Love with Desperation [Ca]
"Aku mengerti, kita takkan pernah saling mencintai satu sama lain. Kita terpisahkan oleh takdir yang kejam. Dunia sedang berada di level berbahaya untuk urusan yang seperti ini. Mereka berpencar mencari target seperti kita, yang berdasarkan atas keputusasaan. Sebagian besar dari mereka akhirnya mati mengenaskan gara-gara ini. Oleh karena itu, berhati-hatilah, bisa jadi Anda korban selanjutnya. Waspadalah, karena bahaya akan mengintaimu. Hahahaha!"
***
Sofia dan Sophie adalah sepasang saudara kembar yang pada hakikatnya memiliki kepribadian yang berbeda. Sofia—sang kakak—memiliki watak yang tak bisa bersikap tegas namun apa adanya dan juga pemberani. Sedangkan Sophie—sang adik—mempunyai karakter yang berlainan. Dia penakut tetapi bisa bersikap galak pada kakaknya sendiri. Padahal, usia mereka hanya bertaut lima menit, dan banyak kemiripan yang ada di fisik keduanya.
Tetapi siapa sangka, jika fisik yang sama tak menjamin kepribadian yang juga demikian? Begitulah hidup Sofia dan Sophie dari dulu sampai sekarang, ketika keduanya sudah beranjak dewasa, yaitu pada usia tujuh belas tahun.
Pada suatu hari, Sofia merasa sangat kebingungan. Bagaimana tidak? Dirinya tak bisa mengambil keputusan tentang siapnya dia akan jodoh atau tidak. Dari satu sisi, jika seorang gadis menemui jodohnya, dia merasa sangat bahagia dan ingin melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, tetapi di sisi lain, dia merasa sangat sedih karena kehidupannya di kampus pasti akan terganggu.
Bagaimana tidak? Usianya sudah dua puluh tahun dan memasuki masa semester lima, dan sebentar lagi dia akan memasuki tugas akhir yaitu skripsi. Sofia takut jika kuliahnya terganggu karena jodohnya itu. "Duh, aku harus gimana ya? Apa mungkin aku harus bertanya pada Sophie atau tidak sama sekali?"
"Lagi mikirkan apa, Sof?"
Panjang umur! Sofia merasa beban hidupnya akan semakin ringan jika Sophie ada di hadapannya. Maka, sang kakak pun langsung memberanikan diri untuk bertanya kepada saudaranya sendiri, "Menurutmu, jika aku sudah menemui jodohku, dan dia mau melamarku, apakah aku harus menerimanya atau tidak? Tetapi saat ini, bukankah kita sudah mau skripsian?"
Tanpa basa-basi, Sophie langsung berujar, "Tidak! Aku takut kuliahmu akan terganggu karena jodohmu itu. Lebih baik tolak atau tunda saja."
"Tetapi dia butuh jawaban sekarang juga, fiuh," ucap Sofia seraya membuang napasnya ke sembarang arah. Sebenarnya, Sophie juga merasakan apa yang saudaranya itu rasakan, hanya saja saat ini, gadis tersebut tak kunjung menemukan lelaki yang cocok untuknya. Padahal, ketika masa perkuliahan sudah mau usai, mereka harus segera menemukan pendamping hidup masing-masing. Namun sebenarnya keputusan jodoh itu kembali lagi ke kehidupan masing-masing, dengan melibatkan Tuhan.
Mereka—yang sebentar lagi masa remajanya sudah mau usai—kini terlarut dalam suasana keheningan. Baik Sofia mupun Sophie, keduanya bingung mengenai jodoh. Hingga pada satu menit kemudian, terdengar ucapan dari seorang lelaki. "Assalamu'alaikum, si kembar."
"Wa ... wa'alaikumussalam," ujar Sofia dan Sophie seraya mencoba untuk mencari sumber suara di sekeliling mereka, kemudian mendapati bahwa seseorang yang tak diharapkan oleh Sofia datang pada akhirnya.
Sofia memanggil nama seorang lelaki itu dengan sebutan Mario. Lelaki yang satu ini terlihat sangat konsisten akan ucapannya. Dia datang pada akhirnya, untuk meminta keputusan dari sang gadis pujaan hati. "Jadi bagaimana keputusanmu?" tanya Mario, tetapi Sofia hanya diam saja, begitu pun dengan Sophie yang dari awal merasa risih akan kehadiran sang lelaki.
Kemudian, Mario mengeluarkan suatu bunga mawar—bukan hanya satu, tetapi dua tangkai. Dikiranya lelaki itu akan memberikan masing-masing satu tangkai kepada Sofia dan Sophie, tetapi hanya Sofia yang dapat menerimanya, karena dialah satu-satunya gadis pujaan hati si Mario. Selain itu, dia menunduk sambil memberikan bunga, lalu berkata, "Will you marry me?"
"Ah ... aku ... aku ...." Nyatanya, si Sofia tak dapat berkata-kata, karena dirinya masih belum dapat memutuskan sesuatu. Ketidaktegasannya semakin terlihat dengan jelas oleh saudara kembarnya.
Hingga pada beberapa saat kemudian, giliran Sophie yang ambil alih. Meski dia penakut dan tak ingin ikut campur, tetapi gadis tersebut berusaha untuk mengungkapkan pendapatnya. "Mario, dengarin ya! Kami mau skripsi, jadi jangan coba-coba untuk menghancurkan masa remaja kami yang nyatanya sudah mau usai ini!" seru Sophie kemudian.
"Tetapi aku mencintainya, Sophie. Kau tak mengerti juga?"
"Bodoh amat! Jangan sekali-kali gangguin saudaraku!" teriak Sophie seraya menghancurkan dua tangkai bunga mawar yang sedari tadi dipegang oleh Mario, hingga berderai ke lantai, meski ada sebagian kecil dari kuncupnya yang beterbangan tak tentu arah. Kini, si lelaki itupun hanya bisa terdiam, menyaksikan bunga mawar yang telah hancur karena saudara kembar Sofia itu sendiri.
Sedangkan apa yang dilakukan Sophie? Dia malah berseru, "Ayo, Sof, kita pergi dari sini!" Lalu gadis itu menarik tangan saudara kembarnya, berlari meninggalkan Mario yang kini memasuki usia dua puluh tiga tahun.
***
Keesokan harinya, entah mengapa Sofia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ada suatu hal yang telah mengganggu ingatannya yang sekarang. Saat ini, dia kepikiran soal Mario, karena semalam bukan dirinya yang menolak lelaki itu secara halus, tetapi Sophie-lah yang dengan teganya mengusir Mario secara keras. Dia takut jikalau apa yang dikatakan saudaranya itu membuat hubungannya dengan Mario tiba-tiba kandas dan tak dapat lagi diperbaiki. Ya, Sophie diibaratkan sebagai orang ketiga di dalam hubungan tersebut. Apa yang akan dilakukannya sekarang?
Seketika, dia langsung menghidupkan ponselnya dan langsung menelepon seorang Mario. Namun sayangnya panggilannya terblokir dari sananya. Kemudian dia mencoba lagi beberapa kali dengan cara yang sama, ternyata tidak berhasil juga. "Jangan-jangan Mario marah sama aku gara-gara kata-kata Sophie dulu?"
"Ah aku harus temui dia sembari kucoba untuk telepon dia kembali!" seru gadis itu lagi. Namun, dia memerhatikan kondisi di sekitarnya, terutama apakah Sophie sudah tidur atau belum. Jika sudah, maka secara garis besar Sofia dapat pergi dengan aman.
Ternyata, Sofia dapat melihat bahwa Sophie sudah tidur lelap dan dirinya terbawa ke alam mimpi yang sesungguhnya. Akhirnya, gadis itupun langsung bergegas ke rumahnya Mario.
***
Sesampainya di rumah Mario, Sofia langsung mengetuk pintunya berulang kali sembari memanggil nama lelaki itu sendiri. Namun sayangnya, tak ada jawaban yang terdengar dari sang tuan rumah. Dia pun mencoba berkali-kali tetapi tetap hasilnya sama saja. Setelah itu, seketika bulu kudukknya berdiri, entah apa yang merasukinya kali ini.
"Jangan-jangan, Mario kenapa-napa lagi? Aduh ya Tuhan, apa yang terjadi padanya sekarang? Apa ini gara-gara ulah Sophie atau ketidaktegasanku yang kutampilkan kepada Mario?"
Sofia pun langsung berlari tatkala dia mendengar suara di sekitarnya. Suara itu persis seperti rintihan seseorang yang entah habis diperlakukan apa sama orang lain. Gadis itupun langsung mencari arah sumber suara yang diyakininya itu berasal dari seorang Mario.
Namun tak ada hasil yang telah diperoleh. Tak ada bukti yang menunjukkan bahwa Mario ada di sekitarnya. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh gadis tersebut? Dia kembali mencoba untuk menelepon lelaki itu, dan pada akhirnya ... rencananya berhasil. Panggilannya tak lagi di-"blokir" oleh sang "pacar" dan panggilan pun dimulai. Tetapi sayangnya, yang mengangkat telepon bukan Mario tetapi orang yang tak dikenal.
"Mario, kamu tahu bahwa kamu marah karena ditolak, tetapi percayalah, aku masih ingin bersamamu. Jadi tolong kembalilah bersamaku ...."
"Mohon maaf, orang yang ada di panggilan ini tidak ada di sekitar."
"Memangnya Anda siapa? Mengapa kamu ada di panggilan ini? Aku sedang mencari Mario, tau!" seru Sofia, yang mana dirinya terjerumus ke dalam lubang emosi. Amarahnya mulai memuncak tatkala tahu bahwa bukan Mario yang ada di panggilan tersebut.
"Hahahahahahahaha! Wah lucu sekali Anda. Orang yang kamu cari baru saja menukarkan nomornya dan mereset ulang ponselnya, kemudian dikasih ke aku. Wah, dia baik banget ya, hmm," gumamnya kemudian.
Sofia pun bergumam di dalam hati sejenak, "Jadi ceritanya, Mario mulai memutuskan hubungannya denganku? Mengapa? Padahal semua ini salah si Sophie sebagai orang ketiga ...."
"Dengarkan aku, wahai gadis muda. Jika kau ingin kembali menemui sang Mario, pergilah ke rumahnya. Rumahnya tak jauh dari tempatmu berada. Kalau kau mendengar suara rintihannya dan kau dapat menemukannya, maka kamu berhasil bertemu dengannya. Saat ini, ada ujian yang menimpa kalian berdua. Semoga berhasil."
Setelah itu, panggilan pun terputus. "Apa maksud orang itu tadi? Jadi, Mario dalam bahaya?"
Sofia pun langsung berlari tak tentu arah, sembari mencari sumber suara yang untung saja terdengar kembali olehnya, yaitu suara rintihan sang Mario.
***
Beberapa menit kemudian, sampailah ia di depan rumah yang diyakininya terdapat sumber suara yang dimaksud oleh gadis tak dikenal itu. "Apa benar ini rumahnya? Aku coba masuk ke dalam deh."
Setelah itu, gadis tersebut melangkahkan kakinya secara perlahan, mencoba untuk masuk ke dalam rumah tersebut dengan hati-hati. Namun sayangnya, dia hampir tertusuk oleh anak panah yang baru saja dilayangkan ke arahnya.
"Siapa sih ini? Jangan-jangan Mario kenapa-napa lagi." Setelah berkata demikian, gadis itu langsung menghidupkan senternya, dan mencoba untuk mencari lelaki itu secara perlahan. Setiap menjumpai pintu, dia pun lantas membukanya dan melihat apakah ada Mario di dalamnya atau tidak. Namun ketika sudah beberapa yang dikunjunginya, tetap saja hasilnya nihil. Dia pun tak tahu harus bagaimana lagi.
Tetapi setelah beberapa saat, Sofia pun menjumpai seseorang yang tak dikenal. "Selamat datang di rumah keputusasaan. Setiap orang yang terjerumus dalam keputusasaan karena sesuatu masalah berat yang menimpanya, akan dijerumuskan ke sini, dan di sinilah orang-orang akan ditentukan nasibnya oleh kami. Apakah kalian harus mati atau tidak."
"Rumah keputusasaaan? Mario putus asa? Mariooo! Kamu di manaaa?" Sofia pun berteriak sekencang-kencangnya, berharap Mario masih sadar dan masih mampu menjawab seruannya. Namun tetap saja, suaranya kalah oleh suara sang tuan rumah itu. "Sudahlah, Sof. Aku tahu kok itu hanyalah tingkah laku busukmu kepada klien kami. Kamu dulunya telah menolak orang itu 'kan?"
"Darimana kau tau namaku?! Jangan seenaknya mengorek-orek privasi orang!" seru Sofia kemudian.
"Iya, tentu saja ada suatu alat yang dapat membaca pikiran seseorang, jadi ketika dia tak bercerita sekalipun, kami tahu masalahnya apa. Jadi, tinggalkan dia karena sekali dia masuk ke sini, dia juga takkan bisa keluar dari sini."
Sofia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengapa dia harus menerima cobaan seperti ini? Padahal bukan dirinya yang menolak, hanya saja Sophie yang berusaha untuk melindunginya namun caranya yang salah karena terlalu protektif pada saudara kembarnya itu.
"Maafkan kami, Sof. Tetapi kamu harus segera pergi dari sini sebelum kami ikut menjerumuskanmu dan langsung membunuhmu."
Gadis itu lantas berseru, "Tidak! Aku tak ingin pergi dari sini sebelum dapat menemui seorang Mario!"
"Tidak bisa. Dia takkan bisa keluar dari sini dengan suaramu. Segera tinggalkan ruangan ini, atau kau takkan pernah merasa menderita lagi, karena sebentar lagi jiwamu akan terpisah dari ragamu ...."
"Ap-apa maksud—ahhh!"
Tiba-tiba saja gadis itu tertusuk oleh seseorang yang ada di hadapannya, namun bukan oleh orang teresbut, tetapi oleh Mario itu sendiri. Sofia pun kaget, apa yang terjadi padanya?
"Mario, kenapa ... kenapa kau harus membunuhku sekarang?"
Pandangannya pun gelap seketika.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top