Rain [Kuran Ly]
Hujan malam ini sangat deras, membuat siapa saja enggan untuk meninggalkan selimut hangatnya. Itu semua tidak membuat seseorang untuk mengeluh, sebut namanya Lily. Perempuan berumur 18 tahun, demi menghidupi keluarganya ia rela putus SMA. Alasan logis, setelah ayah tercinta meninggal ekonomi keluarga menjadi menurun.
Perusahaan ayah yang dulu sukses , kini harus gulung tikar. Butik ibunya dijual demi sesuap nasi setiap hari. Namun Lily bahagia, setidaknya ia masih bisa bertahan karena ibu dan juga adik kecilnya yang kini duduk dibangku SMP.
"Sudah jam sebelas, sepertinya aku akan lembur lagi. Tidak apa, ini demi keluarga di rumah," ucap Lily memberi semangat.
Ia bekerja di sebuah kedai kopi yang berlokasi cukup jauh dari rumah, namun karena gaji yang besar Lily menerima pekerjaan tersebut. "Lily! Tolong bantu aku memberikan pesanan untuk pelanggan nomor satu," perintah Ibu Manager lalu menyerahkan nampan berukuran sedang.
Lily menerima tanpa banyak bertanya, dan segera melesat menuju. "Ini pesanan anda," ujarnya dengan ramah.
Ia kembali ke meja kasir dan menunggu pelanggan yang akan bayar atau sekedar memesan menu, hari ini cukup sepi karena itu Lily bisa meninggalkan barang sejenak.
"Saya pesan cokelat panas," ucap pemuda berperawakan tinggi dengan suara berat.
"Baik, tunggu sebentar." Lily langsung menyiapkan pesanan tersebut karena mesin berada di belakang.
Pemuda itu memandang penuh arti kepada Lily, namun ia tetap diam.
"Ini pesanan anda Tuan, totalnya Rp. 25.000." Pemuda tersebut membayar dengan uang pas lalu melesat pergi tanpa memperdulian teriakan Lily yang tengah memprint struk belanja.
"Hah ... untuk kesekian kali orang melupakan struknya," ucap Lily.
Waktu tidak terasa sudah tengah malam, namun hujan di luar tidak kunjung reda. Lily yang sudah selesai bekerja mau tidak mau harus menerobos hujan tersebut karena ia melupakan payungnya di kamar.
"Hujan kecil seperti ini mana bisa membuatku sakit." Dengan berani Lily menerobos dengan langkah tergesa, jarak ke rumahnya memang cukup jauh, apalagi ditambah dengan hujan. Ia memilih berjalan kaki karena itu bisa membuat uang saku tetap aman.
"Hei berhenti!!" Seseorang berteriak dari belakang, Lily sudah was-was. Siapa malam-malam hujan begini berteriak seperti itu? Pikiran aneh pun berlintas membuatnya semakin ingin segera sampai di rumah.
"Aku bilang berhenti!!"
Bahu Lily ditarik paksa membuatnya kaget. "Siapa kau jangan dekat-dekat denganku!! Pergi sana!!" Ia berucap sambil menutup mata takut untuk melirik sekilas.
Namun satu yang ia rasakan, air hujan tidak mengguyur tubuhnya. "Kenapa kau menerobos hujan? Mau sakit hah! Gadis bego seperti kau cari mati!"
Terdengar hela napas panjang dari lawan bicara Lily, perlahan ia membuka mata dan terkejut ada payung serta pelanggannya di tempat kerja tadi. Refleks Lily mendorong tubuh orang itu dan membuat ia merasakan air hujan lagi.
"Kenapa Anda di sini? Maaf saya harus segera pulang, selamat malam." Lily beranjak menjauh dan berlari keras, ia takut sungguh. Di tengah malam ditambah hujan kenapa ada pria aneh mengejar bahkan memarahinya.
"Kau memang gadis itu." Pria itu kembali masuk ke dalam mobil yang tak jauh dari situ dan memastikan Lily sampai dengan selamat.
***
"Aku pulang!!"
Hening, itulah yang Lily rasakan saat memasuki rumah kecilnya. Mungkin mereka sudah tertidur pikir Lily.
Lily melesat ke kamar mandi dekat dapur. Saat melewati kamar ibunya, terdengar suara orang tengah bicara. Rasa penasaran lebih mendominasi, ia pun memutuskan untuk menguping.
"Sudah aku bilang Bu, Arka ingin kakak mati saja! Ia penggangu, kenapa warisan ayah harus ke dia hah? Bukankah aku anak lak-laki!!" Itu suara Arka, tidak biasanya ia berteriak pikir Lily.
"Dengar Nak, kita harus bertahan sampai mendapatkan tanda tangan kakakmu setelah itu kita akan membunuhnya. Kau jangan gegabah."
Perkataan ibunya bagaikan petir yang baru sadar terdengar, hati Lily sakit saat mendengar ucapan tersebut dari mulut seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarnya selama ini.
"Arka cape harus berpura-pura seakan dia saudara kandungku Bu," ucap Arka lagi. Nada bicara hangat namun menusuk.
Ia pergi menuju kamar mandi dengan cepat, tidak ingin mendengar obrolan lebih jauh lagi. Ia takut hatinya tidak sanggup mendengar fakta.
Lily mengunci rapat dan bersandar lemah pada pintu, ia bukan tipe cengeng. Namun kali ini berbeda. Ia tidak sanggup mengetahui kebenaran, bahkan Arka yang masih SMP mengetahui hal ini. Kenapa dia tidak? Sungguh tidak adil pikirnya.
Bunyi petir tidak terdengar lagi, namun kilat masih terlihat dari ventilasi udara. Lily meringkuk masih setia di belakang pintu, ia menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut dan menangis dalam diam.
"Hiks, ini sungguh menyakitkan."
***
Setelah berdebat panjang dengan Arka, Sarifah-Ibu Lily-Memutuskan menunggu anak sulung di dapur, sekaligus membuat teh herbal. Arka tertidur di kamarnya setelah semua emosi terkeluarkan.
Saat Sarifah sampai di dapur ia terkejut dengan tas basah Lily serta bekas langkah kaki, apakah Lily sudah datang dari tadi? Apa ia mendengar percakapan dengan Arka? Pikiran itu seketika menghantui Sarifah.
Suara seseorang tengah mandi membuyarkan lamunannya, ia langsung mendekat dan mengetuk pintu. "Lily apakah kau di dalam?"
"Iya Bu," balas Lily dari dalam.
"Makananmu ada di atas meja, Ibu juga sudah menyiapkan teh herbal!" Setelah mengatakan hal tersebut Sarifah kembali ke kamarnya.
Tanpa Sarifah ketahui, Lily tengah berusaha menahan isak tangisnya saat menjawab pertanyaan sang ibu. Ia masih tidak percaya wanita selembut itu bisa memiliki rencana yang keji.
"Setidaknya disaat aku tidak mengetahui ini, kalian akan menyayangiku. Walau itu hanya topeng demi merebut harta," ucap Lily dengan mata sembabnya.
Siapa yang tidak sakit hati, disaat kau rela berhenti sekolah demi menafkahi keluarga, kerja dari pagi hingga larut malam, dicaci maki dengan pelanggan atau atasan, serta jika bertemu dengan teman sekolah akan dihina sampai mereka puas.
Tapi saat mengetahui keluarga yang sangat ia sayangi hanya memanfaatkan saja. Kenapa tidak memberi tahu dari awal? Lily tidak akan egois. Ia rela memberikan warisan sang ayah kepada Arka dengan iklas namun kenapa tidak jujur dari awal? Lily kembali menangis sampai ia tertidur dengan dukanya.
***
Matahari tidak menyambut dengan baik, sepertinya sudah mulai memasuki musim hujan terbukti awan yang mendung. Lily sudah terbangun sejak subuh namun tidak berniat untuk keluar kamar, tubuhnya lemas mungkin efek kehujanan serta lelah setelah empat tahun ekstra bekerja.
Ia sudah meminta izin kepada semua atasannya bekerja tidak dapat masuk karena sakit. Lebih tepatnya batinnya sakit. Disaat mengingat percakapan malam tadi.
"Lily! Kau tidak kerja?!" teriak sang ibu sambil membuka pintu kamar Lily.
Lily hanya menutupkan wajahnya tanpa menjawab pertanyaan sang ibu, karena tidak mendapatkan respon, Sarifah menarik paksa selimut dan terlihat tubuh kecil Lily. "Orang tua bertanya bukannya dijawab malah diabaikan!"
"Oh Ibu, hari ini aku tidak kerja dan seterusnya." Setelah menjawab sang ibu, Lily merampas selimutnya dan ingin kembali ke alam mimpi yang sempat tertunda.
Sarifah bingung dengan jawaban Lily, bayang-bayang kejadian malam tadi seketika terlintas dipikirannya. Dari pada semakin pusing, ia memutuskan keluar dan menyiapkan sarapan untuk Arka.
"Setidaknya kasih tau aku bu, sebelum hati ini semakin sulit untuk menerima kebenarannya." Air mata Lily keluar untuk kesekian kali, kepalanya sakit dan suhu tubuhnya meningkat. Ia merutuki nasib yang harus ia hadapi sekarang.
***
"Ingin pesan apa Tuan?" tanya seseorang pelayan di depan mesin kasir.
"Dimana penjaga kasih kemarin?" tanya laki-laki itu, ia mengabaikan barisan Panjang di belakang. Rasa penasaran karena bukan gadis itu yang muncul.
"Oh, itu teman saya. Hari ini dia izin tidak masuk, tapi untuk apa Anda menanyakan itu?"
"Tidak apa-apa, saya pergi dulu." Alex pergi dari kedai kopi tersebut setelah mengetahui gadis yang ia cari tidak masuk. Perasaan kecewa membanjiri hatinya.
"Aku harus mencari alamatnya." Alex menelpon seseorang untuk mencarikan alamat Lily, jangan bertanya kenapa ia sangat ingin bertemu dengan gadis kecil itu. Entah kenapa pertemuan mereka membuat Alex menjadi seperti ini.
Saat ia mendapatkan alamatnya, segera mungkin ia berangkat menuju tempat tersebut.
***
"Lily! Ada teman kamu di luar!" Sarifah mengetuk dari luar, tidak berniat untuk masuk ke dalam. "Suruh masuk ke kamar aja Bu," sahut Lily.
Tidak biasanya Bunga, teman SMA bertamu semalam ini pikir Lily.
"Ngapain lu malam-malam datang Bun?" tanya Lily tanpa menoleh ke belakang masih focus mencari barangnya yaitu ponsel yang tidak ia buka dari pagi, berpikir bahwa Bunga memberi kabar jika ingin dating.
"Loh, tidak biasanya lu langsung datang ngga ngasi kabar." Lily melihat orang yang masuk ke kamarnya, alangkah terkejut ternyata bukan Bunga yang masuk.
"Gue bukan Bunga," sahutnya santai dan duduk di samping Lily, tangan kanannya mengecek suhu tubuh gadis tersebut.
Lily hanya biasa diam saat tangan kekar itu menyentuh dahinya. "Badan lu masih panas, sudah minum obat?" tanyanya.
Gila ini siapa orang, ngaku temen datang-datang main sentuh dahi aja, maki Lily dalam hati.
"Gue baik-baik saja, lu siapa jadi ngaku teman gue?!" tanya Lily, siapa yang tidak marah jika ada orang asing tiba-tiba datang.
"Lu lupa ama gue? Jahat banget lu, mentang-mentang udah tinggal di kota jadi lupa teman sendiri," ucap Alex dengan sedih dibuat-buat.
"Lu pelanggan di kedai kopi gue kerja, iya gue kenal. Pergi sana!"
"Tamu adalah raja, lu kok main usir raja sih," Alex tidak ingin pergi begitu saja setelah memohon-mohon alamat dengan seseorang teman IT.
"Maaf aja nih Om, lu bukan raja dan di sini ngga ada istilah raja," sahut Lily.
Ia bangkit dan membuka pintu kamar, mengusir dengan cara halus. "Gue beneran diusir nih? Entah lu kangen gimana?" Ucapnya dengan PD. Lily hanya menatap malas, kenapa malam-malam begini ia harus mendapatkan cobaan dari orang gila ini.
Saat Lily membuka pintu, ia mendengar suara ribut dari arah depan. Apakah karena seharian mengurung di dalam kamar membuatnya kurang fokus.
"Kamu datang larut ngapain aja! Ibu tidak perah ngajarin kek gitu! Arka jawab!" Sarifah tidak habis pikir dengan anak bungsunya setelah seharian tidak pulang, saat datang dengan keadaan mabuk.
"Bukan urusan lu njir, sana urus anak pungut lu! Ngapain ngurusin hidup gue, kek lu udah benar aja." Hati Sarifah seketika sakit saat mendengar penuturan dari Arka, apakah ini suara hatinya? Apakah ia selama ini telah mengabaikan anaknya sendiri?
Lily muncul bersama dengan Alex yang mengekori dari belakang, dengan perasaan campur aduk ia mendekati Arka. "Kenapa kau seperti ini? Mikir ngga susahnya cari uang hah!" Lily membentak Arka tepat di depan Sarifah.
"Kau enak ya, datang mabuk main bentak Ibu aja! Mikir aku yang kerja ngga? Prestasi apa di sekolah jadi bisa mabuk hah!" bentak Lily lagi.
"Lu bisa diam anak haram? Pikir lu tu bukan siapa-siapa di sini, jangan sok berkuasa deh. Beruntung ayah nolong elu saat mau mati, ibu lu udah lama mati saat mau culik ayah, lu cuma numpang di sini. Jangan sok berkuasa, karena warisan elu yang ngambil sialan!" Sarifah kaget saat mendengar ucapan Arka.
"Arka!" tegur Sarifah, namun terlambat Lily sudah meneteskan air matanya dan menatap tidak percaya. Ternyata ia adalah anak selingkuhan dari sang ayah, ia tidak mengetahui semua dengan lengkap, ternyata fakta lebih menyakitkan dari kabar burung.
Petir tiba-tiba terdengar, dan sepertinya malam ini akan ada badai lagi. Hati Lily hancur saat mengetahui semua kebenaran yang terbongkar.
"Maafkan Ibu hiks, Aku tidak tahu bagaimana harus menceritakan semua kebenarannya," ucap Sarifah hendak memeluk namun langsung ditepis oleh Lily.
"Terima kasih untuk semua, jika kalian ingin harga ayah silahkan ambil. Saya izin pamit, selamat tinggal." Lily berjalan keluar rumah dan mengabaikan teriakan dari sang ibu.
Sarifah dan Arka hanya bias berdiam diri di rumah, tampak tercetak jelas wajah puas Arka namun Sarifah langsung menampar wajah sang anak. "Jika kau ingin membalas dendam jangan kepada Lily! Namun ibunya!" Arka merasa bersalah saat membuat sang ibu menangis.
Dunia ini memang indah,
Namun itu hanya cover menutupi fakta yang sesungguhnya.
Hujan seakan mengerti betapa lelah hati ini,
Tuhan, jika kau ingin membuatku bahagia maka aku iklas.
Alex mengejar Lily, karena cuacana hujan lebat membuatnya sedikit kesusahan untuk melihat ke depan. Lily terus berlari dan enggan untuk memperlambat langkahnya.
"Lily! Berhenti!" teriak Alex dengan sekuat tenaga, namun hujan meredam suaranya tersebut.
Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, tidak akan ku biarkan teman masa kecilku pergi lagi, ucap Alex dalam hati dan mengejar cepat.
"Hiks, aku sudah cape gini terus. Biarkan Lily ikut ibu sama ayah yah, aku di sini tidak diterima hiks," ucap Lily disela larinya. Alex mendengar samar-samar dan langsung menarik pergelangan tangan Lily.
Mereka berdua berhenti di tepi sungai, terlihat arus sungai tersebut tampak ganas karena hujan yang lebat. "Kau tidak akan pergi kemana-mana, kau akan di sini denganku!"
"Gue bilang pergi! Kenapa lu masih di sini, gue ngga kenal elu! Jangan urusi hidup gue!" bentak Lily, sungguh otaknya sekarang tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Sekarang kita pulang, lu masih sakit nanti gue ceritain siapa gue," buruk Alex.
Namun bukan Lily namanya jika tidak keras kepala. "Gue ngga akan pulang, sudah ngga ada yang perduli dengan anak haram kek gue," sahut Lily dengan lirih.
"Sebenarnya gue kenal elu, Alex 'kan? Tetangga rumah gue waktu di Jepang, sahabat pertama dan cinta pertama gue. Maaf gue ngga kenalin elu saat pertama kali bertemu," ucap Lily sambil tertawa basi.
"Abaikan itu, sekarang lu harus ikut gue ke rumah, lu masih sakit dan sekarang lu mandi hujan," ucap Alex dengan khawatir karena bibir Lily yang mulai membiru.
"Ngga perlu repot, gue di sini saja," jawab Lily sambil tersenyum manis. "Ada yang mau gue kasih tau sama elu waktu dulu 'kan? Namun ngga sempat karena gue harus pergi. Sekarang gue mau jujur. Gue suka sama elu dari kecil," ucap Lily.
Tentu saja Alex senang bercampur bahagia. "Gue juga suka sama elu, sekarang kita pulang." Alex menarik tangan Lily namun langsung dilepaskan.
"Kasih tau ibu ama Arka gue sayang banget sama mereka dan ngga ada dendam sama sekali, gue izin pamit. Lex Love you." Saat mengucapkan ha itu Lily langsung terjun dari tepi sungai.
"Lily!!!" teriak Alex, ia tidak bisa ikut lompat karena sungai itu ganas sekali ombaknya. Ia melihat tubuh Lily yang terhempas oleh gelombang, Alex hanya bisa menangis melihat cinta pertamanya pergi dalam keadaan mengenaskan seperti ini.
"Kenapa lu pergi lagi!!"
Hidup akan terus berjalan,
Namun kenapa kau menyerah? Bukankah ada aku di sini?
Aku sangat membenci hujan.
-Alex-
Maaf aku tidak sanggup dengan kebohongan ini,
Aku izin pergi dari, kalian harus tetap sukses dan jangan bodoh sepertiku.
Hujan menjadi saksi perjalanan hidupku.
-Lily-
~~~
@Lovyou_self07
Kuran Ly
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top