Cerita Hari Itu [Shifa]

Tema : Hujan

Hujan di tanggal 12 Juni 2022. Tanggal yang sama saat ia pergi meninggalkanku selamanya, sehari sebelum hari ulang tahunnya.

.
.

Satu tahun yang lalu

Pagi cerah menyambut hariku yang sedikit suram? Tidak juga, hariku tidak sesuram itu hanya karena sebuah kenyataan bahwa orang yang kusayang menyayangi orang lain.

"Aldo! Ayo makan dulu!" teriak bundaku dari bawah sana.

"Wah, makan saya ayam ya, Bun," ucapku dengan nada girang.

"Iya, kamu suka 'kan?" Aku mengangguk antusias sebagai jawaban. Aku langsung menarik kursi di sebelah bundaku dan mulai menikmati makanan itu.

"Oh iya, Friska gimana, Do?" tanya bundaku yang sontak membuat aku sulit sekali menelan makanan saat itu juga.

"Eh, oh nggak apa-apa kok. Friska baik-baik aja kok, bun," ucapku dengan sedikit dibumbui kebohongan walaupun tidak sepenuhnya ucapanku berbohong karena keadaan Friska memang baik-baik saja. Karena, yang tidak baik-baik saja adalah hubungan kita berdua.

"Syukurlah kalau kaya gitu. Bunda minta tolong kasih ini buat Friska, ya. Dia suka banget kan rendang buatan bunda?" ucap bundaku masih dengan senyum lengkapnya.

"I-iya, bun. Nanti aku kasih ke Friska," balasku dengan senyum yang sedikit aku paksakan.

"Oh iya. Ajak Friska ke sini lagi, ya? Bunda kangen dia, udah ada satu bulan lebih dia nggak ke sini, loh," jelas bundaku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan bundaku.

"Kalau gitu Aldo pamit berangkat dulu ya, bun," pamitku sembari mencium punggung tangan ibuku.

Aku pun keluar dari rumahku dan pergi ke garasi untuk mengambil sepeda motorku. Aku mulai menyalakan sepeda motorku dan melaju menuju sekolahku.

15 menit kemudian, aku telah sampai di sekolahku. Aku pun langsung memarkirkan motorku dan melepas helm yang aku pakai.

Hal pertama yang aku lihat saat sampai di sana adalah... senyuman gadis itu yang kini bukan milikku lagi. Senyuman getir pun menghiasi wajahku, aku tahu mungkin aku tidak sadar diri karena aku selalu mencoba untuk mendekatkan diri dengan dirinya lagi yang notabennya bukan lagi milikku sejak satu bulan yang lalu.

Namun, karena amanah dari bundaku, aku terpaksa untuk sekali lagi berhubungan dengan dia, "Friska!"

Gadis yang barusan aku panggil pun langsung menoleh dan menatapku sedikit kikuk, "e-eh Aldo. Ada apa?" Balasnya.

"Ini ada rendang dari bunda. Gue harap lo terima ini, karena bunda khusus masak ini buat lo," jelasku.

Gadis itu masih menatap kotak makan pemberianku, aku tahu Friska pasti tengah bingung saat melihat sikapku, " Terima, ya. Seenggaknya lo masih anggap bunda gue walaupun lo sama sekali nggak pernah anggap gue," ucapku lagi.

"Al ... "

Tanpa menunggu ucapan Friska lagi, aku langsung memberikan kotak makan itu kepadanya, "Bunda tanyain lo terus, kalau lo ada waktu, lo bisa 'kan main ke rumah gue?" Aku berbalik menatap lelaki yang sedari tadi memperhatikanku dan Friska.

"Kalau lo takut dia nggak suka, lo bisa pergi sendiri aja. Gue nggak akan pulang dulu selagi lo masih di rumah gue," ucapku.

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi meninggalkan Friska dan laki-laki yang aku tahu bernama Marcel. Aku juga bukan laki-laki yang memiliki hati yang kuat saat melihat seseorang yang aku cintai lebih memilih berjalan bersama orang lain. Dan aku memilih pergi.

.

.

.

"Do! Besok basket nggak?" tanya Firman yang datang dari luar kelas. Aku masih sibuk dengan ponselku, rasanya malas sekali jika aku harus berlatih basket lagi. Sebenarnya bukan malas masalahnya, hanya aku saja yang terlalu lemah karena tidak bisa melupakan semua hal secepat itu. Hanya karena aku yang terlalu takut jika memori itu kembali.

"Nggak dulu, Fir. Males gue," balasku malas.

Firman pun duduk di bangku sebelahku, ia menepuk pelan pundakku, "gue masih bingung sama hubungan kalian. Atau cuma pandangan gue aja yang nganggep kalau Friska itu cewek nggak bener?" ucap Firman. Ucapan laki-laki itu memang benar, tapi entah mengapa aku tidak suka mendengarnya, aku tidak suka mendengar seseorang menjelek-jelekkan Friska.

"Maksud lo apa!"

"Apa? Gue salah? Harusnya lo mikir, Do! Lo pikir deh, Friska itu masih pacar sah lo! Tapi dia deket sama Marcel! Gue nggak tahu lo yang bego atau apa, tapi lo sahabat gue, Do! Apa dengan lo kaya gini, Friska balik ke lo lagi?" ucap Firman dengan nada yang lebih tinggi. Aku tahu laki-laki itu pasti sudah muak dengan hubunganku dan Friska.

Bukan hanya Firman, aku pun merasakan itu. Aku lelah namun tidak bisa berhenti. Aku bahkan belum bisa melepaskan Friska yang sudah jelas tidak lagi menganggapku? Entahlah, sampai saat ini perasaanku masih abu-abu tentang semuanya, dan aku juga yakin jika Friska tidak benar-benar meninggalkannya.

.

.

.

Hari terus berganti, waktu pun terus berjalan. Dan aku masih sama, masih mengharapkan orang yang sama walaupun semuanya sudah terlihat membaik. Bundaku sudah mengetahui semuanya, ia bahkan menyerahkan semuanya kepadaku.

Aku menghembuskan nafasku pelan, kulalui lorong sekolah yang sepi itu, karena memang sekarang ini pasti semua siswa tengah masuk ke kelas mereka masing-masing.

Aku menghentikan langkahku saat aku mendengar tangisan seorang gadis dari arah gudang. Aku berfikir jika itu adalah pembullyan sehingga aku pun berniat menghampirinya.

Aku melihat gadis itu dari celah-celah pintu yang terbuka, dan betapa terkejutnya aku saat melihat siapa gadis itu, ia orang yang ku sayang sampai saat ini, Friska.

Aku mampu mendengar suaranya, jelas sekali. Suara yang sarat akan kesedihan itu, suara yang terdengar sangat putus asa.

"Maafin aku A-al, maafin aku udah buat kamu menderita selama ini."

"Andai yang aku pandang saat ini bener-bener kamu, aku kayaknya nggak akan bisa ngomong maaf lagi. Aku jahat banget, ya?" ucap gadis itu.

Aku terkejut bukan main saat melihat cairan merah keluar dari hidung Friska, namun gadis itu sama sekali tidak peduli dan seakan sudah terbiasa, bahkan darah itu menetes mengenai fotoku yang sedari tadi Friska pegang.

Aku tidak tuli, aku mendengar semuanya. Mendengar saat ia mengucapkan kata maaf kepada selembar fotoku. Perlahan aku mendekatinya, aku langsung memeluk gadis itu yang membuat tangisan gadis itu benar-benar tumpah.

"M-maafin a-aku Al," lirihnya di bahuku.

Bohong jika aku tidak menangis, aku tidak pernah mendengar ucapan yang sarat akan keputus asaan dari bibir gadis itu.

"Aku sayang kamu, Al. Aku cinta kamu, aku...," Aku langsung menangkup wajah cantik itu, dan mengambil sebuah sapu tangan dari saku celanaku untuk membersihkan darah yang sedari tadi keluar dari hidung gadis itu.

Dan saat itu juga, ia kembali menangis. Aku tidak bodoh untuk memahami keadaanya, "Kamu sakit apa?"

Gadis itu masih menunduk, tangannya saling bertaut yang menandakan bahwa ia tengah cemas, "Jawab aku, Fris."

"K-kanker darah stadium 4," lirihnya. Mataku membola saat mendengar itu, aku juga baru tersadar saat melihat wajahnya yang sangat pucat.

"Ayo! Kamu harus ke rumah sakit!"

"Nggak usah, Al," lirihnya sembari menahan tanganku. Aku menatap marah gadis itu, tanpa aba-aba aku langsung menggendong gadis itu menuju sepeda motorku.

"Nggak usah, Al. Aku sehat."

Aku menulikan pendengaranku, yang aku fikirkan hanyalah membawa gadis itu ke rumah sakit saat ini juga, entah kenapa Friska bisa sebodoh ini. Aku tidak peduli jika aku dipanggil ke sekolah karena membolos.

"Aku sayang kamu, Al. Bahagia selalu, ya," lirihnya,

"Pegangan, ya. Aku mau ngebut."

"Besok ulang tahun aku, aku mau kamu dateng sama semua temen-temen kita."

"Aku mau pake dresscode hitam, kayaknya bagus." Aku menangis dalam diam, pandanganku mengabur saat mendengar ucapan gadis itu.

"Aku mau tidur dulu, ya. Nanti bangunin kalau udah sampe." Aku membawa tangan gadis itu untuk memelukku.

"Selamat tidur," ucapku saat aku merasa pelukan gadis itu melonggar. Tepat saat itu juga aku sampai di rumah sakit. Aku menggoyangkan perlahan tubuhnya, "hey, ayo bangun. Udah sampe, loh," ucapku dengan suara bergetar.

Aku memaksakan senyumanku, kecupan lembut aku berikan di kening gadis itu, "Makasih buat semuanya. Hujan turun saat kamu pergi, langit tahu sinarnya udah redup."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top