A Perfect Moment [Shifa]

Premis : Seorang anak yang dipaksa orang tuanya untuk mengejar sesuatu yang bukan mimpinya.
Challenge : tanpa dialog.

--------------------------------------------------------------------------------

  Pagi itu, seperti biasa aku terbangun di pagi hari dan melakukan aktivitas pada umumnya. Suara kicau burung mampu menjadi penghangat pagiku. Aku mulai bangun dari tempat tidurku dan berjalan ke arah kamar mandi untuk bersiap ke sekolah.

  Tidak sampai 15 menit, aku telah rapi dengan seragam sekolahku. Aku tersenyum di depan cermin memandang tubuhku. Tak lama kemudian, senyum itu memudar saat aku melihat lebam yang ada di kaki kiriku. Aku pun berbalik menuju lemariku untuk mencari kaos kaki yang lebih tinggi supaya luka itu tidak terlihat.

  Selesai memakai kaos kaki, aku pun memutuskan untuk turun karena sedari tadi suara bundaku sudah terdengar bagai sirine ambulans, mengerikan.

  Saat berada di depan meja makan, tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang begitu saja. Mataku tidak pernah beralih dari sebuah brosur yang berada di atas meja makan, sudah bisa kupastikan jika itu adalah brosur untuk les private lagi. Entah sudah les yang keberapa, aku sendiri bahkan lupa.

  Bundaku sendiri tersenyum sembari mengambilkan makanan untukku. Perkataan-perkataan manis selalu terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Aku yang mendengarnya pun hanya bisa menganggukkan kepalaku. Aku sama sekali tidak memiliki hak untuk mengutarakan pendapatku lagi.

  Ya, seperti biasa. Acara sarapan pagiku selesai begitu saja. Bahkan aku merasakan kenyang sebelum nasi itu tercerna di dalam perutku. Aku langsung saja berpamitan kepada bundaku dan berjalan keluar di mana sudah ada ayahku yang senantiasa mengantar jemputku. Kadang aku berpikir, apakah aku ini hanya seorang tahanan di sini? Sampai rasanya untuk sekedar berbicara saja tidak bisa.

  Sekolah, hanya di sanalah aku bisa dengan bebas menyuarakan pendapatku tanpa harus takut terkena omelan atau ancaman.

   Dua puluh menit kemudian, aku pun sudah sampai di sekolahku. Seperti biasa, ayahku akan mengatakan kalimat yang membuatku muak bukan semangat. Kata-kata ancaman jika nilaiku turun sudah tidak asing lagi di telingaku. Yang kuinginkan hanyalah sebuah kata-kata yang mendorongku untuk lebih semangat menuntut ilmu di sekolah, bukan membuatku tertekan di sekolah.

  Tidak ada senyuman atau pelukan hangat dari ayahku, hanya ada pandangan datar yang penuh ancaman yang selalu ia berikan.

  Aku pun bergegas melangkah keluar dari mobil ayahku dan berjalan masuk ke dalam sekolahku. Aku menghembuskan nafasku lega saat mobil ayahku mulai menghilang dari area parkiran sekolahku.


Aku melanjutkan langkahku menuju kelas. Saat sampai di depan perpustakaan, tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundakku. Aku menoleh dan menemukan laki-laki dengan senyum pepsodentnya. Aku kemudian memutar bola mataku malas, ia Dimas. Dia adalah sahabatku sejak kecil sekaligus tetanggaku.

  Sepertinya, laki-laki ini tidak akan tenang jika tidak menggangguku sehari saja. Namun, aku merasa beruntung karena kehadirannya sedikit bisa membantuku menjadi lebih baik saat aku benar-benar muak berada di rumah. Dimas selalu bisa membuatku menikmati semua pelajaran yang sedang kupelajari.

  Aku hanya memberikan senyum tipisku kepada Dimas kemudian melanjutkan perjalananku menuju kelas, tentu saja dengan laki-laki itu yang masih setia mengekoriku. Langkahku kembali terhenti saat aku melewati mading sekolah, beberapa nama siswa-siswi yang berprestasi setiap minggunya pasti akan berada di sana. Aku memandang datar mading itu, namaku memang tercantum di sana, namun namaku tercantum di beberapa ajang akademik seperti olimpiade. Bukan aku tidak bersyukur, aku hanya merasa prestasi itu tidak berharga bagiku karena yang aku inginkan adalah meraih prestasi di bidang musik seperti Viola yang wajahnya selalu terpampang indah di mading dengan sebuah biola miliknya.

  Dimas yang sepertinya melihat raut wajahku berubah pun langsung saja menepuk pundakku, seakan berkata jika semuanya akan baik-baik saja, ada dirinya yang akan selalu menemaniku.

.

  Bel pelajaran pertama pun telah berbunyi, aku mulai mengeluarkan bukuku dari dalam tas dan menyusunnya di atas meja. Amel, gadis yang duduk di sebelahku hanya menggeleng tidak percaya. Bahkan tidak sedikit dari teman-temnku yang berbisik dan mengatakan jika aku adalah anak yang gila buku.

  Aku bukanlah anak yang gila buku, kutu buku, ambis, atau apa pun itu namanya. Aku hanyalah seorang anak yang tidak bisa membantah semua perkataan orang tuaku yang entah mengapa selalu mengatakan apa yang mereka lakukan adalah hal yang terbaik untukku. Entahlah, aku tidak tahu yang sekarang aku lakukan ini terbaik untuk siapa.

  Detik demi detik berlalu, kini jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, waktunya aku pulang ke rumah. Bukan, mungkin lebih baik disebut sangkar?

  Baru saja aku selesai mengemasi barangku, Dimas langsung menarikku keluar dari kelas, ia mengatakan kepadaku jika hari ini ia memastikan jika aku tidak akan melihat buku yang akan membuat aku muak.

  Ya, mungkin untuk sehari ini tidak apa bukan? Aku juga tidak akan bodoh hanya karena sehari tidak belajar. Aku pun tersenyum kemudian mengiyakan ajakan Dimas, namun terlebih dahulu aku menghubungi ayahku supaya tidak dating menjemputku. Biarlah laki-laki paruh baya itu marah, aku tidak peduli sama sekali.

.


  Aku langsung mengikuti Dimas ke parkiran sekolah untuk mengambil motor anak itu. Tidak menunggu lama, aku langsung naik ke atas motor Dimas saat motor itu telah sampai di gerbang depan. Laki-laki itu langsung menghidupkan motornya dan melaju meninggalkan area sekolah, entahlah dia akan membawaku kemana. Yang jelas, untuk hari ini saja aku ingin melakukan hal yang memang seharusnya aku lakukan tanpa paksaan dan tekanan dari siapa pun.

  Tiga puluh menit kemudian, aku telah sampai di sebuah tempat yang membuatku benar-benar kagum, studio musik. Dimas langsung saja menarik tanganku untuk masuk ke dalam studio. Mataku kembali berbinar saat melihat jejeran alat musik yang sepertinya masih baru. Pandanganku terfokus kepada sebuah piano hitam yang berada di pojok ruangan.

  Jika ditanya apakah aku bisa memainkannya? Jawabannya tentu saja bisa, karena diam-diam aku membeli buku yang berisi panduan belajar tekhnik dasar notasi balok, aku juga terkadang memakai piano di sekolah untuk mengetes kemampuanku.

  Aku terus saja mencoba semua alat musik yang ada di sana Bersama Dimas sampai matahari mulai tenggelam. Walaupun hanya sehari, aku sudah merasa sangat bahagia karena aku bisa merasakan hal yang memang keinginanku bukan keinginan orang tuaku. Aku juga sangat berterima kasih kepada sahabatku yang selalu bisa mengerti posisiku. Biarlah setelah ini aku tidak diizinkan pergi kemana-mana, biarlah setelah ini aku dijadikan seperti robot yang gila belajar. Karena sekalipun aku tidak bisa pergi kemana pun, Dimaslah yang akan menemaniku, menghampiriku, membantuku, mengajakku untuk belajar bersama.

  Ini kisahku, bukan aku yang menginginkan hidup seperti ini. Namun, Tuhan-lah yang mengatur semuanya. Apa pun yang mungkin aku rasakan selama ini, sebisa mungkin aku tetap berusaha bersyukur. Karena, di luar sana mungkin banyak anak yang ingin belajar seperti diriku. Ya, kadang orang tua memang menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun, mungkin saja banyak dari mereka yang salah dalam mengambil jalan kesuksesan anaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top