Kisah Cinta Mama
"Aku merindukan mu, aku harap kamu akan segera kembali."
***
Gadis berkucir dua berlari dengan riang. Sesampainya di teras, dia menyalami tangan ibunya. Lalu keduanya duduk bersama.
"Gimana sama MOS terakhirnya, sayang?" tanya Yaya— ibu dari gadis itu.
Wajahnya berubah menjadi cemberut, "ngeselin banget, Ma. Ngeselin, ngeselin, ngeselin, ih!!!" jawab Aya.
Yaya tertawa melihat tingkah putri semata wayangnya, tangan Yaya mengusap kepala Aya. "Kenapa sih, ada yang ganggu anak mama, hm?"
Aya mengangguk semangat, "bener banget, Ma. Masa tadi Aya disuruh gombalin temen sekelas Aya. Kan malu, dasar kakak kelas sinting."
Yaya tertawa. "Namanya juga MOS, Aya," ucap Yaya. Dia selalu ingin tertawa jika berada di dekat putrinya.
"MOS sih, MOS, tapi ya nggak gitu juga, Ma. Aya tau, Aya cantik, tapi ya mikir dikitlah, Aya masih punya urat malu kok," ketus Aya.
Yaya tertawa, lagi. "Terus, terus, Aya gimana tadi? Bisa gombalin nggak?"
"Mama kepo ih, ngeselin juga," jawab Aya sembari menjulurkan lidahnya; meledek.
"Yaudah, terserah Aya. Ayo makan dulu, pasti capek," ajak Yaya. Aya mengangguk.
***
Aya hanya gadis kecil yang baru memasuki lingkungan SMP. Dia selalu mempunyai rasa penasaran yang tinggi, dalam hal apapun itu. Dia juga dapat dengan mudah berbaur dengan lingkungan baru, sangat berbanding terbalik dengan Yaya.
Sekarang, gadis itu tengah tiduran dan berkutat dengan smartphone. Menggulir layar sembari tersenyum kecil; sedang membaca. Otak kecilnya seperti mengeluarkan tanda tanya.
Dia duduk. Mencoba merangkai kata yang pas untuk ia tujukan kepada Ibunya.
"Ceritakan dong, gimana mama ketemu sama papa?"
Aya menggeleng, itu nggak tepat, kesannya dia terlalu kepo; padahal memang benar.
"Kira-kira dulu papa kayak gimana ya? Apa kayak Halilintar yang cuek tapi sweet, atau Taufan yang selalu ceria dan bisa buat orang lain tertawa. Haduh ... aku penasaran," ucap Aya. Sepertinya, dia menjadi korban salah satu cerita. Tentunya tentang cowok-cowok tampan dengan sejuta pesona.
Aya tertawa terbahak-bahak. Tanpa pikir panjang, dia pergi ke ruang kerja Ibunya.
Aya mengetok pintu, "Ma, Aya mau masuk, ya?" izinnya.
"Iya, masuk aja, Aya," jawaban Yaya dari sebalik pintu.
Aya membuka pintu, dia melihat ibunya tengah sibuk dengan laptop dan tumpukan kertas putih. Dia jadi tidak enak, pasti kehadirannya mengganggu konsentrasi kerja Ibunya.
"Maaf Ma, nggak jadi," ujar Aya. Dia hendak menutup pintu dan beranjak.
"Kenapa? Sini cerita sama Mama," kata Yaya. Wanita itu menghampiri putrinya.
"Tapi mama kan lagi sibuk, Aya pasti ganggu ya?" tanya Aya.
"Walaupun mama sibuk, kamu tetap prioritas utama. Ayo, kita duduk di ruang tengah," kata Yaya. Dia membawa putrinya ke ruang tengah.
"Jadi, ada apa?" tanya Yaya usai duduk di sofa.
Aya malah cengengesan. "Mama, Aya cuma tanya ya, nggak kepo kok."
Yaya mencubit gemas Aya. Pipi chubby-nya manjadi memerah. Keduanya tertawa bersama.
"Kisah cinta mama?" tanya Aya.
Dahi Yaya mengernyit heran. "Maksudnya gimana, Aya?"
"Ish, Mama mah, ceritakan kisah cinta mama. Gimana mama bisa ketemu sama papa? Dan papa gimana orangnya?" tanya Aya. Walau dibalik tingkahnya yang selalu ceria, ada ruang kosong di hatinya. Dia merindukan sosok Ayah.
Yaya terdiam. Dia memeluk Aya. "Kamu pengen tau? Atau kepo, nih, hm?" ejek Yaya. Dia tau ada kesedihan yang tersembunyi dibalik senyuman manisnya.
"Ish, pokoknya ceritakan semua tentang kisah cinta mama pas muda. Mama punya mantan berapa?" tanya Aya.
"Dasar kepo, cuma punya satu," jawab Yaya.
"Wah, cuma satu? Kirain mama mantan pakgirls," ejek Aya. Lagi-lagi keduanya tertawa.
"Engga ih, sebelum ketemu sama Papa kamu, mama pernah pacaran satu kali," jelas Yaya serius.
"Ceritakan Ma, Aya pengen tau."
***
Flashback!
Yaya POV
Aku melihat seorang cowok berjalan dengan mendorong sepedanya. Aku melambatkan laju motor.
"Sepedanya kenapa?" tanyaku.
"Bocor."
"Mau nebeng?" tawarku.
"Nggak."
Hilih, sombong banget tuh cowok. Harusnya bersyukur jika aku menyapanya. Lagian, aku kan belajar menjadi orang yang ramah, malah ketemu yang sejenis.
"Yaudah, dasar es batu," ketusku. Aku hendak mempercepat laju motor. Tapi, ucapannya membuatku berhenti.
"Gue ikut Lo!"
Aku menunggunya. Tuhkan!
"Makanya, nggak usah sok-sokan nolak, kalo butuh tinggal bilang aja."
"Kok Lo nyolot?"
"Yee ... bodo amat. Cepetan jalan dulu," suruhku.
Ketika sepeda miliknya sudah beristirahat di bengkel. Aku mengajaknya pulang.
"Ayo, cepetan naik!"
"Nggak."
"Tinggal naik apa susahnya sih?" tanyaku gemas.
"Nggak."
"Mau gue tinggal?"
Dia tiba-tiba naik di jok belakang motor. Yee ... dasar!
"Jalan!"
"Udah numpang, nyuruh-nyuruh lagi!"
Di perjalanan aku dan dia hanya diam. Aku tidak tahu harus bertanya apa. Rasanya, latihanku untuk menjadi orang ramah semalam hancur. Oh, aku ingat ...
"Nama Lo siapa?"
"Fang."
"Kelas?"
"IPA 1. Lo?"
"Yaya. Bahasa 2."
Sudah, hanya itu percakapan singkat dari kami. Mungkin rasanya seperti ini jika dua kutub bertemu.
Aku tak banyak tanya pasal lokasi rumahnya, aku sudah tahu. Ngomong-ngomong, aku sering melihat tuh bocah, hanya saja tidak tahu namanya siapa. Rumahnya juga searah denganku.
"Makasih." Aku hanya menanggapi dengan jempol.
===
Aku sangat senang karena waktu itu menyapanya. Hasilnya, aku mempunyai teman. Ya, aku ingin menjadi ramah karena pengin punya banyak teman. Tapi, aku hanya mendapatkan satu orang yang benar-benar aku anggap teman.
Ya, tapi lagi nih, dia itu menyebalkan. Dan aku senang ada disampingnya. Jemari hangatnya menggenggam jemariku yang dingin. Atau tangannya yang mengusap air mataku. Dan, bahunya yang kokoh menjadi sandaran ku. Dia tempatku berkeluh-kesah. Aku menyayangi mu, Fang.
Saat itu, aku merasa dia adalah segalanya. Ya ... aku jatuh dengannya.
"Fang ...."
"Hm?"
"Gue capek, kenapa temen-temen gue jadi seenaknya? Gue berusaha jadi orang yang baik, tapi kok malah gini, ya? Gue selalu pentingkan perasaan orang," keluhku padanya. Ngomong-ngomong, dia pendengar setia.
"Selalu memikirkan perasaan orang lain? Lo orangnya terlalu baik, ya?" tanya Fang. Aku hanya mengangkat bahu; tidak tahu harus menjawab apa.
"Sebelum itu, Lo udah mikirin perasaan sendiri?"
Aku terdiam, "maksudnya gimana?"
"Nggak."
Aku kesal dengannya. Dia jarang memberi penjelasan secara lanjut, buat aku penasaran saja. Tapi, aku tahu maksudmu kok Fang. Hanya ingin memastikan saja.
Mementingkan perasaan orang boleh, tapi jangan melupakan perasaan sendiri 'kan? Kadang aku juga boleh egois. Agar perasaanku tidak terluka. Begitu 'kan?
===
Setengah tahun aku mengenalnya, akhirnya dia resmi menjadi milikku. Ini kali pertamanya aku merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut. Hari-hariku dipenuhi dengan rasa bahagia.
Lucu memang. Orang cuek dengan orang dingin? Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang ini. Namun, aku selalu berharap agar hubungan ini langgeng karena prinsip ku, satukali pacaran sampai nikah. Aku tahu, ini prinsip yang sedikit aneh untuk remaja SMA. Karena, memang aku aneh.
"Fang, boleh nggak?" tanyaku.
"Apa?"
"Suatu saat nanti, aku akan buat buku tentang kisah kita yang aneh ini, kamu harus beli, ya? Nanti baca bareng," kataku.
"Hm."
"Kamu yang semangat, ya! Senin besok kita mulai UN. Belajar juga. Dan, mudah-mudahan kita masuk di universitas yang sama. HUWAA!!! Aku nggak sabar."
"Halunya~," kata Fang. Aku tertawa.
====
Ujian telah usai. Fang mengajakku jalan. Em, hanya berkeliling di pinggir desa, sih. Kita berhenti, duduk di depan hamparan sawah hijau.
"Yaya?"
Aku menoleh, "kenapa, Fang?"
"Kamu tuh harus cari cowok yang humoris."
"Kamu cukup untuk buat aku tertawa."
"Kamu juga harus cari cowok yang bisa kasih perhatian lebih."
"Dan kamu udah memberikan itu, aku nggak butuh perhatian yang berlebih, asal kamu bisa kasih kabar ya, bukan masalah," kataku.
"Kamu harus cari cowok yang peka, Yaya," ujar Fang.
"Dan aku lebih suka cowok yang jujur, dan itu kamu."
Fang hanya terdiam. Aku menggenggam kedua tangannya erat.
"Gini Fang, aku nggak cari cowok yang sempurna karena selamnya aku akan sendiri," ucapku.
"Kayak kutukan aja," kata Fang dengan senyum kecil.
"Bukan kutukan, tapi memang kayak gitu. Dan yang aku pengen, kita bisa terus bareng. Aku nggak peduli sama kekurangan yang kamu punya, karena aku akan melengkapi kekurangan itu dengan kelebihan yang aku punya. Begitupun dengan kamu yang melengkapi segala kekurangan aku," jelasku.
Fang tergeming. Laki-laki itu hanya menatapku dengan sorot sendu.
Tanpa aba, Fang melepaskan genggaman dan beralih memelukku. Aku merasa jika hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Aku membalasnya dengan erat.
"Jangan pergi, Fang."
Fang melepas pelukannya. Dia mengusap air mataku.
"Jangan nangis lagi, ya. Aku kan ada di sini," bujuk Fang.
Kita duduk. Terlarut dalam pemikiran masing-masing.
"Yaya, kita sampai di sini saja, ya?"
Kepingan yang sudah kususun seolah hancur lebur.
"Kenapa?"
"Aku nggak bisa kasih alasan yang jelas, tapi kita memang harus berakhir," jawab Fang.
Aku tersenyum, "baiklah kalo itu keinginan kamu. Jaga diri baik-baik ya. Jangan sering begadang, makan yang teratur, sama sering juga minum air putih."
"Bawel."
"Entah apa yang terjadi sama kamu, aku harap kamu bisa mengatasinya secepatnya. Makasih ya udah mau jadi teman dan pacar aku selama hampir setahun. Aku seneng banget, aku nggak akan lupa tentang kamu. Sekalipun nanti ada yang gantikan posisi kamu sebagai pacar aku, kamu tetap punya tempat tersendiri."
Aku mengecup pipinya.
"Kamu orang baik yang pernah aku kenal. Makasih banyak, aku mendapat banyak pelajaran saat sama kamu. Maaf ya, selama jadi pacar kamu, aku nggak bersikap layaknya pacar, aku ngeselin, aku juga sering cuekin kamu. Tapi, aku sayang banget sama kamu, temanku."
Fang membawaku dalam dekapannya, aku menangis sejadinya.
Bahagia itu menakutkan, karena pasti akan berakhir dengan sebuah kesedihan yang membekas.
Dan sejak saat itu, aku benar-benar tidak pernah bertemu dengan Fang. Kita sudah lost contact. Aku hilang kabar. Itu membuatku merasa khawatir, sedih, cemburu, dan rindu. Baik-baik di mana pun kamu berada.
Aku merasa tidak semangat, sebagian dari diriku hilang. Setahun itu, aku tidak kuliah. Mama bahkan merasa cemas dengan keadaanku.
Tapi, matahari terbit. Aku merasakan kehangatan berbeda dengan saat itu yang penuh dengan kedinginan.
Perlahan, aku mulai dekat dengan dia. Namanya, Boboiboy. Aku memanggilnya, Boy.
Sifatnya berbanding terbalik dengan aku. Dia periang, punya sejuta cara untuk mencairkan suasana, perhatian, bahkan selalu memberikan aku support.
Berkat dia, aku merasa pulih. Aku mulai masuk bangku perkuliahan. Dengan mengambil program studi pendidikan. Aku ingin menjadi guru. Saat itu pula, aku mulai menulis.
Boboiboy melamar ku saat aku lulus dari perkuliahan. Aku menerimanya. Ngomong-ngomong, dia teman masa kecilku.
Aku senang Boboiboy menjadi pasangan hidupku, walaupun aku harus memendam jauh-jauh rencana dulu. Kita tidak boleh hidup di masa lalu kan? Kita harus fokus dengan masa kini.
Masa lalu adalah pengalaman. Masa kini itu perjuangan. Dan masa depan adalah harapan.
Sayangnya, takdir seperti mempermainkan perasaanku. Saat aku mengandung berusia delapan bulan, Boboiboy mengalami kecelakaan. Dia, tertidur pulas untuk selamanya.
Aku patah dua kali. Orang-orang yang aku cintai meninggalkan aku. Namun setidaknya, aku masih mempunyai harta paling berharga. Dialah, Ayana El Shara.
Putri tercintaku.
Yaya POV end
Flashback end
***
Yaya menghapus air matanya. Mengenang masa lalu hanya membuatnya sakit. Namun, bagaimana ya kabar Fang?
"Mama, Aya minta maaf ya, Aya buat mama sakit," kata Aya. Gadis itu juga ikut menangis.
Yaya senyum, "nggak apa apa. Aya juga berhak tau."
"Aya nggak mau jatuh cinta, jatuh cinta itu sakit. Aya juga nggak mau buat mama khawatir," kata Aya. Gadis kecil itu turut merasakan apa yang Yaya rasakan.
"Eh, nggak boleh gitu. Dalam cinta bukan hanya berisi kebahagiaan, kadang juga ada air mata. Rasa sakit tentang kehilangan juga membuat kita lebih merasa kuat, cinta juga pelajaran," jelas Yaya pada putrinya. Aya mengangguk.
"Aya mau tanya apa lagi?"
"Hm ... kenapa mama rela ditinggal sama Om Fang? Padahal kan mama lagi sayang banget."
"Itu ya ... mama emang sayang sama dia, tapi mama juga nggak boleh egois, mama harus menghargai pilihan dia. Rasa sayang bukan perasana menuntut apalagi seperti terpenjara," jelas Yaya.
"Walaupun perasaan mama terluka? Katanya, kita boleh egois, kenapa mama nggak egois saja? Dengan begitu pasti kalian bisa bersama," ucap Aya.
Yaya menghela napas. "Suatu saat kamu akan paham Aya. Melepas dan merelakan untuk kebahagiaan orang yang kamu sayangi itu adalah pilihan yang tepat."
"Terus, kenapa mama mau sama Papa?" tanya Aya.
Yaya terdiam, dia menatap foto di dinding. Seorang lelaki yang mengenakan jas putih tengah tersenyum.
"Papa kamu itu orang yang hebat. Berkat dia, mama merasa pulih. Papa kamu itu pelengkap mama. Papa kamu sosok yang penuh kehangatan. Sifat Aya juga dominan seperti Papa."
"Aya pengen ketemu papa," lirih Aya. Namun Yaya mendengarnya, dia hanya memberi pelukan pada Aya.
"Kalo Aya kangen, besok kita ke makam Papa ya," ajak Yaya. Anak itu mengangguk.
"Jangan sedih ya, mama ada di sini. Mama akan jadi sosok ibu yang perhatian atau pun sosok ayah yang seperti pahlawan."
Aya mengangguk, "mama pengen ketemu Om Fang?"
Sekarang, Yaya malah terdiam.
"Mama nggak pengen nikah lagi?" tanya Aya lagi.
Yaya menggeleng.
"Fang pasti sudah bahagia. Karena mama juga bahagia. Mama nggak akan nikah lagi, mama udah bahagia kok," jawab Yaya.
Aya memeluknya erat-erat.
"Mama orang hebat. Aya sayang banget. Aya juga bahagia. Makasih ya, Ma."
***
SELESAI
Halo, apa kabar? Lama banget ya aku nggak update cerita.
Rasanya tuh, males banget. Aku juga mikir, apa tulisanku bermanfaat. Aku bimbang, mau lanjut atau hapus cerita saja?😀
Idenya pun, cuma seputar itu-itu aja:')
Dan, yaaa ....
Sampai jumpaaa kapan-kapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top