Bab 2 - Dasar Tetangga
"Jaga jarak! Jangan coba mendekatiku!" tuduh Maya saat sedang berada di lift, keduanya saling membelakangi, bahkan sama sekali tak ingin saling menatap.
Maya menggunakan cream pencuci tangan, ia sempat bersentuhan dengan Edgar merasa najis, baginya Edgar kuman paling berbahaya.
"Kau jangan kepedean, aku tidak nafsu!" Maya membidingkan matanya, apa dia tidak menarik? Padahal dia sangat cantik lho, tapi sama sekali tidak membuat Edgar tertarik padanya.
"Tentu saja kau tidak nafsu, kau kan impoten!" Pria itu langsung mendekat dengan menyipitkan kedua bola matanya. Berani sekali gadis ini menghujatnya impoten, siapa bilang dia impoten? Perlu bukti sekarang juga, dasar tetangga gak tau diri!
"Apa kau ingin melihat juniorku? Kau tidak percaya sebesar apa milikku."
Maya spontan menutup matanya saat Edgar menurunkan resleting celananya sengaja, mana mungkin sih Edgar menunjukkan asetnya semudah itu, hanya istrinya kelak yang boleh melihat benda ini. Bukan wanita seperti Maya yang sering jalan dengan pak tua.
"Edgar! Kau bangsat, menyingkir kau dari hadapanku. Laki-laki tak bermoral!" Maya menjerit, bayangan hitam seakan menghantuinya. Masa lalu meronggoti hatinya akan rasa takut, Maya sontak mendorong tubuh Edgar dengan keras, lalu berlari saat lift sudah terbuka.
Gadis itu berlari hingga berada di depan pintu apartemen miliknya, Maya mengatur napas sambil menekan tombol sandi untuk membuka pintu.
Kegelapan selalu mengingatkan Maya kejadian buruk menimpa dirinya, Edgar membuatnya takut seketika, hanya Bram yang dapat menenangkan hatinya ketika kacau seperti ini.
Edgar melihat tangan Maya gemetaran, pintu akhirnya terbuka lebar. "Maya, tunggu!"
Pintu tertahan oleh kaki Edgar, pria yang memiliki lesung pipi ini hendak masuk.
"Edgar, apa yang kau mau?" teriak Maya mendorong Edgar.
"Aku cuma ingin memberikan struktur desain pembangunan baru butik." Shit … Maya nyaris mati dibuatnya, ia pun mengambil kertas dari tangan Edgar.
Edgar dan Maya kebetulan memiliki kerja sama, Maya memiliki butik, sekarang desain baju Maya semakin meningkat, kualitas bahan bajunya juga oke, maka dari itu Maya berniat membuka cabang baru.
"Kau sudah selesai, kan? Sekarang keluar!" usir Maya.
"Jangan pake urat, aku bisa keluar sendiri." Edgar akhirnya keluar membuat Maya lega.
Maya melemparkan tasnya sembarang, lalu ia membuka pakaiannya, ia tersenyum melihat dirinya dari pantulan cermin miliknya, tanda merah menghiasi tubuh. "Bram, aku sudah merindukanmu," ujar Maya sendiri.
*
Di sebuah rumah sebuah pedesaan kota Surabaya, Ayu kedatangan tamu tak terduga. Ia membukakan pintu kepada tamu agungnya ini.
"Ayu, di mana anakmu?" Adiguna bertanya kepada pemilik rumah.
"Di Jakarta, Pak Adi."
"Saya datang untuk melamarnya." Ayu tak menyangka secepat ini, ia takut Maya tidak akan setuju dengan perjodohan ini, walaupun sebenarnya ini wasiat eyang Maya.
"Tapi, apa tidak sebaiknya saya bicarakan dulu ke Maya," saran Ayu, dia tau jika Maya mencintai pria lain, dan mana mungkin putrinya setuju perjodohan ini.
"Tidak perlu! Kamu suruh Maya pulang, kita akan adakan pernikahan mereka seminggu lagi." Ayu tidak bisa menolong karena Adiguna sahabat ayahnya, sedangkan ayahnya baru meninggal tiga bulan yang lalu. Wasiat sang ayah meminta putrinya menikah dengan cucu Adiguna.
"Tapi Pak, saya rasa itu terlalu cepat." Ayu khawatir Maya belum siap.
Adiguna tidak mau tau, baginya ini sebuah wasiat yang harus dilaksanakan, lagi pula cucunya sama sekali tak keberatan.
"Semakin baik, semakin cepat." Adiguna tidak suka menunda hal yang baik. "Akad nikah akan diadakan di rumah ini, untuk pesta biar kami yang mengurus." Susah memang jika bicara dengan pengusaha kaya, meski sudah pensiun tetap saja hartanya melimpah.
Setelah kepulangan Adiguna, Ayu menelpon Maya yang sedang di Jakarta.
"Halo, Bu."
"Halo, May. Gimana kabarmu, Nak?"
"Baik, Bu. Ada apa, Bu?"
"Ibu mau minta kamu pulang ke Surabaya pekan ini, ada yang ingin Ibu sampaikan." Dalam hati Maya merasa heran, tapi ya sudahlah dia tidak terlalu ambil pusing, lagian ibunya pasti menyuruhnya datang karena beliau rindu.
"Maya selesaikan pekerjaan di sini baru Maya pulang," kata Maya.
Maya mematikan ponsel, lalu meletakkan kembali di nakas, tumben sekali ibunya meminta pulang pekan ini, biasa juga nggak.
Maya keluar, lalu mengetuk pintu Edgar.
"Edgar!"
"Edgar, buka pintunya." Maya masih mengetuk pintu, dia terpaksa menghampiri Edgar karena pekerjaan yang harus mereka selesaikan.
"Ini orang tuli ya, dari tadi gak dibukain sama sekali loh." Maya berungut sendiri sambil menekan bel, mungkin ketukannya kurang keras.
"Edgar …." Maya sampai berteriak.
"Jangan berteriak, aku tidak tuli!" Edgar membuka pintu dengan balutan handuk di pinggangnya, tetesan air basah dari rambutnya.
Maya menelan kasar salivanya, pemandangan apa ini? Pria ini pasti sengaja menunjukkan setengah tubuhnya yang setengah telanjang. "Aku perlu bisa bicara sebentar?" Maya memalingkan wajahnya, ia tak sudi melihat tubuh basah Edgar, gak menarik sama sekali baginya.
"Ya sudah bicara aja," ucap pria ini enteng. Dengan sangat santai ia membuka lebar pintu sambil melemparkan handuk sebarang.
Sontak Maya menutup matanya, dia masih waras dan tidak ingin melihat benda banyak di balik handuk itu. "Edgar, kau najis!"
"Hahaha … eh, aku gak telanjang, pikiranmu terlalu mesum." Shit! Nyaris jantung Maya copot. Apa-apaan sih Edgar, lagian pake baju depannya, wajarlah Maya berpikir Edgar telanjang.
"Edgar, kau menyebalkan! Aku gak mau basa-basi, aku minta proyek kita ditunda dalam waktu seminggu. Dan aku mau kau perbaiki lagi desain ini." Edgar membiding sinis, ia mengambil kembali desain miliknya di tangan Maya, perasaan gak ada yang salah, ini sudah terlihat classic seperti Maya minta.
'Dasar perempuan cerewet, banyak banget maunya.'
Konsep butik baru Maya classic, tapi tetap menunjukkan elegan, sehingga pengunjung betah saat memasuki butik miliknya.
"Kau pikir membuat desain ini mudah, aku mengerjakannya sampai gak tidur."
"Aku tidak pernah minta kau sampai gak tidur." Maya kampret, susah payah dia menggambar konsep butik sesuai keinginan, eh malah disuruh perbaiki.
"Tapi waktu itu kau minta secepatnya." Kan memang benar wanita itu selalu memintanya cepat, tapi selalu saja dia salah.
"Ya, itu urusan kau, aku mau semua segera beres." Edgar tersenyum paksa, kalau bukan Maya tetangganya dan dia sudah terlanjur tanda tangan kontrak, dia ogah melanjutkannya.
"Kau memang suka bikin orang susah!" geram Edgar.
"Eh, sembarang tuh mulut mercon. Aku ini mau semuanya perfect, jangan sampai gara-gara desain kau ini, butikku jadi sepi." Edgar menghembuskan napas panjang, dia terpaksa mengikuti aturan Maya, beruntung tingkat emosinya masih sekecil jantung, kalau tidak akan dia jadikan Maya santapan makan malamnya, kan mayan gratisan, tapi sayang badan Maya ramping dan hanya tinggal tulang.
"Terserah kau Maya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top