Bab 19 - Gara-gara Jamu
Maya terbangun dari pingsan, ia membuka perlahan matanya. Masih terasa berat kepalanya, dia melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan Edgar, hanya ada Sandra dan Bu Ayu menemani mereka.
"Buk, di mana Edgar?" tanya Maya dengan suara parau. Ingin sekali ia merutuki Edgar karena tak menemaninya, istri lagi sakit malah keluyuran tak jelas.
"Astaga, baru juga ditinggal sebentar udah kangen sama Edgar, suami kamu tadi itu khawatir banget, dia sampai jemput dokter dari rumah sakit," sambar Sandra mendengar pertanyaan Maya. Edgar memang sangat khawatir dengan kondisi Maya mendadak drop, saking paniknya dia langsung ke rumah sakit setelah membaringkan tubuh Maya di kamar, padahal bisa aja 'kan telpon.
"Terus apa Edgar belum kembali juga?" Sandra tersenyum kecil, jadi ingat masih muda gak pernah mau jauh dari suami.
"Kamu itu persis kayak Bunda dulu. Waktu baru-baru nikah Bunda gak mau jauh dari Mas Bram, maunya nempel melulu. Aduh, kok jadi Bunda curhat gini sih." Maya hanya tersenyum tipis. Herannya, kenapa tidak ada perasaan cemburu menggebu? Ada apa dengan hatinya sekarang ini? Maya termenung memikirkan perasaannya sendiri.
"Maya, kamu diajak bicara kok malah ngelamun." Bu Ayu memukul pundak pelan Maya yang sudah duduk bersandar di ranjang.
"Maaf, Buk." Maya menunduk. Mungkin hati dan otak lagi gak sinkron, makanya dia sama sekali gak cemburu mendengar ocehan Sandra, tunggu saja otaknya kembali waras dia akan merebut Bram dari mertuanya.
"Kok minta maaf sama Ibu, sama mertua kamu dong." Maya mendesah, dia tak bisa menolak karena dari kecil ibunya selalu bersikap sopan dan memiliki adab baik dengan orang yang lebih tua.
"Maaf ya, Bunda. Kepalaku masih sakit, jadi pikiranku kemana-mana." Sandra tersenyum dan mengelus lembut pipi Maya. Dari dulu Sandra ingin sekali memiliki anak perempuan, namun semua itu tidak mungkin karena rahim Sandra telah diangkat saat melahirkan Edgar. Itu kenapa suaminya jarang sekali menyentuhnya, dan memilih bermain dengan wanita di luar sana, padahal tidak ada pengaruh pasca operasi angkat rahim, dokter sendiri selalu mengatakan aman-aman saja mereka melakukan hal itu, tapi Bram memang sudah tidak menginginkannya.
"Bunda, kenapa mendadak sedih?" Maya menyadari perubahan mimik muka Sandra seperti menyimpan luka, ya siapa sih gak frustasi mengetahui suaminya main api di luaran sana, laporan demi laporan selalu dia dapatkan.
Sandra menggeleng kepalanya seraya tersenyum. "Gak kok! Oh ya … Edgar tadi bilang dia pergi sebentar ketemu kakek. Kamu tunggu sebentar lagi juga dia kembali."
"Sayang, ini minum dulu jamu biar kepala kamu enakan." Sandra dan Bu Ayu saling melihat sambil menahan senyum.
"Jamu? Maya gak mau, Buk. Ibu 'kan tau Maya gak suka minum jamu," protes Maya melihat jamu yang sangat dia tidak suka. Baunya aja udah gak enak gini, pasti rasanya aneh dan pahit.
"Ini buat kesehatan kamu Maya. Kata dokter kamu itu kecapekan dan anemia, jamu bisa tubuh kamu enakan."
"Hah? Anemia? Sejak kapan Maya punya anemia, selama ini juga gak pernah." Maya merasa aneh, apalagi tidak ada Edgar. Apa ibu dan mertuanya bisa dipercaya? Masa iya dia anemia, ya kalau cuma kelelahan mungkin aja.
"Penyakit itu bisa datang kapanpun, kamu percaya deh minum akan membuat kamu lebih baik." Sekarang malah giliran Sandra menyakinkan Maya.
Entah kenapa Maya menaruh curiga, lagipula kepalanya sudah tidak terlalu sakit. Tubuhnya malah lebih enakan setelah pingsan beberapa saat lalu.
"Ini!" Bu Ayu memberikan gelas berisi jamu itu pada Maya. "Ibu gak mau tau kamu harus minum sampai habis," lanjut Bu Ayu membuat Maya menghempaskan napas kasar, kalau udah dipaksa gini Maya bisa apa, kecuali lakukan.
Pelan-pelan Maya mulai meneguk jamu pahit, dia menjeda sedikit demi sedikit. Namun, Sandra menekan hidungnya untuk meminum sekaligus jamu tersebut.
"Gitu dong habis! Bunda dan Ibu kamu mau kembali ke kamar kami, kamu tunggu aja Edgar." Maya mengangguk.
Semenjak menikah dengan Edgar, dia sulit sekali menghubungi Bram, bahkan bertemu selalu dihalangi pria itu. Mungkin sekarang waktu yang tepat, Maya bergegas mencari ponselnya.
"Cari apa?" Maya melotot saat mendengar suara bariton menggelegar di telinganya. Ih nyebelin Edgar malah udah datang, baru juga dia ingin bertemu Bram.
"Maya, kau menjadi tuli setelah pingsan, aku bertanya kau cari apa?" kata Edgar berdiri sambil membuka bajunya. Entah mengapa dia merasa gerah, padahal dia sudah mandi sebelum pergi ke kamar kakek.
Maya menoleh dan kaget melihat Edgar tak berbaju. "Kau …." Otak Maya mulai curiga. "Jangan mencoba menyentuhku!" tegas Maya. Dia tau laki-laki kayak Edgar ini, ujung-ujungnya pasti mesum juga.
Edgar tak menjawab, dia malah sibuk dengan dirinya yang kegerahan. Perasaan AC di kamar hotel ini full, tapi kenapa dia kepanasan begini.
"Edgar, apakah kau baik-baik saja?" tanya Maya merasa aneh dengan sikap Edgar, tak biasa seperti ini, hobinya 'kan nyolot tapi ini gak sama sekali.
"Hemmm."
***
Maya baru selesai mandi, Maya lupa mengambil baju di kopernya, dia keluar dengan kimono pendek menutupi tubuhnya. Maya berlari kecil melewati Edgar, dia mengobrak-abrik kopernya. Kenapa tidak ada baju yang pantas dia kenakan? Kok mendadak semua bajunya lingerie semua, bukankah Maya yang memasukkan baju ke dalam koper. Astaga, ini betul kopernya 'kan, masa iya dia tidur pake kimono begini.
Dahi Edgar sudah penuh dengan keringat, apalagi melihat Maya semakin membuatnya tubuh basah dan kepanasan. 'Kenapa hari ini panas banget sih?' batin Edgar.
"Ma—Maya apa kau bisa cepat pakai bajunya?" ucap Edgar menahan tubuhnya yang gemetaran, tambah lagi si junior tiba-tiba mengeras membuatnya semakin tak karuan.
"Tunggu sebentar, ba—babajuku," gugup Maya. Aduh gimana caranya dia mau pakai baju kalau begini, ah jangan-jangan … huh pasti ibu mengganti isi kopernya. Ya Tuhan, gimana kalau Edgar menyentuhnya.
Namun, Maya mendadak merasa kepanasan, dia melirik AC yang menyala. Sekarang bukan sekadar kepanasan, tapi dia malah merasa ingin melepaskan kimononya.
"Maya, kau semakin lama di situ, aku semakin gila!"
Beep!
Suara notifikasi ponsel Edgar terdengar, dia membuka chat dari sang kakek. Mata Edgar melotot saat membacanya. Astaga, ternyata kakeknya memberikan obat perangsang saat dia minum.
Edgar memasang muka frustasi, dia menyapu mukanya berulang kali menetral situasi tubuhnya yang tidak baik-baik saja. Otaknya semakin tak waras seakan gerak-gerik Maya mengundang gairah pada dirinya.
Pria ini bergegas ke toilet membasuh wajahnya. Dia harus menahan kegilaan ini, Edgar tak mau Maya malah membencinya. Pemaksaan akan melukai batin Maya. "Tenang Edgar, tenang."
Maya sendiri tak mengerti apa yang dia rasakan jantung berdegup kencang dua kali lipat, dia berdiri di depan pintu toilet untuk meminjam baju Edgar.
Edgar mulai gugup saat membuka pintu, apalagi Maya tiba-tiba ada di hadapannya. Ia menelan salivanya dengan kasar. Ini cobaan terberat bagi Edgar.
"Edgar, aku ingin meminjam bajumu." Tanpa persetujuan Edgar, Maya membongkar baju Edgar, pria ini tidak banyak membawa helai pakaian, hanya beberapa saja.
Setelah Maya sudah mengenakan baju, ia duduk di atas ranjang. Parahnya dia semakin gerah, dan ingin rasanya melepaskan seluruh pakaiannya.
"Edgar, apa kau merasa panas?" tanya Maya. Edgar mengangguk samar, bukan saja kepanasan tapi dia seolah ingin mencium Maya. Bayangan mengecup bibir Maya yang kenyal nan lembut saat disentuh akan membuat perasaannya lebih nyaman. Tapi sayang sekali itu hanya kehaluannya.
"Apa juga kau merasa hal yang sama?" Edgar bertanya berburu. Edgar memutarkan bola matanya curiga, masa mereka samaan sih.
"Kau juga. Aku merasa gerah, keringat kau sangat banyak Edgar. Apa kau baik-baik saja?"
"Jangan, Maya!" Edgar menghentikan tangan Maya menyentuh dahinya. Apa Maya tak kasihan dengan nasibnya, jika menyentuh dahinya. Bisa semakin keras juniornya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top