalahku hari ini banyak, tapi kau menambah masalah di otakku," cecar Maya, dia meluapkan emosinya melalui Edgar, siapa lagi? Tidak ada orang yang bisa dia ajak bicara atau sekadar melampiaskan amarahnya.

Edgar menghela napas dijadikan lampisan amarah Maya. "Kau bisa cerita padaku," tawar Edgar.

"Kau jangan sok baik!" Edgar tidak bermaksud, dia hanya ingin membuat Maya tenang, walaupun tak tahu apa yang tengah dihadapi Maya.

"Aku? Sok baik? Sama sekali tidak!"

Padahal Edgar sudah berniat baik, eh Maya malah berprasangka buruk padanya. "Aku cuma ingin jadi pendengar baik."

"Tidak perlu, karena kau tidak akan pernah bisa membantu." Maya melihat langit biru. "Kakek, kau sudah meninggal dunia, tapi kenapa meninggalkan wasiat yang sulit aku terima?" pekik Maya, dia mulai protes dengan wasiat terpaksa membuatnya menikahi pria tak ia kenal.

"Mana ada orang mati bisa jawab masalah bodoh ini, satu-satunya cara kau harus hadapi," komentar Edgar.

Maya langsung menatapnya sengit, meski kenyataannya Edgar benar, masalah bodohnya ini harus dihadapi, percuma juga protes, nanti juga dia tetap harus nikah. "Diam kau!"

"Ssstttsss … baik aku diam." Edgar menutup mulutnya sendiri.

"Ini semua gara-gara cucu Adiguna!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top