Hujan dan secangkir percakapan [Lisa]
Tema: Hujan
Semilir angin menyapaku, mulai dari menyapu hingga menjelajah dalam tubuhku. Aku tak merasa terganggu oleh itu karena pada dasarnya aku memang menyukai sensasi yang ditimbulkan.
Kulihat awan menghitam, seolah sedang muram. Aku yakin, sang awan akan segera menumpahkan tangisnya. Kalau sudah begitu, aku akan dibuat terpaku.
Dan benar saja, hujan datang menyapa tanah, menjatuhkan dirinya tanpa ada ragu yang mencegah.
Hujan memaksaku beranjak dari duduk santai-ku. Kurasa, hujan memang selalu begitu, selalu senang menggangguku, padahal aku tak senang diganggu olehnya.
Kubawa serta sepiring roti bakar dan segelas susu kocok rasa cokelat untuk masuk ke dalam kafe. Di dalam kafe ini cukup ramai, lebih ramai dari bagian luar. Sebenarnya aku tidak suka kafe yang ramai, tapi apa boleh buat? Kafe bagian luar beratapkan langit.
Kutengok jam di tangan kiriku, terlihat jarum pendek menunjuk angka empat, sedangkan jarum panjang menunjuk angka satu. Itu artinya, sudah satu jam lebih aku berada di sini, di kafe kecil dekat sekolah.
Sebenarnya aku sudah ingin pulang, tapi sang hujan tak mengizinkan. Ia malah datang, padahal tak diundang.
Seraya meneguk susu kocok, aku memandangi kaca jendela yang memperlihatkan bagian depan sekolah.
Aku melihat seseorang berlari dari gerbang sekolah menuju kafe ini. Mungkin ia ingin berteduh. Badannya hampir basah kuyup kalau ia tak berlari kencang. Tunggu, mengapa ia masih ada di sekolah? Ah, mungkin ia habis latihan basket.
Orang itu mengedarkan pandangannya saat masuk ke dalam kafe. Pandangannya terpaku kala melihat diriku. Mungkin hanya aku yang ia kenali di sini. Ia segera mematri langkah menghampiriku, dan dengan tidak sopannya langsung duduk di sampingku.
"Hai, lo Sasa anak IPA 1 'kan?"
Aku mengangguk seraya tersenyum sebagai balasan.
Beberapa detik kemudian ia berkata, "Kenalin, gue Rayn. Anak kelas IPS 3."
Tanpa diberi tahu pun aku sudah tahu. Memangnya siapa yang tidak kenal Rayn? Ketua basket sekaligus Most Wanted Boy di angkatanku.
Aku menjawab, "Gue tau."
"Oh, udah tau ya? Gue kira lo nggak tau gue, soalnya setiap ketemu gue, lo nggak pernah nyapa." Rayn berkata seraya menyomot satu roti bakarku yang tinggal dua. Sungguh tidak sopan, bukan? Tapi tak apalah, mungkin dia lapar.
Aku tersenyum kikuk. "Gue malu, nanti dikira SKSD." Huft, aku cuma tahu, bukan kenal. Apa aku diwajibkan untuk menyapanya?
"Yaudah deh, kita kenal dan deket beneran aja, biar nggak dikira SKSD."
Apa sih maksudnya? Sungguh menyebalkan!
Aku tersenyum kikuk lagi, lalu menjawab, "I-iya."
"Oh iya, lo kenapa belum pulang, Sa? Sengaja mau nongkrong dulu? Atau lagi janjian sama orang?" tanyanya beruntun.
"Gue lagi males pulang sebenernya, jadi mau nongkrong di sini sebentar. Tapi pas gue mau pulang malah hujan. Nyebelin banget nggak sih hujannya?" Tanpa sadar, aku melakukan hal yang tak pernah kulakukan selain pada Yumna dan Zahra, yaitu menyerocos panjang lebar.
Rayn terkekeh. "Lo nggak boleh gitu, Sa. Lo sering nonton Upin dan Ipin nggak?"
Aku mengerutkan kening. Tak paham. Memangnya ada apa dengan Upin dan Ipin?
Walau tak paham ke mana arah pembicaraan ini, aku tetap mengangguk. "Sering kok. Gue masih sering nonton kartun walau udah SMA gini," ujarku.
"Kalo lo sering nonton, harusnya lo tau kata-kata Opah."
Aku semakin tak mengerti. Kata-kata yang mana memang? Lagipula kata-kata Opah tidak bisa dihitung dengan jari, bagaimana bisa aku menghafalnya?
Rayn yang menyadari raut bingungku langsung menjawab, "Hujan tu 'kan rahmat." Rayn menirukan nada bicara tokoh Opah di kartun Upin dan Ipin.
Aku terkekeh. Lucu sekali Rayn ini.
"Ah iya, gue inget," balasku.
"Emang lo nggak suka hujan, Sa?" tanya Rayn setelah menyesap expresso yang sudah ia pesan.
Aku diam sebentar, lalu bersuara kembali. "Ya gitu deh, hujan sering banget ganggu gue, sering bikin aktivitas gue terhambat."
"Itu karena lo nggak suka, coba kalo lo suka, pasti lo nggak akan ngerasa terganggu. Kayak gue, gue suka hujan, setiap kali hujan datang, gue akan ngerasa senang, bukan terganggu," jelas Rayn. Lagi-lagi aku tersenyum untuk menanggapi.
"Dan... lo tau nggak kenapa nama gue Rayn?" lanjutnya.
Aku menggeleng. "Emang kenapa?"
"Karena pas ibu gue hamil, ibu gue suka banget sama hujan, padahal sebelumnya biasa-biasa aja. Saking sukanya, dulu gue mau dinamain Rain. Tapi gue cowo, makanya nggak jadi. Terus kakak gue nyaranin nama Rayn karena mirip sama Rain walau artinya beda, terus ibu gue setuju," jelas Rayn lagi.
Aku ber-oh ria. Unik sekali ternyata.
"Oh iya, lo kenapa bisa sesuka itu sama hujan?" Kali ini aku yang bertanya.
"Nggak tau sih, gue suka aja. Mulai dari rintik-rintiknya, bau tanah yang kena hujan, sampe suasananya pun gue suka. Dan satu lagi, hujan selalu bawa hal yang nggak terduga di hidup gue, salah satunya lo, Sa." Rayn menjelaskan tanpa beban, seolah aku ini adalah teman dekatnya.
Sebentar, bukannya kita memang sedang pendekatan? Emm... maksudnya pendekatan untuk menjadi teman (?).
Lagi-lagi aku mengangguk pelan. Kali ini tiga kali, walau aku tak terlalu paham kalimat 'salah satunya lo, Sa.' Apa maksudnya? Sepertinya Rayn senang sekali membuatku bingung.
Aku mengalihkan pandanganku ke jam tangan lagi. Jarum pendek sudah berada di tengah-tengah angka lima dan enam, sedangkan jarum panjang berada tepat di angka enam.
Ini sudah hampir gelap, tapi hujan tak kunjung pergi, ia masih enggan meninggalkan tanah di sini. Kalau begini caranya, aku bisa habis dimarahi ibu. Tapi 'kan saat ini sedang hujan, ibu pasti tidak akan marah, kan?
Entah Rayn yang terlalu peka atau memang raut wajahku saja yang terlalu kentara. Rayn kembali bersuara.
"Santai kali, Sa. Hujannya makin deres tuh," kata Rayn.
"Tapi gue takut dimarahin ibu gue, hehe."
"Eh iya, gue kan bisa naik ojol. Yaudah, gue mau pesen dulu deh," lanjutku seraya menghidupkan ponsel.
"Hujan deres gini mana ada yang narik? Palingan driver-nya lagi neduh juga kayak kita." Benar juga kalau dipikir-pikir. Apa aku naik taksi online saja? Ah sial, aku baru ingat kalau uangku tinggal sepuluh ribu.
"Gimana kalo kita pulang hujan-hujanan? Gue anter sampe depan rumah deh," lanjut Rayn.
Aku ragu. Pulang dengan hujan-hujanan? Sungguh tidak bisa dibayangkan.
"Jalan?" Pertanyaan bodoh keluar dari mulutku.
Rayn mengangguk. "Gue nggak bawa motor, tadi pagi gue bareng temen, sekarang dia udah pulang."
"Gu-gue takut sakit. Daya tahan tubuh gue lemah," tuturku sedikit ragu.
"Ah, ayolah, Sa. Sekali-kali. Nanti kalo lo sakit, gue jenguk terus bawain oleh-oleh, mau 'kan? Yakali lo nggak mau dijenguk cowok seganteng gue," cerocos Rayn dengan percaya diri.
"Idih, pede banget ya lo," cibirku.
"Hehe, harus, Sa. Jadi gimana? Mau pulang nggak?"
Aku berpikir sejenak. Tak yakin. Belum sempat aku menjawab, Rayn sudah lebih dulu menggenggam tanganku lalu menyeret untuk keluar kafe. Aku tak berontak. Aku pasrah.
Untung tas di punggungku ini anti air, kalau tidak, aku akan menghajar Rayn saat ini juga.
Rayn belum mengendurkan genggamannya, ia malah mengajakku menari-nari. Ia tak peduli pada diriku yang sudah basah kuyup bak anak kucing tercemplung parit.
"Gimana, Sa? Seru nggak?" tanya Rayn. Aku mengangguk malas.
Kami masih menyusuri jalanan sepi ini. Tak ada kendaraan roda dua, hanya ada beberapa kendaraan roda empat yang dapat dihitung dengan jari.
Rayn melepas genggamannya pada tanganku. Ia berputar-putar seraya merentangkan tangan dengan kepala yang mendongak ke atas, membiarkan air hujan menyerang wajah tampannya.
"Ayo dong, Sa! Seru tau!" ujar Rayn setengah berteriak.
Melihat aku diam saja, Rayn segera menggeretku lagi. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di tengah jalan, lalu menarik-narik tanganku agar aku ikut merebah.
Akhirnya aku pun merebahkan tubuhku di samping Rayn, membiarkan tubuhku ikut diserang tanpa ampun oleh hujan. Aku menengok ke arah Rayn, ia memejamkan mata. Aku pun jadi ikut-ikutan. Ternyata begini rasanya, damai, aku suka.
Mulai saat ini, aku menyukai hujan. Ah, bukan hanya hujan, tapi juga orang di sampingku ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top