Timun Emas [Sazy]
"Bagaimana? Apa kau sudah ke kuil?"
"Iya, tapi kata mereka saya belum dikaruniai anak."
"Lalu mereka bilang apa lagi?"
"Kita akan memiliki anak. Namun, bukan dari perut saya."
"Gila, orang kuil bodoh. Bagaimana caranya kita punya anak tidak dari perut."
"Saya akan pergi menemui baginda Jayanagara."
"Huft, akan kutemani. Tunggu sebentar."
Sepasang suami-istri itu pun pergi ke istana kerajaan Majapahit untuk menemui baginda Sri Jayanagara.
Sesampainya di istana, mereka dipersilahkan masuk ke kamar Sri Jayanagara.
"Ada apa adikku?"
"Dia sedih," jawab sang suami.
"Kakak, orang kuil mengatakan aku tidak akan hamil selamanya," ucap sang istri lesu.
"Ah, apa kau ingat temanku Dyah?" tanya Sri Jayanagara.
"Iya kak."
"Tarum, bawa adikku menemui Dyah, dia akan membantu kalian."
"Dyah? Dyah yang berada di pedalaman hutan?" tanya Tarum, sang suami. Lalu di jawab dengan anggukan Sri Jayanagara.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Dyah Tarum dan istrinya hanya diam termenung. Entah apa yang akan dilakukan setelah mereka sampai di kediaman Dyah.
"Sakti, kita makan dulu ya," ajak Tarum lalu menuntun Sakti turun dari kuda.
"Tarum, sedekat apa kau dengan Dyah?"
"Dyah, dia wanita pertama yang ku cintai sebelum akhirnya aku bertemu denganmu."
"Apa kau masih mencintainya?"
Diam, tak ada jawaban dari sang suami yang ditanya.
"Sialan, Tarum aku benci kamu."
Sakti berlari meninggalkan Tarum dan kuda mereka. Ia lari sejauh mungkin, kakinya berlari tanpa arah. Yang dipikirannya hanya menjauh dari suaminya itu. Ia kecewa, suami yang ia percaya hanya mencintai seorang wanita. Namun, kenyataannya yang ia cintai bukan dirinya melainkan wanita lain yang ia sendiri tak kenal.
Tenaganya terkuras banyak, wajahnya pucat, ia sandarkan tubuhnya pada sebuah pohon yang besar dan rindang. Berharap ada seseorang yang akan menolongnya.
"Permisi."
Sakti merasakan ada tangan yang menyentuh pundaknya. Ia pun berbalik. "Ada apa ya?"
"Ah Sakti, kau Sakti kan?"
"Eh iya, apa aku mengenalmu?"
"Kau melupakan ku hm? Pangeran Surya."
"Surya? Pangeran yang dikucilkan?" ejek Sakti.
"Hei, diam kau."
"Hahahaha mukamu lucu Surya."
Mereka pun berjalan beriringan mengelilingi hutan. Matahari mulai terbenam. Hari semakin larut.
"Sakti apa kau mau menginap sebentar di rumahku?"
"Tapi, apa aku tidak mengganggu kalian?"
"Tidak, istriku baik, kau pasti menyukainya."
Akhirnya, Sakti menyetujui. Mereka berjalan pergi menuju rumah Surya. Sesampainya di rumah Surya, Sakti tak menemukan istri Surya.
"Dia belum pulang, mungkin sebentar lagi," ucap Surya.
"Ah iya."
"Kau bisa membantuku menutup jendela? Dia sudah hampir sampai, dan satu lagi kau masuk ke kamarmu dan jangan keluar sampai matahari terbit. Makananmu akan ku bawakan nanti," ucap Surya tegas.
"Baik Surya, terima kasih sudah menolongku," jawab Sakti yang dibalas dengan anggukan dari Surya.
Sakti pun masuk ke kamarnya, ia bingung mengapa Surya menutup semua jendela dan menyuruhnya untuk terus di dalam kamar.
"Ah sudahlah, mungkin mereka ada urusan," batin Sakti. Dan ia pun tertidur.
Ia melupakan perihal alasannya pergi ke hutan bersama suaminya.
Langkah demi langkah berat terasa memasuki rumah Surya. Ia sudah kembali, istri Surya. Surya segera menyambut istrinya.
"Istriku, apa kau sudah banyak mendapatkan buruan?"
"Surya, diam lah. Kepalaku pusing. Kau membawa manusia ya?"
"Iya, dia temanku. Bolehkan dia tinggal di sini?"
"Kalau dia tinggal di sini, apa manfaatnya Surya? Kan sudah berapa kali ku bilang jangan asal bawa manusia. Aku tidak bisa mencium bau mereka,"
"Ada manfaatnya, kau mau menemuinya?" tanya Surya.
"Besok saja, aku lelah," jawab istri Surya tegas.
Matahari telah muncul dari ufuk timur, sinarnya memasuki sela-sela atap. Matahari itu telah membangunkan sang empu rumah dan tamunya.
"Sakti, istri aku mau ketemu kamu," ucap Surya saat Sakti keluar dari kamarnya.
"Iya, dimana istrimu?" tanya Sakti.
"Dia di kamar sedang bersiap-siap, kamu jangan kaget saat melihatnya ya," titah Surya.
"Eungh, baiklah."
Suara langkah kaki berat terdengar, membuat rumah itu sedikit bergetar seperti sedang diterpa angin. Sakti mengadahkan kepalanya, memandang seorang wanita yang telah membuat gaduh pikirannya.
"Oh ini Sakti?" ucap sang wanita.
"Iya, aku Sakti."
"Tidak usah takut, walaupun aku raksasa, aku tidak seperti yang lain."
"Ah baiklah, maafkan aku. Lalu kalau boleh tau, namamu ..."
"Dyah, aku Dyah Sari."
Deg
Sakti merasakan dadanya seketika sakit, rasanya jantungnya berhenti, otaknya lamban memproses kata-kata wanita di hadapannya.
Di sisi lain, Tarum sangat pusing mencari Sakti. Ia telah mengelilingi hutan terlalu lama. Makanannya sisa sedikit, tenaganya habis. Ia merebahkan dirinya di sebuah pondok tua yang tak lama lagi runtuh. Sejujurnya, ia sangat ingin pulang dan meminta bantuan Jayanagara untuk menemukan Sakti. Namun, ia tahu jika ia kembali maka ia tak akan pernah menemui istrinya kembali. Saat terbangun, ia mendengar suara-suara gaduh dekat dari tempatnya. Ia menghampiri sumber suara itu. Ia tak asing dengan rumah itu. Namun, saat ia mencoba melihat melalui celah ke dalam rumah, yang ia dapati adalah seorang raksasa dengan dua manusia.
"Sakti," batin Tarum sambil menutup mulutnya kaget.
Segera ia berjalan menuju pintu rumah itu dan mengetuknya.
Surya yang mendengar ketukan itu segera membuka pintunya.
"Ada apa ya?" tanya Surya saat wajahnya dihadapkan dengan wajah lesu Surya.
"Sakti ..."
Surya yang mendengar nama temannya disebut pun mempersilahkan lelaki di hadapannya masuk.
"Loh, Tarum," ucap Dyah terkejut saat Tarum dipersilahkan masuk oleh Surya.
"Dyah, kamu ... "
"Haha, kalian suami-istri kenapa kaget melihatku?"
Dyah pun menceritakan semua hal mengenai masa lalunya. Masa dimana ia meninggalkan Tarum karena ia tahu bahwa dirinya telah terkena kutukan karena leluhurnya. Masa dimana ia bertemu dengan Surya, mantan pangeran yang menerima wujudnya, memperlakukan dirinya sebaik mungkin.
"Surya, kau berhutang penjelasan denganku," ucap Dyah saat ia dan Surya meninggalkan sepasang suami-istri agar mereka menyadari kesalahan mereka.
"Kau tahu kan Dyah, Sakti tidak bisa hamil. Tapi kau dapat mewujudkan keinginan mereka untuk mempunyai anak, lagipula Jayanagara yang menyuruh mereka mendatangimu," tutur Surya.
"Lalu?"
"Jika kau mewujudkan keinginan mereka, kau dapat mengambilnya kapanpun juga. Saat kau mengambilnya, dia menjadi milik kita. Terserah kau mau apakan dia," ucap Surya lagi.
"Hmm, idemu bagus juga suamiku. Terimakasih,"
Dyah dan Surya pun mendatangi Sakti dan Tarum.
"Kalian sudah berbaikan?" tanya Dyah dan dijawab dengan anggukan dari mereka berdua.
Dyah pun menjelaskan bahwa ia akan mengabulkan keinginan Sakti dan Tarum. Namun, dengan satu syarat yaitu, Dyah dapat mengambil anak mereka kapan pun dia mau. Tanpa pikir panjang, Sakti dan Tarum mengiyakan persyaratan itu.
Dyah memberikan sebuah timun mas kepada sepasang suami-istri itu. Ia berpesan untuk merawat timun mas itu dengan baik agar mereka dapat memperoleh hasil yang bagus.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Dyah, Tarum dan Sakti sangat menjaga timun mas itu. Hingga sampailah mereka di rumah mereka, timun mas itu sangat besar dan tiba-tiba bergetar dan terbelah. Saat timun mas itu didekati, terdengar suara tangisan seorang bayi nan lugu. Sakti segera mengambil bayi itu dan memandikannya. Mereka menamainya Larasati.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, Lara telah tumbuh menjadi anak gadis yang sangat cantik. Ia dikenal oleh seluruh masyarakat Majapahit atas kecantikannya.
Hidup dalam lingkungan kerajaan membuat Larasati sangat menyukai senjata, mulai dari pedang hingga panah. Bagaimana tidak, mulai dari umur 6 tahun ia sudah diajarkan cara menggunakan pedang oleh pamannya, Jayanagara. Saat usianya menginjak 10 tahun, ia diajarkan menggunakan panah oleh ayahnya, Tarum.
Saat usianya menginjak 11 tahun, ia diizinkan untuk menjelajahi hutan.
"Ibu, Laras sudah bisa ke hutan kan?"
"Iya Laras, perginya sama Ayah ya."
Laras hanya mengangguk dan segera berlari ke ayahnya. Ia menarik tangan ayahnya dan berlari ke dalam hutan.
"Laras, pelan-pelan. Nanti jatuh."
"Nggak kok ayah."
Mereka berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Tarum sangat kecapekan, sedangkan anaknya masih saja berlari kesana kemari.
"Ayah, Laras mau main ke sana ya," ucap Laras lalu pergi begitu saja.
Awalnya Tarum sedikit khawatir kepada anak satu-satunya itu. Namun, ia berulang kali berpikir bahwa anaknya sudah besar tak semestinya ia mengekang anaknya.
Di sisi lain, Laras yang sedang asik berlarian tiba-tiba berhenti. Sifat ingin tahunya pun muncul. Ia menemukan beberapa jejak kaki yang terlihat aneh. Namun, belum sempat ia menjelajah lagi ia sudah dipanggil oleh ayahnya.
"Laras, ayo pulang," ajak Tarum.
Laras sangat ingin bertanya pada ayahnya, tapi niat itu ia urungkan dahulu. Menunggu waktu yang tepat.
Setiap hari Laras pergi ke hutan itu sendirian, mencari tahu pemilik jejak kaki itu.
"Siapa pemilik jejak ini? Aneh sekali jejaknya,"
Ia berkeliling hutan hingga ia sampai pada sebuah gerbang hitam yang menjulang sangat tinggi. Ia mencari celah agar ia bisa masuk. Namun, nihil hasilnya, ia tak menemukan celah sedikitpun.
"Adik kecil."
"Eungh siapa ya?"
"Kau tak perlu tahu namaku, apa kau ingin masuk? Aku mempunyai kuncinya,"
"Iya, aku mau paman."
Laras dan lelaki itu pun masuk ke dalam gerbang. Di dalam tak ada bedanya dengan di luar. Pohon-pohon tinggi menjulang dimana-mana. Namun, ada satu yang membuat Laras terheran, semua bangunan sangat besar , lebih besar dari bangunan kerajaan.
"Paman tempat apa ini? "
"Ah, kamu tinggal beberapa hari di sini saja pasti nanti kau mengerti, ya?"
"Baik paman, aku tinggal bersama paman saja."
Mereka pun masuk ke dalan rumah sang paman. Rumah itu dikelilingi bangunan besar la
Keesokan harinya, Laras terbangun dan pergi berkeliling bersama paman tadi. Ia berlatih memanah. Namun, ia salah sasaran.
"Siapa yang berani melukai kakiku?"
"Aduh, tadi aku memanah apa?"
Tiba-tiba Laras merasa badannya terangkat ke langit. Ia merasa ada seseorang yang mengangkatnya.
"Oh kau yang memanah tadi?"
"Arghh, makhluk apa kau?" ucap Laras sambil memukuli raksasa di hadapannya.
"Diam kau anak manusia."
"Jaka berhenti, dia keluarga Jayanagara."
Seketika raksasa itu terhentak, ia menurunkan Laras dan Laras segera berlari memeluk paman yang menolongnya.
Di sisi lain, semua masyarakat Majapahit telah mencari Laras berhari-hari. Namun, mereka tidak menemukannya.
Akhirnya, Jayanagara bertindak. Ia segera memacu kudanya menuju gerbang tinggi di dalam hutan.
"Surya, Surya tolong buka gerbang ini," teriak Jayanagara.
"Aduh, dia ada di sini."
"Laras, kamu bisa pulang dulu? Nanti paman nyusul ya."
"Iya paman," ucap Laras dan segera pergi ke rumah Surya.
Surya pun berlari ke gerbang depan dan membukakan Jayanagara gerbang itu.
Jayanagara segera masuk dengan cepat agar tak ada yang mengetahui.
"Dimana Laras?"
"Laras? Anak Sakti? Aku tidak tahu," ucap Surya tenang.
"Kau menyembunyikannya."
"Sumpah, aku tidak ..."
"Paman Jaya ..." teriak Laras dari kejauhan.
"Surya ..."
"Maaf, aku hanya ingin melihatnya berada di dekatku, lagipula Dyah merindukannya."
Jayanagara menghiraukan penjelasan Surya, ia segera berlari dan memeluk Laras.
"Laras kemana aja?"
"Laras dari kemarin di sini paman, Laras bermain bersama paman Surya."
"Laras, lain kali kalau ingin pergi izin ke ibu dulu atau ayah,"
"Maaf Paman, Laras kemarin tertarik dengan jejak kaki di hutan, lalu Laras menemukan gerbang itu."
"Jejak?"
"Iya Paman, jejaknya besar sekali. Laras kira itu jejak gajah, tapi itu mirip kaki Laras tapi besar."
"Surya dia sudah tau?"
"Entahlah Jaya, dia tadi hampir celaka di tangan Jaka."
Surya pun berlari ke gerbang depan dan membukakan Jayanagara gerbang itu.
Jayanagara segera masuk dengan cepat agar tak ada yang mengetahui.
"Dimana Laras?"
"Laras? Anak Sakti? Aku tidak tahu," ucap Surya tenang.
"Kau menyembunyikannya."
"Sumpah, aku tidak ..."
"Paman Jaya ..." teriak Laras dari kejauhan.
"Surya ..."
"Maaf, aku hanya ingin melihatnya berada di dekatku, lagipula Dyah merindukannya."
Jayanagara menghiraukan penjelasan Surya, ia segera berlari dan memeluk Laras.
"Laras kemana aja?"
"Laras dari kemarin di sini paman, Laras bermain bersama paman Surya."
"Laras, lain kali kalau ingin pergi izin ke ibu dulu atau ayah."
"Maaf Paman, Laras kemarin tertarik dengan jejak kaki di hutan, lalu Laras menemukan gerbang itu."
"Jejak?"
"Iya Paman, jejaknya besar sekali. Laras kira itu jejak gajah, tapi itu mirip kaki Laras tapi besar."
"Surya dia sudah tau?"
"Entahlah Jaya, dia tadi hampir celaka di tangan Jaka."
Jayanagara pun membawa Laras pulang kembali ke rumahnya. Sakti yang melihat anaknya kembali pun juga menangis kencang, dirinya dan suaminya sangat terpukul kala kehilangan Laras. Ia tak ingin lagi Laras hilang, ia sangat takut jika Dyah akan mengambil anaknya.
Tarum mengajak Laras masuk untuk membersihkan diri. Sedangkan Sakti, ia masih berbicara dengan kakaknya.
"Jaya, terima kasih, aku tahu dia memasuki gerbang itu, tapi apa dia bertemu dengannya?"
"Sepertinya."
Sakti menghela napas sendu. Ketakutannya mungkin akan terjadi kapan saja.
"Laras, tadi kemana saja nak?" tanya Tarum.
"Laras, tadi ke dalam gerbang tinggi ayah. Laras bertemu Paman Surya dan Paman Jaka. Tadi Paman Jaka mengangkat Laras ke langit. Paman Jaka sangat besar Ayah. Laras takut," jelas Laras.
"Laras, lain kali kalau mau ke sana, ajak Ayah ya," ucap Tarum
yang dibalas anggukan oleh Laras.
Keesokan hari, Tarum dan Sakti membawa Laras ke kuil. Mereka membawanya agar ingatan Laras mengenai gerbang itu hilang. Mereka tidak ingin Jika Laras kembali ke sana.
Tahun demi tahun telah berlalu, Laras sekarang berumur 17 tahun. Saatnya untuk pesta pemilihan Pangeran.
Laras memiliki teman bernama Dwi. Saat hari pemilihan itu berlangsung, Laras berniat kabur dari pesta itu. Ia tak ingin menikahi pangeran, ia hanya ingin menikmati kehidupannya bersama Ayah dan Ibunya. Hari itu ia mengajak Dwi untuk menemaninya ke dalam hutan. Mereka berlari kesana kemari, menghindar dari kejaran para prajurit.
"Berhenti Laras," ucap Dwi menghentikan lari Laras.
"Dwi cepat ayolah."
"Berhenti, ku bilang berhenti Laras. Kenapa kau kabur? Kau tidak berpikir apa yang terjadi denganku nanti?"
"Dwi kau ingat mimpi yang sering ku ceritakan?"
"Gerbang besar? Manusia besar?"
"Iya, aku menemukan mereka kembali."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top