Never Faded
Tak ada keberhasilan yang bisa didapat tanpa perjuangan seseorang. Bahkan kadang yang sudah berjuang pun, tetap gagal mendapatkannya.
—
"Salsa, tunggu!" Panggil seseorang laki-laki yang berlari sembari membawa piala dan medali yang tergantung di lehernya.
Salsa berhenti dan menatapnya bingung, karena tumben dia menyapa. Biasanya saat tidak sengaja bertemu, ia selalu bergegas pergi lebih dulu.
Semenjak dia kalah dalam lomba cerdas cermat matematika, entah kenapa ia menjauh. Padahal Salsa biasa saja mau dia kalah atau menang.
"Kenapa, Raf?" tanya Salsa.
Ia melepas medali yang mengalungi lehernya, dan menyodorkannya kepada Salsa.
"Maksudnya apa?"
Rafi tersenyum. "Anggap aja lo yang menang. Atau lo boleh jadiin ini sebuah motivasi buat lomba story telling minggu depan."
"Gue gak butuh motivasi. Lagian, gue gak jadi ikut lomba."
Senyum diwajah Rafi menghilang. "Kenapa? Bukannya waktu itu lo semangat mau ikut gara-gara lombanya diadakan di Universitas Brawijaya?"
"Iya, waktu itu. Sekarang udah hilang minat. Lo kenapa muncul lagi? Bukannya lo udah menjauh?"
"Kalau gue nanya, dijawab. Jangan malah nanya balik." Rafi memalingkan muka sebentar, lalu menjawab "Sebenarnya, gue gak ada niat ngejauh, gue cuma malu sama lo karena waktu itu gue kalah lomba cerdas cermat."
Rasanya Salsa ingin tertawa mendengar jawabannya, tapi ditahan karena harus ber-akting sok cuek di depannya.
"Rafi? Gak salah?" ucap Salsa meremehkan.
"Apanya yang salah?"
"Kenapa lo malu sama gue? Emang gue siapa?" ucap Salsa yang dilanjutkan dengan tawa. Sumpah, dia memang lucu apalagi ditambah ekspresinya yang memang seperti merasa bersalah.
"Heh, lo lupa? Hamin satu lomba, gue nyombongin diri kalau gue pasti menang. Sampai gue ngajak lo taruhan. Kalau gue menang, tahun ini lo gak boleh liburan ke luar kota dan nemenin gue kemanapun gue mau." Rafi berpikir sebentar, apa dia perlu melanjutkan perkataannya atau tidak.
"Terus, kalau gue kalah—"
"Oh iya! Gue baru inget! Kalau lo kalah berarti lo harus beliin gue lima novel yang gue mau sekaligus traktirin gue sepuluh mcflurry. Itu kan perjanjiannya?" Salsa memotong ucapan Rafi.
"Anjir, kenapa sih pake inget? Bisa bangkrut gue beliin lo novel. Kalau es krim gak masalah. Tapi, novelnya jangan ya?" pinta Rafi.
"Gak mau. Kan udah janji. Jadi, harus ditepati. Kalau gak, kita musuhan aja, deh," ucap Salsa.
"Gini aja, gue bakal tepatin janji, tapi lo harus tetap ikut story telling, oke?"
"Kalau gak mau, gimana? Gue jadi males ikut karena si Rian anak IPS tuh ikut juga," jawab Salsa.
"Emang kenapa kalau dia ikut?"
"Takut kalah, hehe." Rafi menjepit hidung Salsa. "Namanya juga kompetisi, pasti ada yang kalah ada yang menang. Kalau takut, ya udah gak usah ikut, kunyuk."
Salsa menarik paksa tangan Rafi yang menjepit hidungnya. "Sakit, ih! Kan gue emang gak jadi ikut."
"Gak boleh gitu, Salsa. Pokoknya lo harus ikut—"
"Gak mau." Salsa mengerucutkan bibirnya, ia paling tidak suka dipaksa.
"Gak mau novel sama mcflurry?" goda Rafi tak lupa dengan menampilkan cengiran khasnya tapi diabaikan Salsa.
"Beneran gak mau, nih? Alhamdulillah kalau gitu, gue gak jadi bangkrut." Rafi berbalik pergi untuk kembali ke kelasnya. Sambil berharap kalau Salsa berubah pikiran untuk mengikuti lomba lagi.
Tapi, nyatanya Salsa tidak memanggil atau membalas ucapan Rafi.
———
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, banyak siswa masih berkerumun di depan mading. Dan Rafi yang baru datang dengan dua temannya langsung menerobos kerumunan demi melihat siapa saja yang lolos seleksi.
DAFTAR PESERTA LOLOS SELEKSI LOMBA STORY TELLING
1. Bafariez Putra
2. Anindiya Faye
3. Rian Avilash
4. Aufano Atmadeva
5. Shenaya Airintyas
Selamat untuk siswa dan siswi yang lolos seleksi, semoga kami tidak salah memilih kalian untuk mewakili sekolah ke luar kota.
Rafi berdecak pelan setelah melihat daftar siswa yang lolos seleksi lomba story telling ke tingkat kota. Ternyata Salsa tidak sedang bercanda dengan ucapannya minggu lalu yang mengatakan ia tidak jadi ikut lomba.
Tanpa pikir panjang, Rafi bergegas menuju kelas Salsa, tak peduli dengan teriakan teman-temannya yang memanggilnya kembali karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.
—
Di kelas Salsa, ternyata sudah ada guru saat Rafi baru sampai disana.
"Guru ter-rajin 2018 mah gini, sudah ada di kelas sebelum bel masuk." Rafi menggelengkan kepalanya sembari mencari alasan untuk dijelaskan kepada Pak Tejo agar ia bisa berbicara dengan Salsa sebentar.
Tak lama ia mendapat ide. Sebelumnya Rafi mengintip lewat jendela. Lalu Rafi berjalan mundur, ia akan ber-akting kali ini.
Tapi, tiba-tiba ia tergelincir karena menginjak keset yang seharusnya berada di depan pintu kelas Salsa, tapi entah bagaimana bisa ada di samping kelas.
"Aduh, Pak Tejo tolong saya! Saya jatoh gara-gara ulah murid di kelas bapak. Aduh sakit! Aduh!" Rafi berteriak alay yang menarik perhatian sederetan kelas Salsa dan murid yang sedang berada di koridor.
"Heh, ngapain kamu duduk disitu, Rafi? Kamu mau bolos gak masuk kelas saya, ya?!" tegur Bu Aina yang kebetulan lewat—guru yang mengajar kelas Rafi sekarang.
"Ibu gak liat saya jatuh? Saya jatuh gara-gara muridnya Pak Tejo, Bu." Tak lama Pak Tejo dengan diikuti murid kelas Salsa keluar melihat pelaku yang telah mengganggu jam pelajaran Pak Tejo.
"Ono opo iki ribut-ribut di depan kelas saya?" tanya Pak Tejo kemudian ia melihat Rafi yang sedang terduduk di lantai. "Kamu ngapain, le, duduk disitu? Gak punya bangku di kelas atau gimana?"
"Saya terpeleset pak gara-gara keset yang harusnya di kelas bapak, tapi kenapa ada disini? Pasti ulah anak kelas bapak, kan?" ucap Rafi yang diam-diam membuat Salsa jengkel ingin mencubit bibir Rafi keras-keras.
Malu, iya Salsa malu punya teman kayak Rafi. Dia memang ngeselin kalau ngomong, tapi guru gak pernah benar-benar marah sama dia karena dia termasuk siswa yang berprestasi.
"Oh, sakit ya, le? Yaudah Andi bantu Rafi ke UKS, ya." Pak Tejo meminta tolong murid kelasnya yang langsung dibalas Rafi.
"Eh, nggak, Pak. Jangan dia, saya tau ini pasti ulah Salsa," ucap Rafi sambil menunjuk Salsa yang kaget di belakang Pak Tejo.
"Kok gue, sih?" tunjuk Salsa pada dirinya sendiri. "Gue ada piket hari ini aja enggak. Bohong dia pak, dia mau mempermalukan saya aja," balas Salsa tidak terima.
"Tapi kan—"
"Sudah, sudah. Salsa tolong bantu Rafi ke UKS, ya. Kalau dia udah baikan pastiin dia langsung datangin ibu, karena seharusnya sekarang pelajaran ibu di kelas dia ulangan harian," potong Bu Aina lalu ia pergi ke kelas Rafi.
"Dasar Rafi, untung temen." keluh Salsa sambil membantu Rafi berdiri.
"Apa? Untung sayang?" ucap Rafi.
"Najis." Kesal, tapi Salsa tetap membantu Rafi berjalan hingga sampai UKS.
Shenaya yang baru keluar dari uks kaget melihat Rafi yang biasanya petakilan, gak bisa diam, kini berjalan aja dibantu Salsa.
"Kenapa lo? Kualat becandain guru mulu?" tanya Shenaya.
"Nyungsep di selokan," jawab Salsa ngasal.
Rafi ingin menjawab tapi langsung disahuti Salsa, "Diem lo, gue tau ini cuma akting, kan?"
"Astagfirullah, ngomong aja belum. Udah di fitnah." Rafi sok mengelus dada.
Tak peduli dengan jawaban Rafi, Salsa langsung menghempaskan Rafi gitu saja hingga terduduk di lantai.
"Lo jahat, Sal." Rafi bertingkah dramatis, lagi. "Asal lo tau, kalau gak ada kepentingan, gue gak mungkin nyasar sampai kelas lo. Gue tuh mau nyamperin lo, mau—"
"Udah, sini gue bantu ke UKS, lo istirahat aja Raf." potong Shenaya yang dijawab anggukan oleh Rafi.
"Gue balik," ucap Salsa.
"Eh tunggu, lo gak inget kata-kata Bu Aina?" Rafi mencekal tangan Salsa agar dia tidak jadi kembali ke kelas.
Salsa menghembuskan nafas pelan. "Shen, bisa tolong temenin Rafi? Sampai dia udah baikan, paling gak sampai istirahat kedua. Lo temenin dia samperin Bu Aina, ya. Dia harus ulangan susulan."
Shenaya hanya mengangguk.
"Gue maunya sama lo, Sal. Gak mau sama Shenaya. Banyak yang mau gue omongin sama lo."
"Tapi, gue gak mau sama lo." Lalu Salsa pergi.
———
Dua hari lagi lomba story telling dimulai. Besok, mereka yang terpilih mewakili sekolah akan berangkat ke Malang karena lomba itu dilaksanakan di Universitas Brawijaya.
Salsa bingung, dia kan sudah menyerah dari awal. Ia takut gagal. Baginya, lebih baik dia mundur duluan daripada berakhir dengan kegagalan. Karena dia belum siap untuk kecewa, lagi.
"Sal, gue mau ngomong penting sama lo." Rafi tiba-tiba datang mengagetkan Salsa yang sedang duduk sendirian di gazebo.
"Tuh sudah ngomong."
"Ini serius." Salsa menoleh ke Rafi, dan benar. Kali ini Rafi sepertinya beneran sedang berbicara serius.
"Apa?" tanya Salsa.
"Lo beneran gak mau perjuangin keinginan lo buat ikut lomba di UB?" tanya Rafi.
"Iya." Salsa tampak berpikir sebentar. "Gue serius."
"Gue tau lo sebenarnya masih mau ikut, kan? Jujur sama gue."
Salsa diam mendengarkan. Hati dan otaknya kali ini benar-benar tak sejalan.
"Sadar gak sih, Sal? Ini kesannya malah gue yang berjuang biar lo bisa dapetin impian lo. Sedangkan lo? Gak ada usahanya, belum mulai udah mundur duluan."
Salsa menempelkan dagunya di meja, sambil mencoba memejamkan mata.
Ia ingin, tapi bukannya ia tidak mau berjuang. Ia hanya takut gagal untuk kesekian kalinya.
"Takut gagal? Takut kecewa? Kalau lo takut, apa yang lo takutin itu malah bakal dateng, Sal." Rafi masih mencoba menyemangati Salsa agar ia mau mengejar impiannya.
Salsa tetap diam, ia benar-benar bingung.
Rafi ikut bingung harus bagaimana lagi agar Salsa luluh. Lalu, Rafi mengambil daun yang jatuh di sebelahnya.
"Liat deh, Sal. Ini namanya apa?" tanya Rafi sambil mengangkat sehelai daun kering.
"Daun. Gitu aja gak tau."
Rafi mengusap wajahnya. "Lo tau gak cerita tentang pohon dan daun?"
Salsa menggelengkan kepalanya.
"Daun ini asalnya dari sebuah pohon. Pohon selalu berusaha mempertahankan daun agar tetap hijau. Tapi, kenyataannya banyak daun yang sampai kering, dan akhirnya gugur, lepas dari si pohon. Ibaratnya, sehelai daun ini adalah kegagalan si pohon. Daun dari pohon ini banyak kan yang jatuh? Tapi, pohon gak pernah tuh sampai galau gara-gara kegagalannya itu." Rafi menatap Salsa sesaat, dan bernafas lega karena ternyata Salsa menyimak cerita khayalan Rafi.
"Jadi setiap hari daun berjatuhan, si pohon gagal?" tanya Salsa.
"Iya, gitu. Sebenarnya lo ngerti gak gue cerita apa?"
"Sebenarnya ribet, aneh. Gue agak gak paham lo cerita apaan, tapi gue bisa nangkap maksud cerita lo."
"Kalau paham, berarti mau?"
"Mau apa?"
"Jadi pacar gue."
"Najis."
Rafi tertawa, membuat Salsa tertegun. "Gak deh, bercanda aja gue mah."
"Kok ganteng sih," ucap Salsa dalam hati.
"Bodo amat." Salsa masih bertingkah seolah tidak peduli, padahal dalam hatinya ia ingin sekali ikut lomba itu.
"Sal? Mau, kan? Please." Rafi masih kekeuh membujuk Salsa.
"Gak, Raf. Makasih ya udah berusaha bujuk gue sampai lo jatuh di depan kelas gue kemarin. Tapi, gue beneran udah mundur dari awal."
"Beneran gak mau? Gue janji bakal nepatin janji gue waktu itu, asal lo mau ikut ya."
"Lo sebenarnya kenapa sih? Terserah gue mau ikut atau enggak. Kenapa lo yang ribet berusaha bujuk gue?"
Rafi tak mau menjawab pertanyaan Salsa, ia malah mengeluarkan ponselnya dan mengetikan sesuatu disana.
"Lo mau ngapain?" tanya Salsa.
Rafi : Shena, ke gazebo skrg.
Rafi : jgn lupa juga vn nya.
"Bentar ya." Rafi menunggu balasan Shenaya.
Shenayy : siap.
Rafi lega, entah kenapa. Ada binar harapan di mata Rafi untuk Salsa. Sebenarnya hanya lomba tingkat kota, yang kalau gak diikuti atau gak lolos, gak rugi juga. Tapi, entah kenapa dia mau repot-repot kesana sini demi perjuangin impian orang lain yang bukan siapa-siapanya.
Tak lama, Shenaya datang membawa kertas.
"Salsa, ini penting. Kayaknya gue butuh lo."
——
Disini, tempat yang sejak dulu ingin ia datangi. Dan ia berharap bisa melanjutkan perjalanannya disini.
Akhirnya, memang tak seberapa tapi Salsa menyukainya. Baginya, kalau impian terkecilnya terwujud berarti impian besar yang menantinya akan terwujud juga.
"Gimana? Btw, gue seneng liat lo bahagia." Rafi ikut bersender di samping Salsa.
"Apanya yang gimana? Makasih ya, Raf. Kalau gak ada lo, gue gak bakal bisa kesini. Apalagi bisa pulang bawa apa yang bikin bangga sekolah."
Rafi hanya menjawab dengan senyum. Tak lama Shenaya datang, "Wahh selamat Salsaa, gak salah dong gue milih lo waktu itu."
"Hehe, makasih ya Shen. Sebenarnya gue cuma takut. Tapi kayak semesta sama kalian udah kerja sama bikin gue gak takut lagi buat keluar dari zona nyaman," jawab Salsa.
"Iya, untung lo tiba-tiba dipaksa ikut orang tua lo ke Makassar, jadi Salsa mau gak mau harus gantiin. Bu Rina juga kan yang nyuruh."
"Oh, maksud lo untung nenek gue sakit, jadi gue pergi ke Makassar, gitu? Lo seneng nenek gue sakit?" Shenaya tak terima dengan ucapan Rafi.
"Ini anak suuzon mulu, bukan gitu. Intinya, kalau lo gak pergi, Salsa gak mungkin disini." Rafi masih membela diri kalau dia gak salah berbicara.
"Udah udah, makasih banyak buat kalian, pokoknya kalau bukan karena kalian, ya gitu. Jadi, makasih ya?"
Rafi tersenyum, Shenaya langsung memeluk Salsa.
"Makasih buat apa?" tanya Rafi.
"Lo udah perjuangin apa yang gue mau."
"Ini sih belum seberapa, liat aja nanti perjuangan yang sebenarnya."
"Perjuangan apa sih? Emangnya lo pahlawan?" tanya Shenaya.
"Iya, gue bakal jadi pahlawan buat Salsa beberapa tahun lagi," ucapan Rafi aneh tapi terdengar ambigu. Dan Salsa pura-pura tak mendengarnya. Karena ia paham apa yang dimaksud Rafi.
"Sal."
"Apa?"
"Tunggu gue, ya?" Rafi nyengir dan berusaha menyampaikan isyarat lewat matanya. Tapi, Salsa ragu dengan maksud yang ia tangkap.
'ini kode bukan sih?' ucap Salsa dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top