Mejikuhibiniu [Debin]

Genre : Fairytale


Dikisahkan, ada sebuah kerajaan di atas langit sana. Warnanya putih bersih bagaikan salju di kutub. Kerajaan yang melambangkan kesucian, anugerah, juga pengharapan. Kerajaan tersebut selalu dilingkupi kedamaian dan ketenangan.

Letaknya 14 kilometer tepat dari permukaan bumi. Manusia tidak akan pernah bisa menemukannya, sebab kerajaan ini tak kasat mata. Tidak ada yang tahu bahwa dibalik awan-awan putih di langit ada kerajaan seindah itu.

Troposfer. Tepat di lapisan ozon terdekat bumi tersebutlah kerajaan itu berada. Kerajaan ini diisi oleh banyak peri dan dipimpin oleh tujuh pemuda tampan dengan garis tangan dewa sakti. Siapa sangka kalau pelangi yang biasa kita lihat di langit sesudah hujan itu adalah pancaran cahaya dari kekuatan tujuh pemuda tampan itu?

Tujuh pemuda itu dinamakan 'kesatria pelangi' oleh para peri di kerajaan. Ketika kekuatan mereka bersatu dan berhasil memberikan tujuh corak warna, itulah pelangi. Mejikuhibiniu, orang-orang terbiasa mengingatnya warna-warna pelangi seperti itu bukan? Ya, ada merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Tapi bila kalian ingin tahu, bahwa sebenarnya 7 kesatria itu memiliki namanya masing-masing.

Kesatria yang menghasilkan spektrum warna merah adalah Noe. Ia merupakan kesatria dengan sejuta keberanian dan rasa percaya diri, sesuai dengan warna dari pancaran cahaya dari kekuatan yang bisa ia hasilkan. Semua peri percaya bahwa keberanian yang Noe punya adalah kekuatan utama untuk membangkitkan semangat para kesatria mimpi untuk melawan musuh kerajaan, tak lain ialah sang awan cumolonimbus.

Warna kedua pada pelangi adalah jingga, yang kekuatannya dimiliki oleh kesatria bernama Chandra. Ia merupakan sosok kesatria yang hangat, penuh kebahagiaan, dan begitu positif. Namun, satu kekurangan yang Chandra punya, ia kurang peka serta sering menyakiti hati orang lain dengan candaannya.

Kuning adalah warna ketiga dari urutan warna pelangi yang sering manusia lihat. Kesatria yang memiiki kekuatan berwarna kuning itu tinggi dengan rasa keingintahuan, inspiratif, dan kreatif. Dan, kesatria itu bernama Rigel. Nama yang baik sesuai kepribadiannya. Namun, pemuda itu sangat mudah terpancing emosi.

Kekuatan hijau yang melambangkan harmoni, harapan, juga keseimbangan antara otak dengan hati itu dimiliki oleh Arlangga. Peri-peri di kerajaan lebih gemar memanggilnya Kesatria Angga. Ia merupakan sosok kesatria idaman para peri atau bahkan kaum hawa di bumi. Sikapnya yang sederhana dan pengertian itu berguna untuk menjaga keharmonisan keluarga kerajaan.

Selanjutnya, warna biru. Sosok kesatria yang memiliki kekuatan berwarna biru itu bernama Mikhael. Sesuai dengan warna biru yang khas pada kekuatannya, Mikhael memang merupakan pemuda yang bijaksana, setia, dan memiliki jiwa pemimpin yang kuat. Tapi, kesatria yang satu ini cukup kaku.

Nila merupakan warna yang menggambarkan integritas, idealis, dan suka mengintropeksi diri sendiri, sama halnya dengan sang pemilik kekuatan tersebut. Nama kesatria muda itu Sebastian. Dibandingkan dengan sang kesatria biru yang kaku, Sebastian justru terkesan lebih datar dibanding Mikhael.

Ungu merupakan warna terakhir pada pelangi yang sering terlihat di langit. Warna ini memiliki filosofi yang artinya kreatif, imajinatif, dan penuh empati. Tapi tidak jarang juga warna ungu menggambarkan kepribadian sang kesatria yang cukup kekanak-kanakan itu. Haikal namanya, para peri bilang bahwa ia merupakan sosok pemuda yang cukup jahil hahaha.

Tujuh kesatria pelangi itu punya pancaran warna kekuatan, pikiran, serta ambisinya masing-masing. Namun, di situlah peran mereka dalam kerajaan. Mereka semua harus mengalahkan ego masing-masing untuk bersatu melukiskan pelangi yang indah di langit sebagai lambang pengharapan bagi manusia di bumi.

Sudah banyak sekali badai yang mereka lewati dengan sikap dan kepribadian mereka masing-masing. Sederas apa pun hujan turun, sekencang apa pun guntur bergemuruh, pelangi akan tetap terlukis sebagai pengharapan bahwa badai pasti akan berlalu.

---

"Di mana Rigel?" tanya Mikhael.

"Melukis di kamarnya," jawab Haikal yang dibalas anggukan oleh Mikhael.

Rigel memang dilahirkan dengan aliran darah dewa yang begitu menguasai bidang seni. Mulai dari melukis, bernyanyi, sampai bermain musik. Seakan seluruh sel dalam tubuhnya sudah bersahabat dengan seni.

"Arlangga," panggil Mikhael dan kesatria hijau itu menoleh dari lamunannya.

"Ya?"

"Bisakah kau membantuku sebentar sesudah makan malam ini?"

"Membantumu untuk melakukan apa, kak?" balas Arlangga sembari mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, menandakan bahwa kini pemuda itu penasaran. Mikhael hanya tersenyum kaku.

"Ibu Peri memanggilku dan aku ragu kalau aku akan memahami semua ucapannya, maka dari itu aku ingin meminta bantuanmu."

Arlangga tersenyum hangat dan membalas,"aku akan membantumu."

"Terimakasih."

Seusai percakapan singkat itu, Chandra juga Sebastian datang ke meja makan untuk menyantap makan malam bersama. Sedari tadi Mikhael, Noe, Arlangga, dan Haikal tengah menunggu para peri dayang selesai menyiapkan makan malam mereka. Sedangkan Chandra, Sebastian, dan Rigel masih sibuk dengan urusan mereka di kamar masing-masing.

Haikal berdecak sebal, "Kemana anak itu, mengapa lamban sekali? Aku sudah lapar ...."

"Tunggu sebentar, aku akan memanggilnya," ujar Noe seraya berdiri dari duduknya dan meninggalkan meja makan.

Para peri dayang baru selesai menghidangkan beragam makanan serta minuman di atas meja. Dan, akhirnya sosok kesatria yang ditunggu-tunggu tiba juga.

Rigel tersenyum dan berkata, "Maafkan aku yang melupakan jam makan malam karena terlalu asik melukis di kamar."

Keenam satria mimpi lainnya hanya mengangguk, mengiyakan permintaan maaf Rigel. Akhirnya, mereka bertujuh melipat tangannya masing-masing untuk berdoa mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Suasana di meja makan kali ini terasa lumayan hening dan bersahabat, setidaknya tidak ada yang bertengkar atau berdebat ringan. Ketujuh-nya sibuk dengan makanan mereka masing-masing. Sesekali Haikal, Chandra, dan Sebastian berdecak kagum akan cita rasa setiap makanan yang dihidangkan oleh para peri dayang.

"Kita pergi sekarang, kak?" tanya Arlangga sesaat ia menutup makan malamnya dengan segelas air putih kerajaan. Mikhael yang duduk di hadapannya sudah terlebih dahulu menyelesaikan makan malamnya tadi dan diam melamun sembari menunggu Arlangga.

Rigel berdeham seraya menatap keduanya, "Kalian mau pergi ke mana?"

Mikhael menoleh dan menjawab,"Ibu Peri memanggil ku untuk menghadap kepadanya."

"Dan Arlangga?" tanya Haikal.

"Aku akan membantunya di sana nanti," jelas Arlangga. Rigel juga Haikal mengangguk paham. Tak lama, sang kesatria biru segera berdiri dari duduknya untuk memimpin langkah kearah kamar suci Ibu Peri.

"Kami pamit pergi lebih dulu ya," ucap Arlangga sebelum benar-benar berjalan menyusul Mikhael. Sedangkan lima kesatria yang tinggal di meja makan melanjutkan pembicaraan ringan mereka seperti biasanya, dan sesekali tawa terdengar dari salah satunya.

---

Sakral. Di dalam kerajaan seputih salju itu masih ada ruangan yang jauh lebih sakral dan dilindungi oleh seluruh penghuni kerajaan, yaitu ruang tenang Ibu Peri. Ketenangan, kedamaian, dan pengharapan yang terasa menjuru ke seluruh atmosfer kerajaan putih bersumber dari tempat itu.

Rasa tenang dan damai secepat kilat menggetarkan hati kedua kesatria itu, begitu sejahtera rasanya. Senyum Arlangga mengembang kala melihat pintu putih dengan ukiran khas kerajaan yang begitu indah ada di hadapan mereka, sama halnya dengan Mikhael.

"Aku akan segera mengetuknya," ujar Mikhael pada sang kesatria hijau. Arlangga menganggukan kepalanya antusias.

Tok. Tok . Tok.

Tak lama terdengar suara halus nan lembut dari dalam ruangan itu. "Masuklah, kehadiranmu sudah ditunggu."

Mikhael tersenyum, "Aku membawa sang kesatria hijau, Ibu."

"Baiklah."


Setelah pintu terbuka, keduanya memasuki ruangan itu. Penampakan seorang wanita berparas kelewat sempurna bagaikan malaikat dengan jubah putih indah itu, langsung menyapa indra penglihatan keduanya.

Mikhael memimpin, ia terlebih dahulu sujud di depan wanita itu untuk memberi hormat kepada Ibu Peri, dan Arlangga segera menyusulnya.

"Tuhan yang maha kuasa akan selalu memberikanmu umur panjang, Ibu." Ucapan keduanya serentak namun tetap mengalun tenang ke telinga sang Ibu Peri.

Wanita itu menunduk dan meletakkan kedua tangannya di atas kepala kedua kesatria untuk memberi berkat.

"Tuhan yang sama akan memberkati kalian berdua selamanya."

Setelah itu, keduanya mendongakkan kepala mereka untuk melihat Ibu Peri. Wanita itu mengangguk lalu mundur beberapa langkah, dan para kesatria itu segera berdiri dari sujudnya.

Ibu Peri tersenyum, "Kalian berdua tampak semakin tampan dan dewasa, ya."

Mikhael tertawa kecil, sedangkan Arlangga hanya tersenyum manis. Wanita cantik bak dewi itu melanjutkan ucapannya.

"Tampaknya kalian sudah pasti tanggap dan bisa merancangkan rencana cerdas dengan akal kalian masing-masing."

Raut kedua kesatria itu mulai terlihat berbeda, seakan sadar ada sesuatu yang mengganjal. Ibu Peri yang menyadari itu langsung tersenyum. "Tidakkah kalian ingin memberikan raut gembira, setelah hampir 15 purnama lamanya kita tidak berjumpa?"

"Ibu, maafkan kami yang lancang mengurungkan raut gembira kami." Ujar Mikhael menyesal lalu disusul dengan Arlangga yang menunduk, merasa bersalah. Ibu Peri kembali tersenyum lalu mendekat pada dua kesatria tampan itu. Tak lama ia menatap mereka, dan akhirnya maju mendekap Mikhael dan Arlangga.

"Ibu tahu kalau kalian pasti bisa melakukannya," ucap Ibu Peri yang terkesan sedang membuat teka-teki baru untuk para kesatria itu.

"Ya, Ibu," untuk sesaat biarkan kedua kesatria mimpi itu merasakan damainya dekapan hangat Ibu Peri. Karena sebetulnya kini ada segelintir rasa khawatir mulai mengendalikan hati keduanya. Ucapan Ibu Peri tadi terdengar seperti peringatan, bukan?

---

"Aku rasa akan ada hujan badai terbesar yang terjadi sebentar lagi," ucap Rigel seraya menyuarakan isi intuisinya, membuat Noe menoleh pada sang kesatria kuning. "Kita memikirkan hal yang sama."

Chandra menyeritkan alisnya bingung, "Benarkah? Aku justru merasa Ibu Peri hanya berpetuah seperti biasanya, bukan untuk memperingati suatu hal besar yang kalian takutkan itu."

"Tidak, menurutku ucapan Rigel ada benarnya. Ibu Peri mungkin saja berpesan seperti itu karena memang ada kejadian besar yang sudah beliau prediksi," balas Sebastian pada Chandra di sebelahnya.

"Aku pikir perasaan Rigel ada benarnya," tutur Arlangga.

"Betul. Lagi pula apa salahnya kita kembali merancang rencana baru untuk kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi," tambah Noe. Ia rasa perkiraan Rigel ada benarnya.

"Ibu Peri tahu segalanya, mungkin saja yang tadi itu peringatan agar kita lebih waspada. Dan, bisa saja benar akan ada hujan badai yang terjadi ...."

Haikal mendengus sebal, "Aku rasa kalian terlalu banyak menebak hal yang sebetulnya sudah biasa terjadi. Ibu Peri menganggap kita semua anaknya, dan beliau memahami tugas-tugas berat kita sebagai para kesatria. Kita bahkan diharuskan melawan hujan serta awan cumulonimbus yang nakal itu, agar tetap ada pelangi yang timbul setelah hujan. Jadi, apa salahnya bila seorang ibu yang mengetahui beban anaknya itu memberikan semangat?"

Hening. Semua sibuk dengar pikiran masing-masing setelah Haikal menuturkan opininya barusan. Belum ada kesatria yang berani menyangkal penjelasan Haikal, karena setelah dipikir-pikir itu masuk akal juga.

Rigel berdecak gemas, ia ingin mengutarakan apa yang selama ini intuisinya sering suarakan. Jujur saja, bukan sekali ini Rigel percaya akan ada hujan badai terbesar yang mungkin saja terjadi. Tapi, jikalau ia menyimpulkan sebegitu cepat justru akan memancing rasa cemas teman-temannya.

"Sudahlah, aku mengantuk. Aku akan ke kamarku terlebih dahulu, selamat malam." Ucap sang kesatria ungu itu dan segera pergi meninggalkan ruang rapat kerajaan.

Chandra tersenyum menatap kepergian Haikal. "Aku akan kembali ke kamarku juga." Dan sebelum kesatria jingga itu benar-benar meninggalkan ruang rapat, ia berujar. "Aku pikir kalian terlalu paranoid, bila hujan badai terjadi pun kita sudah sering berhadapan dengannya bukan? ... hehe. Aku tidak menunggu jawaban kalian, selamat malam!"

"Kenapa mereka gemar sekali merendahkan kita? Mereka menilai kewaspadaan sebagai rasa takut dan pengecut, dasar lucu!" pekik Rigel kesal. Lantas segera berdiri dari duduknya untuk meninggalkan ruang rapat. Kesatria kuning itu menutup pintu ruangan begitu keras, seakan sedang melampiaskan rasa kesalnya.

Noe tersenyum. "Aku akan menyusulnya, selamat malam!"

Sang kesatria merah pun ikut meninggalkan ruangan. Sebastian berdeham kala merasakan atmosfer di sekitarnya mulai menegang. Ia berdiri dari duduknya dan berkata, "Aku akan kembali ke kamarku juga, selamat malam."

Hening. Ruang rapat kerajaan tidak lagi terasa damai karena lima kesatria tadi seenaknya meninggalkan ruangan. Arlangga mendongakkan kepalanya, melihat seisi ruangan yang kini hanya bersisa ia bersama sang kesatria biru. Pemuda itu tertawa miris, "Apa-apaan mereka semua? Mengapa selalu bertindak begitu lancang?"

Kesatria biru itu hanya menutup matanya seraya menghela napasnya kasar. Setelah dirasa tenang sedikit, ia menoleh pada Arlangga yang kini sudah melamun dengan wajah dinginnya. "Kembali ke kamarmu, kita lanjutkan persoalan ini besok pagi."

---

Pagi harinya, seluruh penghuni kerajaan dirundungi rasa takut yang tak berkesudahan. Langit sedari tadi masih gelap jua, padahal biasanya sudah menderang karena sang fajar mulai menyingsing. Ketujuh kesatria tampan itu sedang gusar juga. Kemarin lusa, semalam, dan bahkan kini, mereka sama sekali belum merencanakan apa pun.

Seperti yang kita semua ketahui, pelangi akan terlukis bila hujan sudah berhenti turun. Sejatinya, hujan akan berhenti bila tujuh kesatria pelangi mengeluarkan seluruh tenaga mereka untuk melawan awan-awan nakal yang cengeng itu. Mereka menangis hingga menyebabkan kebanjiran di mana-mana, maka itulah tujuh kesatria itu harus turun andil menenangkan.

Belum lagi bila badai terjadi, akan ada awan cumulonimbus yang gemar berteriak-teriak membuat manusia kebisingan. Kilatan cahaya petir yang sering membuat manusia-manusia di bumi ketar-ketir sendiri, sebenarnya adalah hasil dari adu kekuatan antara 7 kesatria tampan ini dengan awan cumolonimbus.

Jika terdengar suara petir yang kencang, artinya salah satu dari mereka berteriak saking kesalnya.

"Aku rasa hujan badai kali ini benar-benar petaka, tidak seperti biasanya," guman Haikal cemas. Mendengar itu, Rigel langsung melirik sang kesatria ungu garang. Noe yang menyadari keadaan diantara keduanya mulai sengit segera merangkul Rigel, guna menenangkan kesatria kuning yang cukup sensitif itu.

Arlangga menghela napasnya dan mulai bersuara,"kita ha-"

Belum sempat sang kesatria hijau menyelesaikan ucapannya, langit sudah terlebih dahulu menggeram parau. Angin berhembus sangat kencang, seolah menandakan akan ada pertempuran besar yang akan terjadi. Ketujuh kesatria itu mengalihkan pandangan mereka keluar pintu utama kerajaan.

Dan ya ... sudah ada ratusan awan cumulonimbus menantang mereka di sana.

"Dasar awan-awan tengil, mengapa kalian gemar sekali membuat masalah?!" Seru Chandra seraya berlari mendekat pada pintu utama, disusul oleh keenam kesatria lainnya

.
Gumpalan awan cumulonimbus yang berada di barisan paling depan tertawa keras. "Kami senang bermain-main hahaha!"

"Diam. Para manusia akan ketakutan mendengar suara tawa kalian yang menggelegar itu!" Seru Mikhael geram. Sedangkan, Noe sudah ancang-ancang mengeluarkan kekuatan merahnya dengan berani seperti biasa. "Awas kalian awan-awan tengil!"

Meleset. Selain karena kemarahan jua emosi yang menguasai hatinya, kekuatan merah itu tidak akan semudah itu disalurkan kalau sebelumnya tidak dipersiapkan. Sebastian yang melihat itu segera membantu Noe dengan sekuat tenaganya.

DAR!

Syukurlah berhasil, dan ketujuhnya mulai tersadar. Apalah kekuatan mereka jika tidak bersatu serta saling mendukung satu sama lain. Lagi pula emosi, ketakutan, juga cemas sudah terlebih dahulu mengendalikan mereka bertujuh.

Gegabah, jangan sampai mereka jatuh dalam lubang yang sama. Rigel langsung menarik Haikal untuk bekerja sama melawan awan-awan itu. Mikhael juga Arlangga sudah siap beradu kekuatan dengan segumpal awan cumulonimbus yang kiri tampak sangat angkuh itu. Ketujuhnya mulai fokus menyerang ratusan gumpal awan-awan nakal itu, juga tidak lagi merendahkan satu sama lain.

Sedangkan para manusia di bumi masih terus khawatir melihat hujan badai dan petir-petir kencang yang terus berkumandang. Air di sungai mulai menguap sebab tak henti-hentinya diisi oleh air tangisan para awan nakal di atas sana. Kilat peraduan kekuatan sang tujuh kesatria pelangi dengan awan cumulonimbus juga tak jarang membuat manusia di permukaan bumi meringis.

"Kita harus lebih kuat lagi, jika tidak kekuatan kita tidak akan sebanding dengan awan-awan nakal itu," ujar Rigel seraya tetap fokus melawan sekumpulan awan cumulonimbus bersama Haikal.

Tak lama sang kesatria merah yang berani itu memekik kencang. "BERSATU! SALING MEMBANTU, JANGAN SAMPAI LENGAH!"

Semakin lama, perlawanan mereka semakin terarah. Perpecahan berhasil diatasi oleh para kesatria itu. Banyak awan cumulonimbus yang pergi menghindar dan tidak berulah lagi. Awan-awan nakal yang menangis tadi juga berangsur-angsur berhenti, sehingga hujan tidak lagi turun sederas sebelumnya.

Napas ketujuhnya menderu lelah, mereka berhasil lagi kali ini. Sang kesatria biru selaku yang paling tua di sana tersenyum dan berkata. "Lukiskan pelangi sebagai penutupnya!"

Dan, ketujuhnya mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing hingga menciptakan sprektum cahaya. Matahari pun ikut mendukung 7 kesatria itu, ia sudah mulai menerangi langit yang tadinya gelap gulita. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh warna itu melengkung indah di langit sebagai lambang badai sudah berlalu.

------TAMAT------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top