Bab 12 - Gagal Lagi

Setelah sarapan Maya kembali ke kamar, dia mencari cara agar bisa bertemu Bram sebelum pergi menuju ke rumah kakek Edgar, lagian istri Bram ngadi-ngadi, buat apa juga ke rumah si aki tau. Pernikahan ini terjadi pasti gara-gara pak uban itu.

Tok … tok … tok ….

"Edgar, ngapain sih pake ketuk pintu segala, dia kira ini di apartemen apa?" Maya mengomel sendiri sambil membuka pintu, eh ternyata bukan Edgar melainkan Lasmi.

"Non Maya, Mas Edgar meminta saya untuk membereskan barang Nona untuk dibawa ke rumah kakek." Lasmi berdiri di depan menunggu Maya mempersilakannya masuk.

"Ya udah masuk." Maya menyuruhnya masuk. Lasmi mengambil koper memasuki beberapa barang Edgar dan Maya.

"Edgar ke mana?"

"Menemani nyonya ke check up." Maya tersenyum, ini kesempatannya bisa bertemu Bram. Kalau ada Edgar, pasti pria itu akan menghalanginya.

Mendengar hal berita baik ini, Maya bergegas pergi sebelum Edgar kembali. Dia dengan cepat memesan taxi untuk menemui Bram di kantor kekasihnya itu.

"Nona Maya, mau pergi?" Maya berbalik saat melangkah ke luar kamar, ini lagi asisten rumah tangga kepo minta ampun, awas aja jadi penghalang ia pergi dari rumah ini.

"Iya, saya ada urusan sebentar. Kalau Edgar pulang suruh dia telepon saya," pesan Maya lalu menutup pintu rapat kamarnya.

Sebuah pesan ia ketik untuk seorang pria, Maya sudah berada dalam taxi menuju perjalanan kantor Bram, untung saja ia tahu di mana kantor kekasihnya. 

"Sayang, aku ke kantor kamu sekarang, ini genting!" Jemari mungil memasuki benda pipih di dalam tas mininya. Ia tak sabar bertemu dengan hot daddy yang parasnya mempesona.

Pernikahan Maya dan Edgar menjadi malapetaka dalam hubungannya dan Bram, mereka tidak akan sulit bertemu jika di Jakarta. Bagaimana bisa dia menikah dengan pria gila itu? Dan pernikahan kontrak ini masih berjalan setahun. Sekarang yang di otak Maya adalah memikirkan cara untuk menyingkirkan Sandra, meski wanita itu terlihat baik, namun Maya tidak peduli.

Tanpa sadari Maya sudah berada di depan kantor Bram, ia mengeluarkan kaca mata hitam saat keluar dari taxi.

Ia berjalan lenggak-lenggok memasuki kantor besar yang Maya pikir ini milik Bram. "Permisi, saya ingin bertemu Ma— maksud saya Pak Bram." 

"Sudah ada janji?" Maya tersenyum kecut, masa bertemu sugar daddynya harus ada janji dulu.

"Bilang saja Maya ingin bertemu." Suara sexy nan menggoda membuat resepsionis ini menatapnya tak suka, sepertinya belum ada perempuan seperti ini menemui bosnya atau direktur utama di perusahaan ini.

"Tapi anda harus memiliki janji dulu."

"Oh … kamu gak tau saya siapa?" Maya menekan suaranya, jelas dia  berhak menemui Bram, selain kekasih alasan yang tepat dia menantunya.

"Sekali lagi saya minta maaf, tapi saya hanya menjalani prosedur perusahaan ini." 

Shit! Maya berdecak sebal, berani sekali wanita di hadapannya. "Saya ini —"

"Biarkan dia masuk, dia menantu saya," ucap Bram tiba-tiba menghampiri wanita ini. Bram baru saja selesai meeting dan membaca chat yang Maya kirim padanya, dia tak habis pikir Maya senekat ini, kalau mata-mata istrinya melihat bisa gawat 'kan.

Wanita menunduk, dan berkata, "Maaf Pak, saya tidak tahu."   

Bram menyuruh Maya masuk ke ruangannya dan dia meminta sekretarisnya membatalkan segala janji hari ini, termasuk bertemu klien penting dari Paris.

"Honey." Bram memeluk Maya dari belakang, seperti masa puber menerjang pria tua satu ini. "Aku sangat merindukanmu, sayang." 

Maya menghela napas panjang. "Aku juga, tidak bisakah waktu dipercepat menjadi setahun." 

"Kenapa?" tanya Bram menciumi leher mulus Maya.

"Aku dan Edgar …." Maya terdiam sejenak, apa harus dia memberitahu perkara kontrak pernikahannya dan Edgar, dia rasa tidak perlu. "Aku tidak tahan menikah dengan Edgar, anakmu itu menyusahkanku," adu Maya.

Bram tampak tersenyum puas, ternyata pesonanya masih terpengaruh di hati Maya, tidak perlu takut Maya tergoda, lantaran itu tidak akan pernah terjadi.

"Ahh geli, Mas." Bram tak menggubris ucapan Maya.

"Maya, harusnya kamu gak ke sini." Bram tidak suka kehadiran Maya akan menjadi omongan dan sampai kedengaran di telinga istrinya, bisa habis semua yang dia miliki selama ini.

"Kenapa, Mas?" Maya memutar balik tubuhnya, dan sekilas mencium bibir mertuanya.

"Mata-mata Sandra selalu berada dimana saja, kamu harus waspada." Bram menyelipkan rambut Maya bagian kanan, wangi kepala wanita ini sangat menyerbak.

Maya mendengus jengkel, ia murka sekali mendengar nama ibu dari suaminya. "Apa perlu racun dia?" ujar Maya.

"Haha …." Bram tertawa renyah. "Tidak perlu, sayang. Kita nikmati saja apa yang ada." Maya pun tersenyum sembari jemarinya membuka perlahan jas pria itu.

"Sayang, kamu yakin di sini aman?" tanya Maya bergelayut manja, semakin hari tingkat kemesuman semakin bertambah, saat ini saja Bram mulai membuka kancing kemeja bajunya, terpampang jelas busung dada membesar tertutup oleh Bra sport berwarna hitam.

"Apa kamu takut?" tanya Bram. Untuk pertama kali Maya merasakan takut, ini bukan hotel, 'kan. Ya, wajar saja Maya sampai takut.

Maya mengangguk samar. "Mas, ini kantor. Apa kamu tidak takut kita ketahuan?"

"Tenang saja, sayang." Melihat gunung kembar Maya membuat ketakutannya hilang seketika, otak mesumnya bekerja dengan baik, tidak ada kesempatan lagi selain ini.

"Baiklah, Mas." Maya mencubit gemas hidung Bram, lalu mencium pipi pria tua ini. Kumis tipis sugar daddy Maya tampak semakin membuat si pria kelihatan tampan, muka persegi dan bibir tebal yang selalu ia gunakan mengulum bibir Maya.

Drrr … drrrr … telepon genggam milik Maya bergetar, wanita itu melirik tas yang ada di nakas. Benda pipih itu sengaja Maya silent agar tidak ada yang mengganggu mereka berdua.

Dia memilih untuk tidak mengangkat, dan melanjutkan bermesraan dengan Bram. Maya berpikir palingan itu dari Jakarta, salah satu karyawan butiknya.

Namun, telepon itu sangat mengganggu ciuman hangat mereka, saling membalas ciuman, Maya tak merespon panggilan telepon dari ponselnya.

"Lebih baik angkat dulu." Tangan Bram yang asik meremas dari balutan Bra Maya, dia sejenak melepaskan bibirnya dari wanita ini.

"Tidak masalah, itu pasti dari karyawan butik, aku tidak mau ada yang mengganggu kita," ujar Maya kembali menyosor bibir Bram seakan bibir tua itu sangat manis dan jadi candu.

Kringg … sekarang justru giliran suara ponsel Bram berbunyi, akhirnya ciuman itu terlepas. Nama Sandra tertera di layar ponsel membuat Bram menelan salivanya kasar, pikirannya mulai tak karuan. 

"Siapa, Mas?"

"Jangan bersuara, ini Sandra istriku." Maya kadang merasa heran kenapa Bram begitu takut ibu mertuanya, apa Sandra menyeramkan? Perasaannya wanita itu tampak baik, dan tidak terlihat galak, tetapi sikap Bram menunjukan berbeda seolah takut dicampakan.

"Halo." Bram mengangkat telpon itu.

"Berikan teleponnya ke istriku!"  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top