Bab 14 - Mencari Maya

Edgar membatalkan kepergiannya bersama Maya, ia juga sudah memberitahu kakeknya, tidak mungkin Edgar datang tanpa Maya, kakeknya itu bisa banyak tanya.

Kini Edgar baru sampai di rumahnya, dia tidak dapat menemui Maya di ruang tamu, dapur, teras, bahkan kamar mereka.

"May, kamu pergi ke mana sih?" Edgar terlihat khawatir.

"Edgar, kamu udah pulang? Bukannya kamu mau pergi ke rumah kakek," ucap Sandra, dia baru selesai makan siang, wanita ini sudah terbiasa makan sendiri, kesepian selalu menjadi temannya. Ketika melihat Edgar grasak-grusuk dia tau putranya pasti mengkhawatirkan sesuatu.

"Aku —- a— eghmmm aku cari Maya."

"Bukannya kamu bilang mau jemput Maya tadi, apa gak ketemu?" Edgar menggelengkan kepala, dia enggan menceritakan pertengkaran kecil mereka. Namun pertengkaran itu menghasilkan kemarahan Maya.

"Gak, Bun." Melihat gelagat Edgar, Sandra langsung mengelus pundak putranya agar lebih tenang.

'Seharusnya aku tak sekasar itu sama dia.'

Edgar sangat menyesal dengan apa yang terjadi hari ini, semuanya begitu cepat hingga dia tak tahu Maya pergi entah kemana.

"Kamu bertengkar dengan Maya," tebak Sandra yang tepat sasaran, meski disembunyikan seperti apapun sejak kecil Sandra memang selalu paham perasaannya, padahal dia sendiri tidak pernah mengungkapkannya.

"Jawab Bunda, Edgar." Suara Sandra membuat membuatnya mengganggu perlahan.

"Iya, Bun. Tadi aku dan Maya berdebat kecil, dan Maya marah turun dari mobil aku." Sandra terkekeh kecil. "Kok Bunda malah ketawa sih, Bunda senang ya lihat aku kayak gini," lanjut Edgar protes.

"Bertengkar kecil itu sudah biasa dalam rumah tangga, Edgar. Kamu harus cari Maya dan membawanya kembali pulang, ingat besok acara resepsi pernikahan, kakek kamu udah siapkan segalanya buat kamu lho." Edgar sampai lupa jika besok acara resepsi pernikahannya dan Maya.

"Masalahnya aku gak tau mau cari dimana, dia sih ngambekan dari dulu." Sandra menaikan satu alisnya.

"Dari dulu? Kalian sebelumnya saling kenal." Edgar mendengus, masa sih dia harus cerita mereka tetanggaan, Maya juga partner kerjanya yang luar biasa cerewet, parahnya Maya itu simpanan ayahnya.

Edgar menyingir lebar menunjukan kepalsuan senyumnya. "Aku dan Maya tetanggaan di Jakarta," ucap Edgar seadanya, percuma saja bohong Sandra akan banyak tanya jika ia berkelit.

"Bagus dong kalau kalian tetanggaan, gak perlu pendekatan terlalu lama. Bunda itu berharap banget kamu dan Maya bisa secepatnya punya anak, biar Bunda yang jaga deh anak kalian." Edgar menyimpul senyum tak nyaman. Anak? Bahkan Maya ogah-ogahan mau disentuhnya gimana mau punya anak, adanya anak dari si aki.

"Bun, bahas anak nanti aja. Aku dan Maya belum kepikiran sampai sana, lagi pula kami baru menikah, 'kan." Iya juga sih, tapi Sandra pengen banget punya cucu, paling tidak sepi tidak mengganggunya.

"Ya sudah kamu cari Maya lagi gih," suruh Sandra. Itu juga yang dari tadi Edgar lakukan, astaga … kenapa dia bodoh sekali. Bukankah dia memasang pelacak di handphone wanita itu.

"Bun, aku pergi dulu ya." Edgar mencium kening Sandra sejenak, lalu beranjak pergi.

Di dalam mobil ia melihat ponselnya, tapi kenapa lokasi Maya ada di rumah ini. Ia pun mencoba menelepon Maya.

Drrr … drrr … Ya Tuhan, ternyata Maya meninggalkan ponselnya di mobil Edgar, sekarang bagaimana dia mencari Maya. Tapi karena khawatir Edgar tetap mencari walau tidak tahu tujuannya kemana.

Suasana jalanan lumayan padat, Edgar mencari tempat yang mungkin Maya kunjungi. Pria ini pergi ke sekitar taman tidak ada tanda-tanda Maya, dia pun kembali pergi mencari Maya.

Drrr … drrr … suara getaran ponsel di saku celana Edgar sangat mengganggunya, ia baru saja ingin kembali menyetir mobil.

"Ibu Ayu." Tumben sekali ibu mertuanya menghubungi Edgar. Ada apa ini? Bagaimana jika menanyakan Maya, dia harus bilang apa coba.

"Assalamualaikum, Buk." Edgar mengangkat teleponnya.

"Wa'alaikumsalam, Nak Edgar. Bagaimana kabar Nak Edgar?" tanya Ibu Ayu pada Edgar.

'Alhamdulillah baik, Bu." Edgar berkata dengan sopan dibalik panggilan suaranya. "Kalau boleh tahu ada perlu apa ya Ibu menelpon Edgar?" tanya Edgar kepo.

"Begini Nak Edgar, apa bisa Nak Edgar ke rumah Ibu? Ada yang ingin Ibu bicarakan." Aduh, gawat ini? Gimana kalau ibu tanya-tanya soal Maya, jawab apa dia. Tidak mungkin Edgar bilang mereka perang dingin.

"In sya Allah bisa, Buk."

"Ibu tunggu kedatangannya, kalau gitu Ibu tutup dulu telponnya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Edgar mendesah lelah, dia pun harus ke desa Maya, perjalanan sana lumayan jauh, mungkin sekitar satu jam baru sampai.

***

Edgar duduk di ruang tamu, ya memang tidak sebesar rumahnya, tapi rumah ini sangat nyaman. Udara pegunungan masih sangat terasa, tidak ada polusi udara seperti di kota.

Wanita separuh baya berjalan membawakan secangkir teh hangat untuknya. "Diminum Nak Edgar."

"Terima kasih, Buk." Edgar menyesap teh itu setengah saja. "Kalau boleh tau Ibu ingin bicarakan apa ya?" ucap Edgar langsung ke tujuannya, dia tidak punya banyak waktu, Edgar masih harus mencari Maya, bukan.

"Apa ada perkataan Maya membuat Nak Edgar sakit hati?" Edgar mengerutkan dahinya bingung. Bukannya kata-katanya yang sangat menyakit Maya, kok jadi kebalik begini ya. Ini sebenarnya ada apa sih? Rasa penasaran berkecamuk di hati Edgar.

"Setahu Edgar tidak, Buk. Apa Maya cerita sesuatu ke Ibu atau sekadar telpon Ibu?" Bu Ayu malah mengulas senyumnya, dan semakin membuat Edgar penasaran. Teka-teki yang Bu Ayu berikan seolah bikin kepalanya berputar.

Sejenak Bu Ayu menghembuskan napas panjang. "Ini tentang Maya dan ayahmu. Apa kamu sudah tahu?" Edgar sedikit terkejut karena justru Bu Ayu tau jika anaknya ini … ah pikir apa dia? Tapi hatinya semakin tak tenang, satu sisi ia ingin mencari keberadaan Maya, dan sisi lainnya banyak pertanyaan terkumpul di otaknya.

"Ibu, sudah tau?" tanya Edgar. Bu Ayu mengangguk tegas.

"Ibu tidak pernah menyangka jika Bram suami Sandra. Dari dulu ayah kamu sering kemari mengantar Maya dan menjemputnya, memang sih ibu tidak pernah keluar untuk menemuinya, tapi jelas Ibu sering mengintip ketika ayah kamu datang untuk menemui Maya." Itu artinya hubungan mereka sudah cukup lama, lalu kenapa Bu Ayu hanya diam saja anaknya berpacaran dengan laki-laki tua.

"Maaf kalau kesannya Edgar lancang, tapi kenapa Ibu membiarkan Maya berpacaran dengan suami or — maksud Edgar …."

"Ibu paham dengan apa ingin Nak Edgar sampaikan. Ibu sering menasihati Maya, tapi percuma semuanya sudah terlambat." Bu Ayu bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Mendadak air mata Bu Ayu menetes, dia menyesali karena tidak bisa menjaga Maya dengan baik.

Melihat Bu Ayu menangis, Edgar spontan duduk di sampingnya. "Bu, apa yang terjadi dengan Maya? Boleh Edgar tau?"

"Apa kamu yakin bisa menerima Maya setelah Ibu cerita semuanya?" tanya Bu Ayu ragu, dia merasa waktunya belum tepat, bagaimana jika Edgar langsung meninggalkan Maya? Pernikahan mereka baru beberapa hari.

"Tentu saja, Buk. Edgar sudah memutuskan menerima Maya sebagai istri, itu artinya Edgar harus menerima kekurangan Maya apapun itu," ucap tegas Edgar membuat Bu Ayu sedikit tenang sambil mengusap air matanya terus mengalir, wanita setengah baya ini menghembus napas panjangnya perlahan. Ingatan kejadian yang menyakiti putri kembali menghantam, memorinya masih ingat jelas, bagaimana Maya menangis tersedu dan ketakutan, tidak ada yang bisa menenangkannya.

"Maya … hiks. Maya pernah dilecehkan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top