Good Prison [Lisa]

Premis : Seorang anak yang dipaksa orang tuanya untuk mengejar sesuatu yang bukan mimpinya.
Challenge : tanpa dialog.

------------------------------------------

Aku membuka mata perlahan, lalu menoleh ke arah jendela. Mataku terpaksa menyipit kala sinar terang sang mentari menyapaku. Seingatku tirai jendela sudah tertutup, tapi mengapa kini malah terbuka? Sepertinya ... ah iya, pasti Nina, Santi, atau Aisyah yang membukanya. Aku hampir lupa kalau aku memiliki teman satu kamar. Aku menertawakan diriku yang kadang lupa dengan hal kecil yang seharusnya belum dilupakan.

Aku bangkit dari kasur, kemudian menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, tetapi untuk membuang air dan mencuci muka. Kurasa aku tak perlu mandi lagi karena waktu subuh tadi sudah mandi. Setelah membuang air dan cuci muka, aku segera mengenakan seragam sekolah.

Perlu kujelaskan bahwa keseharianku di rumah dan di sini sangat jauh berbeda. Di rumah, teman dekatku adalah ponsel, tetapi di sini adalah kitab suci. Di rumah, ibadahku setiap ingat, tetapi di sini setiap saat. Aku bukan tidak mau mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, tetapi aku tak terlalu suka jika dipaksa.

Terhitung sudah dua bulan aku di sini, melakukan kegiatan yang membosankan. Semua ini memang tak kuinginkan, tetapi harus kulakukan. Aku tidak mempunyai pilihan.

Aku harus mengejar impian yang sama sekali tak kuimpikan. Jika saja bukan karena permintaan terakhir mama sebelum beliau meninggalkanku dan seisi dunia, aku takkan melakukan ini semua. Aku takkan ada di tempat ini, tempat bernama pesantren yang bagiku seperti penjara ini.

Bagaimana tidak seperti penjara? Aku seperti dikurung, aku harus melakukan hal yang diperintahkan, dan aku tidak bisa bebas melakukan sesuatu sesuai keinginan.

Saat ini aku sedang berada di tengah-tengah santriwati yang sedang berbaris. Jangan salah sangka, kami berbaris bukan karena sedang upacara, tetapi kami berbaris karena sedang mengantre untuk mengambil jatah sarapan. Sebelum masuk kelas, kami sarapan bersama terlebih dahulu.

Setelah menerima sebuah piring yang berisi nasi goreng, aku segera menuju meja makan panjang yang sudah banyak diisi oleh para santriwati. Aku memilih duduk di samping Nina tentunya. Untung saja belum ada yang menempati. Ah, sepertinya memang tidak akan ada yang menempati, karena Nina sengaja menaruh piringnya di bangku yang kosong itu, supaya tidak ada orang lain selain aku yang menempati. Nina memang baik, karena itulah aku dekat dengannya, selain karena faktor perbincangan kita yang cocok dan kita merupakan teman satu kamar.

Sesi sarapan ini berlangsung sunyi, tidak ada percakapan yang membumbui, hanya ada denting sendok yang mendominasi. Membosankan. Sangat berbeda dengan meja makan di rumahku dulu yang diisi dengan canda tawa mama, papa, dan aku. Aku merindukan meja makan rumah, aku merindukan saat-saat itu. Aku merindukan mama dan papa.

Lamunanku buyar ketika suara bel terdengar. Itu tandanya sepuluh menit lagi kegiatan belajar mengajar akan dimulai. Aku segera menghabiskan nasi goreng yang tinggal beberapa suap itu. Setelah habis, aku dan yang lainnya menaruh piring kotor di tempat yang sudah ditentukan, kemudian aku segera berjalan menuju kelas. Kali ini tidak dengan Nina, karena kita berbeda kelas.

Kelasku ini membosankan. Tak ada seorang pun yang menjadi teman dekatku. Bukannya mereka berniat mengucilkanku, tetapi memang aku saja yang tidak ingin dekat-dekat dengan mereka. Entah mengapa, aku pun tak tahu. Aku merasa tidak cocok saja. Oleh karena itulah aku malas masuk kelas. Aku kerap berbohong dengan mengatakan bahwa aku sakit supaya aku bisa membolos. Aku tahu itu hal buruk, tetapi hal itu tidak lebih buruk daripada berkutat dengan pelajaran yang sulit dan membosankan bagiku.

***

Aku berjalan keluar masjid bersama Nina. Kami baru saja melaksanakan ibadah shalat isya dan tadarus. Kegiatan itu merupakan rutinitas kami di sini. Sebenarnya aku belum terbiasa dan terkadang merasa malas juga. Tapi apa boleh buat? Kalau aku bermalas-malasan, bagaimana aku bisa menjadi ustazah seperti permintaan terakhir mama?

Nina memutar gagang pintu disertai dengan ucapan salam, kemudian kami pun memasuki kamar. Terdengar jawaban salam dari dalam kamar. Yang menjawab itu adalah Santi dan Aisyah yang sedang duduk di ranjang bawah mereka. Yap, Ranjang di sini adalah ranjang tingkat. Di kamar ini ada dua buah ranjang tingkat, yang di dekat jendela milik aku dan Nina, sedangkan yang di dekat pintu adalah milik Santi dan Aisyah. Sebenarnya aku dan dua gadis sekamarku itu jarang berbicara. Mereka sepertinya tidak suka dengan sikapku yang kurang baik saat awal-awal masuk, dan sikapku yang terkesan acuh tak acuh. Tapi aku tak mempermasalahkan itu, toh mereka tidak penting bagiku, jadi tak apa kita tidak dekat dan jarang berbicara.

Setelah melepas mukena, aku merebahkan tubuh di kasur, Nina pun sudah merebahkan tubuhnya juga. Kasurku berada di bawah, sedangkan Nina berada di atas.

Aku memejamkan mata, karena sedari tadi aku memang sudah mengantuk. Sebenarnya tidak mengantuk pun, aku harus tidur di jam sekitar ini karena besok harus bangun pagi-pagi untuk beribadah. Memang tidak ada yang melarang jika aku ingin begadang, bahkan tidak tidur pun tak apa. Tetapi santri di sini diharuskan untuk bangun tepat waktu. Sudah aku bilang bahwa di sini itu tidak bebas. Keseharian kita harus teratur dan tidak bisa seenaknya. Huh! Lagi-lagi aku merindukan kebebasan, lagi-lagi aku merindukan rumah.

Nina memanggilku dengan setengah berbisik, aku pun membuka mata lalu menatap Nina. Ternyata Nina sudah ada di sampingku. Aku bahkan tidak tahu kalau Nina turun dari ranjangnya. Aku bertanya pada Nina mengapa ia memanggilku, dan Nina pun menjawab kalau ia hanya ingin mengingatkanku bahwa besok pagi ada penyetoran hafalan di kelasku. Aku pun terlonjak mendengarnya. Bagaimana aku bisa lupa? Sial! Untung saja Nina mengingatkan.

Aku segera mengambil Al-Qur'an milikku, lalu membaca surah yang akan disetor besok. Aku merutuki diriku yang belum hafal dan lupa untuk menghafalkan. Karena kelalaianku, aku akan tidur larut malam kali ini.

Nina bilang ia mau menemaniku sampai aku selesai, tetapi aku tidak memperbolehkan. Aku menyuruh Nina tidur duluan saja, aku tidak mau kalau besok Nina mengantuk. Akhirnya Nina pun menurut, ia kembali ke ranjangnya.

Di sela-sela kegiatanku ini, telingaku menangkap suara ketukan pintu. Aku pun menghentikan bacaanku. Ketukan itu kembali terdengar, kali ini disertai dengan ucapan salam. Aku tahu itu suara siapa. Aku pun segera bangkit dari dudukku dan membukakan pintu.

Ternyata benar dugaanku, yang mengetuk pintu itu adalah ustazah Aliya. Aku pun bertanya padanya, ada perihal apa ia mendatangi kamarku. Lalu ia pun menjawab bahwa ia hanya ingin mengantarkan sebuah surat yang sudah sejak pagi tadi lupa ia berikan padaku. Ustazah Aliya bilang, itu surat dari papaku. Aku terkejut sekaligus senang. Aku sangat rindu pada papa, mungkin dengan adanya surat ini, kerinduanku pada papa akan sedikit terobati. Aku mengembangkan senyum, lalu mengucapkan terima kasih kepada ustazah Aliya. Beliau pun membalas dengan senyuman, kemudian bergegas pergi.

Dengan senyum yang masih mengembang, aku kembali duduk di kasurku, kemudian membuka surat dari papa. Aku membacanya perlahan.

Setelah selesai membacanya, aku termenung. Tak lama, setetes air mata terjatuh di pipiku. Pikiranku menjadi terbuka. Hal yang kuanggap buruk ternyata tak berarti buruk. Sekarang aku tahu mengapa mama memintaku melakukan ini semua. Ternyata ini semua untuk kebaikanku. Mama ingin aku memperdalam ilmu agama untuk bekal di akhirat kelak. Mama ingin aku mendapatkan kebahagiaan yang abadi, bukan kebahagiaan duniawi yang tak pernah bertahan lama dan pasti akan sirna. Sekarang aku mengerti. Terima kasih mama.

— END —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top