Bab 13 - Nona Perfect

Kala itu Edgar baru pulang mengantar Sandra dari check up rutin, dia hendak mengajak Maya berangkat ke rumah kakek. Namun saat di kamar dia tidak melihat Maya, ternyata tanpa sepengetahuannya nona perfect itu pergi.

Untung saja Edgar pintar, dia sudah memasang alat pelacak di benda pipih milik istrinya.

Dia menelepon Maya tapi sama sekali tidak diangkat, lalu dia kembali menggunakan handphone Sandra, sama saja Maya tidak mengangkat telepon darinya.

Edgar melajukan mobilnya membelah jalan menuju kantor milik keluarganya, karena Maya tidak mengangkat telepon darinya, ia berinisiatif menelepon selingkuhan istrinya, siapa lagi kalau bukan ayahnya sendiri.

"Halo." Bram mengangkat telpon itu.

"Berikan teleponnya ke istriku!"

"Ha— halo …." suara Maya terbata-bata, dia pergi bahkan tanpa sepengetahuan Edgar, pasti pria itu sangat marah padanya.

"Kau mau keluar sendiri atau aku jemput ke ruangan ayahku!" Maya tersentak mendengar ucapan Edgar, belum saja dia membalas kalimat terdengar pedas, pria menyebalkan itu langsung menutup ponselnya.

Ternyata Edgar sudah di depan pintu ruangan sang ayah, ia masuk memergoki keduanya, bahkan Maya tidak sempat menutup setengah bajunya yang terbuka.

"Selamat pagi menjelang siang, maaf aku mengganggu kalian, tapi aku ingin menjemput istriku." Edgar menarik tangan Maya, dan dengan jemari membantu Maya mengancing kemejanya. Dan Maya hanya bisa terpaku dengan jantungnya yang bergemuruh kencang seperti dipukul.

Bram tak berkutik, tidak mungkin dia beradu mulut dengan Edgar, bisa-bisa semua karyawan mendengar pertengkaran mereka.

"Ayo Sayang, kita pergi dari sini." Jari perkasanya menggenggam erat tangan Maya. Sesaat tatapan mereka bertemu, Edgar sejak awal pernikahan Edgar memang berencana membuat Maya jatuh cinta agar kelak tidak mengganggu lagi hubungan orang tuanya.

"Edgar, lepaskan aku!" Maya menepis tangan Edgar, belum juga selesai ritual bersama Bram, eh si pengganggu datang. Emang ya Edgar mau jadi suami atau tetangga sama saja, selalu mengganggu ketentraman Maya.

"Kau lupa perjanjian kontrak kita! Harus aku buat hitam di atas putih," bisik Edgar seakan mengancam, Maya menghentakkan satu kakinya, dia akan menanamkan emosi mendalam di hati pria satu ini.

"Tunggu beri aku waktu." Maya menghampiri Bram, setelah itu dia mengecup sekilas bibir pria tua itu. Secara terang-terang dia menyodorkan bibirnya, sejatinya kebanyakan wanita memang racun bagi kaum pria, tepat sekali Maya seakan menjadi duri untuk rumah tangga orang tua Edgar.

"Maya! Ini kantor bukan hotel tempat kalian berbuat dosa," cecar Edgar, napasnya naik turun tak beraturan, dia pun menarik paksa Maya keluar dari ruangan aki tua ini. "Gatel banget cium laki orang." Suami orang kok dipepet terus, gak ada bosannya. Nah, suami sendiri ada dianggurin kayak jemuran.

Maya hanya diam saat Edgar menarik paksa tangannya, dia malah dengan santai mengedipkan satu matanya ketika keluar dari ruangan itu.

*

"Dasar istri gatel! Tak tau malu. Kau itu sudah kehilangan muka, ya." Edgar sampai heran dengan Maya, begitu cintanya dengan Bram, dikasih apa sih? Sampai rela pepet pria tua. Gak laku banget kayaknya, semurah itukah Maya? Mau aja dibegoin aki-aki tua.

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" ucap Maya kesal, saking kesalnya ia tak mau menatap Edgar yang sedang menyetir mobil.

"Memang benar 'kan. Kau itu tak tau malu. Emangnya kata-kata apa yang pantas untuk pelakor seperti kau." Mendengar kata Edgar, tingkat emosi Maya mendadak mengumpal, dia bukan pelakor. Dan jelas, dia cuma merasa berhak mencintai siapa saja, perasaan mencintai seseorang tidak dosa.

"Aku bukan pelakor!"

"Lalu apa? Berani menyerahkan diri ke laki-laki yang sudah beristri."

"Kau itu tidak tau apa-apa." Emosi Maya naik terus, dia menatap sinis suaminya.

"Gak tau apa-apa gimana? Aku tau semuanya, Maya. Kau selalu menginap di hotel setiap weekend dua minggu sekali, aku yakin kau bersama pria tua itu, kan. Apa sih yang kau lihat dari ayahku?" Maya menunduk diam melihat amarah Edgar meledak, terserah deh Maya mau making love dengan siapa saja, itu bukan urusannya, tapi ini ayahnya menyangkut perasaan Sandra, anak mana sih yang tidak marah.

"Jawab aku, Maya! Kau jangan diam saja!" sergah Edgar.

Maya menghapus air mata, belum ada orang yang pernah mencecarnya seperti Edgar, dikatain pelakor. Harga diri Maya memang sudah menghilang sejak peristiwa itu, mungkin Maya terlihat tegar, tapi tidak ada yang tau lukanya begitu dalam.

"Aku bukan pelakor, kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku!" Nada suara Maya naik satu oktaf.

"Terus kau lebih pantas disebut apa kalau bukan pelakor. Kau mencintai suami orang, kan? Kau mencium, memeluk, bahkan lebih dari itu, bajumu saja sampai terbuka," ujar Edgar meninggikan suaranya. Air mata Maya mengalir mendengar kata-kata menyayat hatinya, sungguh ucapan Edgar menusuk hingga menembus ke jantung.

"Edgar jaga ucapanmu!" Maya berkata dengan nada cukup keras seiring isakan tangis menemaninya. "Hiks … kau tidak pernah tau cara menghargai perempuan, berbeda dengan ayahmu, dia sangat mencintaiku."

"Kau salah, si tua itu hanya menginginkan tubuhmu!" pekik Edgar menepikan mobilnya, pertengkaran mereka membuatnya frustasi menghadapi sikap Maya, walau bagaimanapun Edgar laki-laki, dia sangat tahu apa yang ada di isi kepala seorang pria ketika melihat tubuh mulus nan sexy Maya.

Maya hendak keluar mobil, tapi tangan Edgar menahannya. "Mau ke mana?" tanya Edgar sarkas.

"Bukan urusanmu! Kau tidak berhak atas aku, kita menikah karena wasiat kakekku." Benar sekali, Maya tidak pernah menginginkan Edgar dalam hidupnya, apalagi jika dia tahu Edgar yang akan menikahinya, jelas dia lebih baik kabur daripada menerima perjodohan ini.

"Tapi kau masih memiliki kontrak pernikahan denganku selama setahun, aku hanya ingin kau menjadi istri yang baik selama itu, dan jauhi ayahku, pikirkan perasaan bunda." Sekarang Maya mengerti kenapa Edgar bersikap seperti ini, tentu karena bunda kesayangannya.

"Aku tidak peduli!" Maya meninggalkan Edgar dan dia menaiki taxi untuk pulang, padahal tadinya dia ingin ke rumah kakek bersama Maya, sepertinya dia terpaksa  pergi sendiri.

"Tapi kita harus pergi." Edgar ikut turun menahan Maya untuk menaiki taxi.

"Apa kau tuli? Aku sudah bilang tidak peduli." Maya sudah sakit hati dengan Edgar, dia tak peduli kemarahan pria itu, dia butuh waktu menenangkan hatinya yang tengah kalut.

"Maya, kau harus dengarkan dulu, aku ini suamimu." Maya masih tak menggubris, dan sudah duduk di dalam taxi. 

"Jalan, Pak." 

Kini Edgar merasa bersalah, dia hanya dapat melihat taxi Maya menjauh dari pandangan. Apa mungkin dia keterlaluan? Seharusnya dia tidak berkata sekasar itu, 'kan. Edgar menyesali perbuatannya, tadi Edgar memang sangat emosi ketika melihat Bram meremas gunung kembar istrinya, entah kenapa dia seperti diinjak-injak harga dirinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top