Lost Violin [Nabiru]

Premis : Seorang anak yang dipaksa orang tuanya untuk mengejar sesuatu yang bukan mimpinya.
Challenge : tanpa dialog.

------------------------------------------------------------

  Seorang pemuda tampan terbangun dari tidurnya di tengah malam musim salju, ia mengucek matanya, dan merapikan pakaiannya. Matanya melirik ke arah jam dinding lalu menghembuskan napas berat. Tangan dan kakinya gemetar tidak tenang, lantunan nada terngiang-ngiang di kepalanya.

  Dia kemudian keluar dari ruang tidurnya, dan mulai berjalan di lorong yang besar, megah. Namun, juga hampa. Dia menuju ke suatu ruangan yang besar dan  terlihat seperti gudang. Matanya berkaca-kaca saat melihatsebuah biola di antara tumpukan barang tak terpakai. Dia kemudian mengambilnya tanpa ragu dan membawanya ke taman. Di taman, di tengah-tengah badai salju yang sedang mengamuk ia merasakan ketenangan. Ia kemudian mulai memainkan biola tersebut, memainkannya dengan sangat merdu dan indah, jari jemarinya sangat lihai, kakinya berdansa, dan berputar sesuai nadanya.

  Saat ia berada di dunianya sendiri, seorang pelayan tua mendatanginya.  Pelayan tua itu terharu dan takjub melihat tuan mudanya sangat indah memegang biola tersebut, pelayan tersebut kemudian duduk di salah satu kursi taman tersebut memperhatikannya bermain.

  Pemuda yang memainkan biola tadi akhirnya berhenti dan sadar akan keberadaan pelayan tua tersebut, ia terkejut dan takut. Namun, pelayan tersebut bertepuk tangan membuatnya terharu. Sudah lama sekali ia ingin ada yang bertepuk tangan atau mengapresiasi permainannnya.

  Akan tetapi, ia adalah penerus keluarga di mana ia tidak boleh terlalu terpaku dengan biolanya. Seorang pelayan menemukan tuannya, menghampirinya, dan memberikan sweater hangat lalu mengantarnya kembali ke rumah.  Pemuda tersebut melupakan biolanya di taman karena sudah sangat menggigil.

  Sesampainya di dalam rumah, pelayannya memberi teh hangat serta biskuit untuknya. Tanpa malu, si pemuda mengakui rasa hampa dalam hatinya, rasa gelisah, rasa marah, dan dilema lainnya ke sang pelayan. Ia ingin tetap bermain biola layaknya orang orang yang tampil di teater, tapi dia adalah anak pertama yang mengharuskannya belajar ilmu politik dan hukum di mana ia sangat membenci ilmu tersebut.

  Pemuda itu saja tidak bisa membantah permintaan ayahnya, apalagi pelayannya yang sama sekali tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan majikannya. Akan tetapi, ia berjanji untuk merahasiakan kejadian malam ini kepada kedua orang tua pemuda itu dan akan membantunya untuk memainkan biola secara diam-diam asalkan tuan mudanya tidak melakukannya di tengah badai.

  Hari berlalu, sang pemuda sudah jarang terlihat memegang biolanya lagi. Pelayannya yang tua tadi tau kalau orang tuanya sudah mulai mengetahui gerak gerik tuan mudanya. Di saat ia mengkhawatirkan tuan mudanya, ia memanggil oleh beberapa pelayan lainnya untuk menghadap ke kepala keluarga.

Sang pemuda yang sangat stress mempelajari banyak buku dengan ilmu yang ia tidak senangi itu akhirnya mencapai batas kesabarannya. Ia bertekad untuk memainkan biola itu sekali lagi. Jadi ia menunggu tengah malam tiba, di saat semua orang sedang tertidur. Malam ini udaranya lebih kencang dibandingkan malam sebelumnya, ia kemudian menuju gudang dengan terburu-buru. Di gudang tersebut ia tidak menemukan biolanya sama sekali sehingga ia bingung, dia merasa kalau sang pelayan tua itu mengetahui keberadaan biolanya.

Dia kemudian pergi ke lorong di mana para pelayan tertidur, ia mengetuk pintunya dengan perlahan dan sang pelayan menjawab. Ia bertanya letak biolanya dengan sangat panik, matanya terbuka sangat lebar, dan uratnya mulai terlihat. Sang pelayan menenangkan pemuda tersebut, ia kemudian memberikan respon menyedihkan, biola kesayangannya sudah dibuang sejauh mungkin.
Si pemuda merasa sangat hampa, ia berjalan kembali ke ruang tidurnya.

Musim berganti, si pemuda masih saja merasa hampa, dia kemudian menunggu hari libur untuk membeli sebuah biola diam-diam.
Hari itu tiba, ia sekarang berada dalam sebuah toko alat musik, ia mencoba memainkan salah satu biola. Sentuhannya tidak hilang, penampilannya masih sama menakjubkannya dengan saat ia bermain pada malam badai salju tersebut, semua orang takjub, pelayan tuanya terharu hingga matanya berkaca-kaca, beberapa pengunjung lainnya mulai mengambil foto dan video.

Saat sampai di rumah, ia sudah ditunggu oleh ayahnya. Si pemuda keluar dari mobil dan ayahnya menamparnya dengan sangat keras, sang pemuda itu bingung dan takut. Ayahnya menunjukkan smartphone-nya. Ia tidak tau keberadaan sesuatu seperti internet itu ada, ia membacanya dan ia makin bingung karena semua respon orang-orang sangat positif. Ia kemudian memberanikan diri untuk mengakui kegemarannya.

Ayahnya sudah tau, anak ini menggemari biola sejak kecil namun ia tidak bisa menerimanya, ia adalah lelaki penerus keluarga besar yang terhormat, ia adalah satu-satunya anak yang mereka punya, ia merasa anak lelaki memainkan sebuah biola itu adalah aib bagi keluarga terpandang.

Ayahnya kemudian menjelaskan semuanya dengan nada tinggi, ia terlihat sangat menakutkan. Ibunya datang dan mulai menenangkan suaminya, ibunya juga mengungkapkan rasa kecewanya.
Mendengar itu semua si pemuda tersebut sangat hancur, ia sangat ingin orang tuanya mengakui kehebatannya namun bahkan dengan semua komentar positif dari banyak orang, orang tuanya masih saja menginginkan anaknya untuk menjadi seseorang yang ia sendiri tidak inginkan.

Ayah dan ibunya kemudian meninggalkan ia, menangis di depan pagar rumah. Pelayan yang mengantarnya kemudian mengobati pipinya yang memar. Saat sedang diobati, ia tersadar bahwa orang tuanya perlu mendengar sendiri nada yang ia ciptakan dari biolanya. Ia kemudian mengambil biolanya dan mengeluarkannya dari mobil, berlari menghampiri kedua orang tuanya di taman.

Ayahnya terlihat sangat kesal dan ingin menamparnya lagi namun sang ibu menahannya, pemuda itu kemudian menenangkan hatinya, membayangkan bahwa ia bermain di sebuah teater besar dan mulai menggesek biolanya.

Ayah dan ibunya terdiam, penampilan anak mereka sangat indah, para pelayan berdatangan dan diam terpaku melihat penampilan tuan muda mereka.
Setelah selesai bermain, ayahnya meninggalkan anaknya tanpa sepatah kata pun, ibunya memegang pundak anaknya tersebut dan tersenyum anggun, ia berkata semua pasti akan baik-baik saja. Ibunya kemudian meninggalkan anaknya di tengah para pelayan yang sedang bertepuk tangan.

Keesokan harinya, si pemuda tersebut terbangun dengan melihat biola disamping kasurnya. Ia kemudian menuju taman untuk memainkannya beberapa menit, para pelayan berkumpul lagi untuk menyaksikan hal tersebut. Selesai bermain, ibunya datang menghampiri nya, ia mengijinkan anaknya untuk tetap bermain biola dengan syarat ia tetap mempelajari ilmu politik dan hukum mengingat posisinya sebagai anak tunggal keluarga. Si pemuda tersebut senang, baginya itu sudah cukup. Ia memeluk ibunya, namun ibunya melanjutkan perkataannya.


Ibunya mengatakan bahwa ia tidak boleh bermain biola tersebut di depan ayahnya, tapi dia bebas memainkannya minggu ini karena ayahnya sedang dalam perjalanan ke luar kota.


Dia sudah berhasil meyakinkan orang tuanya untuk tetap bermain biola namun ia masih merasa hampa...
Apakah yang sebenarnya ia butuhkan adalah pengakuan dari ayahnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top