Seribu Candi [Lisa]

Genre : Fantasi sejarah + legenda

Liburan tahun ini Rara manfaatkan untuk berlibur di Jogja, ia sudah menghubungi Mayang-teman semasa SMP-nya yang tinggal di sana. Mayang memperbolehkan Rara untuk singgah di rumahnya. Pagi tadi Rara sampai di sana.

Rara-gadis berumur 18 tahun itu terbilang gadis yang kekinian. Ia aktif memposting foto di sosial media. Karena itu, ia tak sabar ingin berfoto di tempat yang ia kunjungi. Tapi ia belum menentukan tempat mana saja yang akan ia kunjungi.

Tadi pagi Rara bertanya kepada Mayang, di mana tempat yang bagus, dan Mayang mengajak Rara untuk berkunjung ke Candi Prambanan, karena tempat itu tak jauh dari rumahnya.

Sore ini mereka sudah ada di area candi. Rara yang belum pernah ke sana pun dibuat kagum karena bangunannya yang indah. Ia mengajak Mayang untuk berkeliling candi, dan mengambil beberapa gambar untuk diunggah di sosial media.

"Ra, tau patung yang terkenal di sini nggak?" tanya Mayang. Rara masih sibuk mengambil gambar.

"Nggak. Emang ada?"

Mayang mengangguk. "Lihat patung itu yuk," ajaknya. Mereka pun berjalan menghampiri patung yang dibicarakan tadi, sebuah patung wanita yang ada di area candi.

"Katanya sih patung ini berasal dari orang yang dikutuk, kamu tau nggak?" tanya Mayang sedikit berbisik.

Rara menggeleng. "Maksudnya? Patung ini orang?" Menunjuk patung yang ada di hadapannya. "Mana ada orang yang bisa berubah jadi patung? Aneh-aneh aja."

"Ya udah kalo nggak percaya, tapi itu emang legenda yang terkenal di sini." Rara manggut-manggut walau tak tahu-menahu tentang legenda itu. Ia kembali mengambil gambar.

"Udah gelap nih, pulang yuk," ajak Mayang. Rara yang membelakanginya pun menoleh. "Ayo, aku juga mau istirahat. Capek banget rasanya walau cuma keliling candi," ujar Rara.

Akhirnya mereka pulang. Sesampainya di rumah, Rara segera mandi kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Tentu saja kasur milik Mayang karena Rara tidak membawa kasur sendiri dari Jakarta.

Mayang menghampiri Rara di kamarnya, ia berniat mengajak Rara makan malam, tapi ternyata Rara sudah tertidur pulas. Sepertinya Rara kelelahan.

***

"Tuan Putri! Bangun Tuan Putri!" teriakan perempuan itu menerobos masuk ke dalam telinga Rara. Perlahan Rara mengerjapkan mata, lalu dengan sedikit tenaga, ia bangkit dari tidurnya.

"Siapa sih? Pembantunya Mayang kali, ya?" gumam Rara dengan suara khas orang bangun tidur.

Pemilik suara tadi menghampirinya, lalu menggoyang-goyangkan tubuh Rara. "Gawat Putri, gawat!" katanya.

Rara pun membuka lebar matanya, namun alangkah terkejutnya ia saat melihat ruangan di mana dirinya berada. Ruangan ini bukan kamar Mayang, bukan ruangan tempat ia tidur tadi. Di kamar Mayang tidak ada kelambu, tapi di sini ada kelambu. Arsitektur ruangannya juga sangat berbeda, dinding ruangan ini hanya batu bata. Rara melihat baju yang ia kenakan, baju yang ia kenakan tadi berbeda dengan sekarang. Rara ingat betul ia menggunakan baju tidur. Tapi mengapa sekarang berubah menjadi kain jarik sampai dada seperti ini?

"Tuan Putri yang sabar ya, Prabu Baka kalah dalam pertempuran dengan pasukan dari kerajaan Pengging, beliau dikalahkan oleh Bandung Bondowoso." Perempuan tadi kembali bertutur sehingga membuyarkan lamunan Rara.

Rara tertawa lepas. "Nggak usah manggil tuan putri gitu. Lagian, Prabu Baka siapa? Dan ... kamu siapa? Aku di mana?" tanya Rara beruntun.

"Prabu Baka, ayahanda Tuan Putri, dan saya adalah Lasmini, dayang-dayang di kerajaan ini. Saya tahu anda pasti sangat terpukul mendengar berita ini." Lasmini bangkit dari duduknya lalu membungkukkan tubuhnya kepada Rara seolah memberi hormat. "Saya ke belakang dahulu, Putri. Ah iya, sebentar lagi Bandung Bondowoso akan datang ke mari," lanjut Lasmini lalu melangkah pergi.

Tak berselang lama, Rara mendengar suara kegaduhan. Ia penasaran, lalu mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari ruangan besar seperti aula. Keadaan di sana sudah kacau balau, banyak mayat pria yang tergeletak kaku. Hanya tersisa tiga pria yang belum mati di sana, sepertinya ketiga pria itu yang membunuh semua mayat. Rara panik, ia segera berbalik badan dan berniat bersembunyi, takut-takut kalau ia akan dibunuh juga, namun suara salah satu pria di belakangnya membuatnya menghentikan langkah.

"Tunggu! Siapa kau?" tanyanya.

Rara memberanikan diri untuk berbalik badan. "A-aku Rara. Kamu siapa?" jawabnya gugup.

Pria itu mendekati Rara. "Ah, Roro Jonggrang ternyata. Aku tidak menyangka kalau kau cantik sekali. Perkenalkan, aku Bandung Bondowoso." Bandung Bondowoso? Bukankah itu nama yang dibicarakan oleh Lasmini tadi?

"B-bukan, aku bukan Roro Jonggrang."

"Lalu siapa? Tak usah takut padaku, karena aku akan menjadi suamimu. Kau mau 'kan menjadi permaisuriku?" Rara terkejut oleh penuturan Bandung. Kenal saja tidak, sudah mau meminang saja. Rara tak habis pikir.

"Nggak! Aku nggak sudi menikah sama kamu!" seru Rara.

"Aku bisa memberikan semua yang kau mau. Kau mau apa? Istana baru? Candi? Atau pesiraman mewah?"

"Terserah! Aku tetap nggak mau!"

Bandung terkekeh. "Kau tidak bisa menolak. Kalau kau tidak mau menikah denganku, kau dan semua rakyatmu akan menderita selamanya. Ah, mau yang lebih parah lagi? Kalau ya, aku akan membunuhmu."

Bagaimana ini? Rara tidak mau dibunuh oleh Bandung, tapi ia juga tak mau menikah dengan lelaki itu. Tunggu, Bandung bilang ia akan memberikan apa pun untuknya, bukan? Baiklah, Rara akan mengajukan sebuah syarat.

"Baiklah, aku mau nikah sama kamu. Tapi ada satu syarat," ujar Rara.

Bandung tersenyum puas. "Apa syarat yang harus kupenuhi?"

"Buatkan aku seribu candi dalam waktu semalam, candi itu harus selesai sebelum matahari terbit. Kalau kamu bisa menyelesaikannya, aku berjanji akan bersedia nikah sama kamu, tapi kalau nggak, kita nggak jadi menikah." Rara yakin kalau Bandung tidak akan bisa memenuhi syarat darinya.

"Ah, itu tidak sulit bagiku. Baiklah, aku setuju. Akan kubuat candi untukmu malam ini juga." Bandung melangkah pergi bersama dua pria lainnya.

***

Malam ini Rara mengajak Lasmini untuk melihat sampai di mana candi yang Bandung bangun. Ternyata Bandung mengerahkan pasukan jin untuk membantu membangun candi. Candi yang dibangun pun sudah hampir rampung. Rara menjadi resah sekarang. Ini masih malam, namun candi itu sebentar lagi selesai dibuat. Bagaimana ini? Rara sungguh tidak mau menikah dengan Bandung.

"Lasmini, bagaimana ini? Sebentar lagi candi itu akan selesai dibuat," tutur Rara cemas.

Lasmini tampak bingung. "Kita tidak bisa melakukan apa-apa Tuan Putri. Anda harus bersedia menikah dengan Bandung Bondowoso."

"Nggak! Aku nggak mau!" pekik Rara seraya menggelengkan kepala. "Lasmini, apa ada penyihir yang hebat di sini? Aku ingin meminta bantuannya," lanjut Rara.

"Di Prambanan ini hanya ada satu penyihir, yaitu Mak Rumpang. Apa anda lupa?" kata Lasmini.

"Ya sudah, ayo kita temui Mak Rumpang sekarang!" Lasmini mengangguk. Mereka pun berlari menuju rumah Mak Rumpang.

Sesampainya di sana, Rara meminta Mak Rumpang untuk mengubah seolah-olah hari telah pagi, supaya bala tentara itu berhenti bekerja, dan Bandung pun gagal membangun seribu candi.

"Kalau seperti itu, kau berbuat curang, Roro. Kau menyalahi aturan, kau sama saja mengingkari janjimu," kata Mak Rumpang setelah mendengar penjelasan dan cerita dari Rara.

"Persetan dengan janji dan aturan. Aku benar-benar nggak mau nikah dengan Bandung!" seru Rara menggebu-gebu.

Akhirnya Mak Rumpang pun memenuhi permintaan Rara. Ia membuat cahaya di sebelah timur, bak matahari yang terbit, lalu membuat suara tiruan ayam berkokok yang berasal dari jin peliharaan Mak Rumpang. Rara yang melihatnya pun lega. Tanpa mengatakan terima kasih atau apa pun itu, Rara segera berlari ke tempat semula, yaitu tempat di mana Bandung membuat candi.

Sesampainya di sana, Rara hanya melihat Bandung dan kedua prajurit setianya. Di sana sudah tidak ada pasukan jin yang membangun candi seperti tadi, namun candi yang dibuat belum selesai. Rara pun segera menghampiri Bandung.

"Kamu kalah, Bandung. Matahari sudah terbit, dan candi itu belum selesai dibuat, jadi kita nggak akan menikah." Senyum kemenangan terbit di bibir Rara.

"Tapi candi itu sebentar lagi akan selesai, Roro," tutur Bandung.

"Aku nggak peduli. Itu sama saja kamu nggak bisa memenuhi syarat dariku," ujar Rara dengan sinis.

Tiba-tiba seseorang yang datang dari belakang Rara bertutur, "Tunggu! Roro curang. Ia memintaku untuk membuat hari seolah-olah telah pagi dengan kekuatan sihirku."

Rara dan Bandung sangat terkejut. Cepat-cepat Rara menoleh ke sumber suara, dan ternyata pemilik suara tersebut adalah Mak Rumpang. Mengapa Mak Rumpang membeberkan semuanya? Lantas bagaimana ini? Rara sudah tidak bisa berkutik. Rara segera mengangkat sampai lutut kain yang ia kenakan, lalu siap-siap berlari.

Bandung langsung berteriak, "Mau ke mana kau?! Kau sudah membohongiku, kau mengingkari janjimu, Roro! Aku tidak terima!"

Rara jadi berhenti, lalu berbalik badan kembali. "Itu semua kulakukan karena aku tak mau menikah denganmu!"

"Kau harus mendapat balasan atas perlakuanmu, Roro." Bandung memejamkan mata seraya menangkupkan kedua tangan, ia tampak bergumam seperti membaca mantra. Seketika itu juga tubuh Rara kaku, ia berubah menjadi batu.

"Ra, Rara!" teriakan itu masuk ke dalam telinga Rara. Ia tak tahu mengapa suara itu bisa terdengar. Namun suara itu terdengar familiar di telinga Rara, suara itu seperti suara milik ....

"Udah siang, makan dulu yuk, kamu belum makan dari semalam 'kan?"

Rara membuka mata. Ia terkejut saat melihat Mayang ada di hadapannya. Ia melihat sekeliling, dan ternyata ia ada di kamar Mayang. Lantas, tadi itu hanya mimpi? Rara menghembuskan napas lega. Syukurlah. Mimpi tadi memang seram, tapi Rara jadi sadar, ia tidak boleh berbuat curang atau mengingkari janji jika tidak ingin merugi.

Setelah mencuci muka, Rara menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada Mayang, kedua orang tuanya, dan ... seorang nenek seperti ... nenek itu seperti Mak Rumpang.

Ya, Rara masih ingat betul dengan wajah Mak Rumpang.


***

TAMAT.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top