Senja yang belum usai [Shifa]

...

Kata/tema : Pergi

Dia Kemala, gadis berambut hitam legam sebahu dengan mata bulat dan pipi tembam. Kini tengah berdiam diri di dalam sebuah ruangan yang terbuat dari kaca, mengamati bermacam-macam bunga yang bermekaran di dalam sana. Namun, tidak ada seorang pun yang menginginkan bunga di dalam sana bahkan banyak orang menghindarinya.

Kemala melihat bunga Lily putih mulai mekar disusul merigold, krisan, kamboja, dan juga red spider lily. Entah mengapa bunga-bunga itu bermekaran secara bersamaan padahal setiap bunga memiliki musim tersendiri untuk mekar.

"Kenapa di saat bunga-bunga ini mekar, kamu malah memilih untuk layu?" ucap Kemala sembari memegang bunga Lily putih.

Satu bulir air mata jatuh dari kelopak matanya membasahi bunga yang ada di genggmannya, ia meremas bunga itu sampai tidak berbentuk.

"Kau tahu bukan jika aku membenci bunga? Tapi apa kau tidak lihat? Kini aku malah merawat bunga-bunga khusus untuk dirimu," monolog gadis itu sembari menatap nanar foto yang berada di salah satu pigura ruangan itu.

Tubuhnya luruh ke bawah, kenyataan tentang satu tahun yang lalu tidak bisa ia lupakan begitu saja. Kenyataan bahwa Marvel-kekasihnya sudah pergi meninggalaknnya sendirian.

"Aku yakin kita pasti ketemu lagi- di kehidupan selanjutnya."

Satu tahun yang lalu

Sinar matahari sore dengan siluet jingga menerpa wajah cantik Kemala, ia tersenyum menatap hamparan pasir putih dan birunya air pantai. Kakinya melangkah beraturan sesuai ritme hamparan ombak, bahkan pandangannya tidak pernah teralihkan pada sosok laki-laki di depannya, hanya satu fokusnya saat ini. Bertemu dengan kekasihnya.

"Hayo, ngalamun aja, maaf nunggu lama ya?" tanya Kemala dengan senyum yang senantiasa terpatri di bibirnya.

Marvel membalas senyuman itu. Tangannya terangkat untuk mengusap pelan surai Kemala.

"Nggak kok, aku aja baru dateng."

Kemala masih menatap Marvel, raut wajah laki-laki itu terlihat berbeda, seperti banyak sekali beban di pundaknya.

"Vel? Ada masalah ya?" Marvel menatap Kemala, senyuman penuh arti tercetak di bibirnya.

"La, kita ... udahan ya?"

Kemala masih geming, tiba-tiba tawanya meledak seakan ada hal yang sangat lucu baru terjadi. Namun, tawa Kemala sirna saat Marvel menatapnya sendu.

"Sumpah nggak lucu Vel, jangan prank kaya gitu deh," lirih Kemala.

"Aku serius La! Mulai hari ini, detik ini, kita nggak ada hubungan apa-apa! Paham kan!" ucap Marvel dengan nada tingginya. Selama Kemala menjalin hubungan dengan Marvel, baru kali ini laki-laki itu membentaknya bahkan berbicara dengan intonasi yang cukup kasar.

"Apa salah aku Vel?"

"Kamu nggak salah La, aku emang udah bosen sama kamu," jawab Marvel dengan wajah datarnya.

Mendengar kata 'bosan' dari Marvel membuat hati Kemala seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Sakit.

"Alasan kamu putusin aku karena bosen? Kayaknya aku yang terlalu bodoh ya, selama ini aku anggap kamu rumah aku Vel, kamu tempat terakhir hati aku Vel, tapi sekarang? Bahkan kamu pergi cuma karena kata bosan?" jelas Kemala dengan wajah memerah diikuti lelehan air matanya.

Marvel masih terdiam, keputusannya sudah bulat, ia harus meninggalkan gadis ini, gadis yang ia cintai.

"Mungkin ini pertemuan terakhir kita La, aku pingin kita pisah secara baik-baik," ucap Marvel. Kedua tangan Kemala ia genggam kemudian dikecupnya perlahan, "makasih buat semuanya La, kamu pantes dapat yang lebih baik dari aku," ucap Marvel terakhir kalinya sebelum langit berubah menjadi gelap, padahal sedari tadi langit terlihat begitu cerah dengan matahari yang senantiasa bersinar.

"Kita pulang ya, kayaknya mau hujan," lirih Marvel.

Kemala terdiam beberapa saat sebelum melangkah meninggalkan Marvel yang tengah tersenyum miris.

"Demi dia Vel," gumamnya.

Hari terus berganti, bahkan kini sudah terhitung 3 bulan sejak Kemala dan Marvel putus. Mereka berdua juga tidak pernah berhubungan lagi, bahkan menanyakan kabar saja tidak, keduanya seperti menjelma menjadi dua orang asing yang tidak pernah bertemu.

Di sebuah rumah sakit, terbaring lemah seorang laki-laki yang selalu tersenyum dalam keadaan apa pun. Namun, kini wajahnya pucat bahkan terdapat kantung mata di wajahnya.

"Ma ... Marvel mau cepet mati aja, sakit ma ...," lirih Marvel sembari menekan dadanya.

Sedangkan sang mama hanya terdiam dengan tangan terus menggenggam tangan dingin Marvel.

"Marvel harus bertahan, mama yakin Marvel anak yang kuat, inget Lala, dia butuh kamu Vel,"

"Marvel udah lepasin Lala ma, udah nggak ada yang perlu Marvel perjuangin lagi," lirih Marvel dengan wajah sendunya.

"Seenggaknya bertahan buat mama, mama sayang kamu,"

"Tapi sakit ma, Marvel nggak suka kemo, rambut Marvel juga udah habis," jawab Marvel.

Sinta-mama Marvel hanya menangis dalam diam, ia tidak bisa melihat putranya menderita seperti ini, apakah ia harus megikhlaskannya? Jika ini yang terbaik mungkin ia akan dengan ikhlas melepas putra semata wayangnya itu.

"Mama sayang Marvel, tapi mama juga nggak mau liat Marvel kesakitan ... mama ikhlas Vel," ucap Sinta dengan suara bergetar.

Marvel tersenyum, kedua matanya mulai menutup sampai tidak akan terbuka lagi. Tangis Sinta pecah, jika Tuhan mengizinkan biarlah dirinya yang tersiksa, jangan Marvel.

"Yang tenang ya anak mama."

Putaran memori itu terus melintas di kepala Kemala, andai ia tahu semua itu dari awal, andai ia tidak langsung mengiyakan permintaan Marvel, andai ia tidak terlalu egois karena merasa dirinya yang paling tersakiti. Kini Kemala hanya bisa berandai, berandai waktu bisa kembali diputar.

"Aku masih di sini Vel, menunggu senja benar-benar hilang, karena waktu itu senja hilang sebelum waktunya, dan sepertinya impian kita terwujud," ucap Kemala sembari menatap langit jingga yang mulai menghilang tergantikan langit penuh bintang.

Kini senja telah usai, kenangan itu juga akan terus tersimpan di suatu tempat dimana hanya Kemala yang tahu. Yang perlu semesta tahu hanyalah ... ia mencintai Marvel.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top