Contract of Freedom

Kuhela napas panjang untuk yang ke sekian kali. Hanya ada kegelapan dimana-mana. Hawa dingin terasa membekukan tulang. Ujung jemariku bergetar karena suhu rendah. Tetapi anehnya, keringat mengalir membasahi seluruh tubuhku.

Gaun putih yang lupa kuganti terasa basah. Bahkan, aku mencium bau lumpur serta besi berkarat. Rambutku terurai menutupi wajah, turut membuat penglihatan terganggu. Tanpa pikir panjang, aku bermaksud merapikannya sedikit. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika keluarga Edward yang dihormati berpenampilan seperti ini?

Namun, tubuhku tidak bisa bergerak. Aku berusaha keras melepaskan sesuatu yang menahan, tetapi gagal. Bahkan untuk berganti posisi saja rasanya tidak bisa. Aku merintih. Benda yang menahan tubuhku rasanya bertambah berat. Bau khas logam memenuhi indra penciumanku. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa seluruh tubuhku rasanya begitu sakit?

Aku menyipitkan mata ketika sebuah cahaya menyilaukan datang dari sudut ruangan bersamaan dengan suara berderit dari sebuah pintu. Terdengar suara langkah seseorang mendekat setelahnya. Aku mendongak, hingga kutemukan sosok gadis yang sangat mirip denganku. Ralat, benar-benar persis sepertiku.

Gadis itu mengenakan gaun berwarna hitam hingga batas lutut. Ia mengenakan kalung dengan sebuah kunci keperakan di lehernya. Rambut panjang hitam kecoklatannya melambai-lambai diterpa angin dari luar. Mata biru navy miliknya terarah padaku, bersamaan dengan senyuman licik yang terlukis di wajah itu. "Selamat pagi, Stephanie," ucapnya.

Aku terbelalak. Mungkinkah dia yang melakukan semua ini padaku? Kembali kucoba sekuat tenaga untuk berdiri, tetapi gagal. "Kau ini ... siapa?" aku bertanya dengan napas tersengal setelah berusaha keras melepaskan diri dari rantai berkarat yang menjeratku dan mulai tampak setelah ruangan itu menjadi sedikit lebih terang.

Gadis itu menyeringai sembari berjalan mendekatiku. "Ah, Sayang. Tidak mungkin kau tidak mengenali dirimu sendiri," katanya sambil mengusap pipiku. Aku berdecih. Hanya itu yang bisa kulakukan. Andai saja aku tidak dirantai seperti ini, dia pasti sudah kubuat babak belur.

"Aku tidak akan tertipu, payah! Cepat lepaskan aku. Dasar peniru!" ujarku sarkas. Baru saja ku hendak memukulnya, rantai itu seolah semakin menjeratku. Membuat tubuhku kembali terasa sakit. Gadis itu tertawa jahat ketika melihatku hampir putus asa. Benar-benar terdengar seperti tawa nenek sihir.

"Oh, kau terlalu naif. Kau boleh panggil aku Andrea, dirimu yang lain," sahutnya. Aku tertegun, memastikan jika aku tidak salah dengar. Apa dia benar-benar mengatakan "dirimu yang lain"? Itu tidak mungkin. Mana mungkin selama ini aku memiliki alter ego.

"Bohong ... ini pasti bohong .... Kau pasti hanya berbohong," lirihku. Gadis bernama Andrea itu mengangkat wajahku dengan kedua tangan kemudian tersenyum tipis. Aku menatapnya tajam. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Ada apa dengan semua ini?!"

"Sadarlah, Stephanie. Mungkin kau akan segera berubah pikiran setelah mengetahuinya." Gadis bernama Andrea itu tersenyum angkuh. "Akulah membuat lelaki genit di sekolah takut padamu. Aku juga membuat ketua geng penindas tampak seperti anak ayam ketika melihatmu. Aku adalah perisai penjagamu. Aku yang melindungimu dari mereka yang mencoba membunuhmu," jelasnya. Aku menggeleng samar, tidak akan percaya semudah itu.

"Kau sangat lemah, Stephanie. Bahkan, aku tidak percaya kau mudah sekali jatuh hati pada laki-laki itu," ucapnya lagi sambil berjalan menuju pintu. Meskipun tidak terlalu paham dengan ucapannya, aku tahu siapa yang dia maksud.

"Jangan bawa-bawa Akira ke masalah ini. Cepat lepaskan aku!" sergahku yang mulai lelah.

Andrea berbalik menghadapku, tersenyum miring sambil menunjukkan kunci keperakan. "Bukan masalah, Sayang. Akan kulakukan," ucapnya. Tubuhku seketika membeku. Mendadak, aku ingin segera menarik semua kata-kata setelah menyadari kejanggalan dalam ucapannya.

"Akan kulepaskan kau dari rantai kenyataan. Sebagai gantinya, serahkan tubuhmu padaku," lanjutnya sambil melepas kunci keperakan itu. Aku membelalak. Jelas dia tidak melepaskanku dengan maksud baik. "Kau sepertinya tidak bahagia. Jadi, ayo kita bersenang-senang."

Dadaku terasa sesak sesaat setelah Andrea mengucapkannya. Kupaksa tubuhku untuk melepaskan rantai berkarat itu hingga aku bisa bergerak leluasa. Kelopak mata terbuka lebar seketika. Napasku terengah. Keringat membuat pakaian basah. Kupegangi kepala yang tiba-tiba berdenyut. "Syukurlah, hanya mimpi," batinku.

Kulirik jam yang tertempel di dinding. Masih pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Suara binatang malam terdengar samar dari balik jendela. Angin dingin masuk melalui ventilasi udara. Membuat tubuhku kembali merasakan dingin. Tanpa pikir panjang, aku menarik selimut hingga atas kepala, berusaha kembali tidur. Berharap jika rantai, kunci, serta Andrea, hanyalah mimpi buruk.

*

Hari semakin gelap. Suasana sekolah yang sangat sepi menjadi pembuktian jika sekolah ini memang angker. Terlebih setelah kejadian pembunuhan berantai yang dimulai sejak seminggu lalu. Tetapi aku tidak peduli. Aku harus menyelesaikan kasus ini dan menangkap si pelaku, apa pun yang terjadi. Sesuai surat anonim yang kutemukan pagi tadi, pelaku mengajakku bertemu di tempat ini. Mungkin saja, dia mencoba menggertak dengan cara itu.

Orang aneh itu memang memintaku bertemu empat mata, dan aku tidak keberatan. Sudah hampir satu jam aku menunggu di lapangan basket. Tetapi, yang membuatku bingung harus melakukan apa adalah Akira yang seolah tidak rela membiarkanku sendirian. Dia masih mengikuti kemana pun aku pergi. Meskipun begitu, aku tidak sampai hati "mengusir". Jika diperhatikan, wajah oriental lelaki itu menampakkan guratan kekhawatiran.

Aku tidak mengerti mengapa aku merasa aneh setiap kali bersamanya. Aku merasa aman sekaligus gugup di saat yang bersamaan. Ah, ini sulit dijelaskan. Lebih baik aku menyelesaikan soal fisika untuk perguruan tinggi.

"Stephanie," panggil lelaki itu. Aku sedikit tersentak. Refleks menoleh. Kupaksa sudut bibirku untuk terangkat.

"Semua orang mengira kaulah pelakunya." Pemuda itu menghela napas. Tiupan angin memainkan helaian rambutnya. Aku mengangguk samar. Walaupun aku selalu mengabaikan kata orang, setidaknya aku tahu tentang yang satu itu.

"Jadi, tolong katakan padaku. Itu tidak benar, kan?" tanya Akira. Sejujurnha, aku lebih mendengar pertanyaan itu sebagai perintah yang harus dipatuhi. Aku terdiam, menelan ludah melihat sorot matanya. Itu membuatku merasa jika hatinya masih ragu untuk berada di pihakku. Kukepalkan kedua tangan. Melakukan kontak mata saja sulit. Apalagi berbicara.

Kutarik napas dalam-dalam kemudian berjalan mendekatinya hingga hanya berjarak selangkah. Tak peduli walaupun ada gelora aneh dalam dadaku. Baiklah. Jika dia tidak percaya, katakan jika semua itu salah. Ayolah, Stephanie. Kau pasti bisa melakukannya. Ini tidak serumit konsep ruang dan waktu.

Aku berjingkat agar bisa menyamai tinggi badan yang terpaut sepuluh sentimeter. "Akira, mungkin aku pernah berkata, kepercayaan yang berlebihan membuat kita sulit menerima kebenaran. Tetapi, untuk kali ini saja. Percayalah padaku," bisikku di dekat telinganya.

Dapat kudengar jelas helaan napas hangat darinya. Mendadak, jantungku berpacu dua kali lebih kencang. Kenapa tiba-tiba ...? "I trust you, Stephanie," bisiknya. Aku terpegun. Mengapa ... kalimat sesederhana itu ... bisa membuat hatiku bergetar? Kalimat itu ... terdengar benar-benar menyentuh.

Akira terdiam selama beberapa saat. Tiba-tiba, aku merasakan kedua lengan yang melingkar di balik punggungku. Pada saat yang sama, muncul kehangatan entah darimana, membuatku merasa nyaman. Seketika, tubuhku kehilangan kekuatan untuk memberontak. Bisikan lembut Akira -- meski tak kupahami -- membuatku merasa tak punya pilihan selain tetap bergeming.

Belum pernah aku merasakannya. Mengapa aku ... selemah ini?

Brak!

Sebuah suara aneh tak jauh dari tempat itu membuat kami tersentak. Dia segera melepas dekapannya kemudian memasang ekspresi curiga. "Suara apa sebenarnya itu?" tanyanya. Aku terdiam, walaupun aku bisa menebak penyebab suara misterius tadi.

Tiba-tiba saja, dari arah terdengar suara itu, muncul seorang gadis berambut pendek dengan sedikit raut wajah kaget. Setelah tampak menimbang-nimbang, dia berjalan mendekat. "Apa yang kalian lakukan di sini?" dia bertanya dengan nada curiga.

Akira mengernyit ketika menyadari identitas dari gadis aneh yang tiba-tiba berada di tempat ini. "Adel?"

Aku tersenyum miring, sudah menduga sejak awal. "Baguslah kau datang, sesuai perjanjian dalam surat itu," ucapku sambil menyilangkan kedua lengan di bawah dada.

Gadis itu mengangkat sebelah alis. "Surat apa yang kau maksud, Stephanie?" tanya gadis itu tidak mengerti. Lebih tepatnya, pura-pura bingung.

"Aku tahu, kaulah yang sengaja menaruh surat anonim di lokerku pagi tadi. Menyuruhku untuk datang menemuimu. Tidak perlu berbohong, aku sudah punya banyak bukti. Kaulah si pembunuh berantai dah penyebar teror," ujarku dengan nada tajam.

"Kau cukup lama mengawasi kami dari balik tembok kelas dua belas. Hingga kau tidak sengaja menyenggol tumpukan kayu yang lupa dipindahkan penjaga sekolah. Tapi tenang. Jika kau terkejut dengan apa yang dilakukan Akira, tidak usah khawatir. Kami hanya saling berbisik satu sama lain," terangku dengan raut wjaah datar.

Gadis itu tak tampak menyesal sama sekali. Dia malah tertawa setelahnya. "Yah, kau benar-benar genius, Stephanie. Kau benar, akulah yang membunuh mereka. Semua itu kulakukan untuk membalas dendam pada sekolah ini. Jika kau tidak cepat, mungkin aku akan selamanya menyebarkan teror di sekolah ini," ujarnya santai.

"Sekolah ini sudah keterlaluan. Mereka semua seharusnya mati sebelum menyiksa lebih banyak orang. Anak-anak dari golongan menengah ke bawah sepertiku mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Tidak sepertimu yang hidup dalam kesempurnaan. Karena itulah, aku membunuh anak dari semua donatur sekolah. Dengan begitu, diskriminasi tidak perlu ada," jelasnya sambil tersenyum puas.

Akira tampak terpegun. "Adel?" lirihnya. Aku tetap diam. Dugaanku smaa sekali tidak meleset.

"Maaf, Akira. Tapi semua ini juga kulakukan untuk mendapatkan cintamu. Aku tahu kau sudah lelah tersiksa oleh sekolah. Karena itu, aku ingin membebaskanmu. Itu saja. Dan sebaiknya, ucapkan selamat tinggal pada anak ini sebelum aku melakukan misi terakhirku. Melenyapkannya dari peredaran," kata gadis itu sinis sembari mengeluarkan sebuah senjata api.

"Anak ini .... Jika dia tidak ada, maka tidak ada istilah kasta dalam sekolah ini. Dialah penyebab semuanya," tuduh gadis itu. Aku tetap tidak berkomentar. Biarlah gadis itu melakukan apa pun yang dia mau. Lagipula, akus udah lelah. Smeua ini membuatku muak. Apa gunanya aku hidup jika hanya untuk terkekang dengan ekspektasi orang lain?

"Ada kata terakhir, Stephanie?" Adel kembali bertanya seraya mengarahkan moncong pistol itu ke arahku. Aku tetap membisu. Jika aku memang ditakdirkan untuk mati dan itu yang terbaik, kupastikan tidak akan ada interupsi. Lagipula, aku sudah terlalu lemah untuk tinggal di sini.

"Baiklah, kuanggap itu tidak," katanya sembari menarik pelatuk, tertawa licik. Peluru itu tak mengenaiku sama sekali -- kecuali sehelai rambut -- walaupun aku tetap bergeming.

Ia terus menembakkan peluru yang pada akhirnya sama sekali tidak menyentuhku. Sampai tiba-tiba tiga tembakan tampak tepat mengarah padaku. Aku terlambat menyadari hal itu. Seluruh tubuhku menjadi kaku. "Inikah akhirnya," batinku sembari menutup mata.

Beberapa detik berlalu, tak terasa satu pun peluru mengenaiku. Ini sangat aneh. Sebaliknya, aku malah mendengar suara rintihan dengan jelas dari depan. Tanpa pikir panjang, aku pun segera membuka mata lebar-lebar. Darah mulai menetes sedikit demi sedikit ke tanah hingga akhirnya mulai tergenang.

Debar jantungku seakan berhenti. Jemari tanganku gemetar melihat pemandangan mengerikan yang sama sekali tak pernah kubayangkan, termasuk dalam mimpi. "A-kira ...."

Adel kembali tersenyum licik. "Tampaknya kau memilih untuk mengorbankan hidupmu demi gadis bodoh ini. Tak kusangka pikiranmu sependek itu, Akira," katanya. Aku merasa seperti tertusuk. Beraninya ... dia mengatakan itu.

Akira memegangi dada kirinya yang terkena tiga peluru. "Keterlaluan ... kau ...," umpatnya dengan suara parau. Hingga tak lama kemudian tubuhnya tumbang ke tanah.

Tanpa pikir panjang, aku segera menangkapnya meskipun aku masih salah perhitungan. Meletakkan kepalanya perlahan di atas pangkuan. Aku tak peduli. Akal sehatku seakan tidak berfungsi karena perasaan shock yang menguasai seluruh pikiranku. "Akira! Akira, kumohon bertahanlah!" seruku sembari mengguncang tubuh lelaki itu.

Tatapan matanya tampak semakin layu. Bibirnya yang mengeluarkan darah sedikit bergetar saat dipaksa tersenyum. "Stephanie ...," lirihnya sambil menyentuh pipiku dengan tangan kanannya yang berlumuran cairan merah kental. Sentuhan yang terasa benar-benar dingin.

"Akira ... kumohon, jangan mati!" ujarku dengan air mata yang sudah tak bisa kubendung. "Kumohon ... jangan tinggalkan aku ...," lirihku di antara isak tangis yang tak tertahankan.

"Terima kasih ... sudah hadir dalam hidupku .... Aku ... akan senantiasa ... mengingatmu ...," ucapnya lirih dengan suara yang hampir tidak terdengar. Napasnya mulai terlihat tersengal. "Aku ... mencintaimu, Stephanie ...." Sorot matanya tampak semakin layu hingga akhirnya terkatup setelah terlihat berusaha mengucapkan beberapa kalimat yang tak dapat kudengar. Tangan berlumur darah yang membelai pipku -- untuk pertama dan terakhir kalinya -- jatuh setelah tak ada kekuatan untuk menahannya.

Aku terenyak. Apa ini sudah berakhir? Apa ini akhirnya?! Kenapa ... harus secepat ini?

"Akira! Akiraa!" aku menjerit. Tidak ada lagi denyut nadi. Hilang. Tangan yang tadinya berada di pipiku kini terasa dingin. Kehilangan semua kehangatan itu. Sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk senyuman yang justru membuat hatiku tersayat.

Kenapa aku ... benar-benar lemah?

*

Stephanie membuka mata perlahan. Seluruh tubuhnya tidak bisa bergerak oleh rantai logam yang menjerat. Gadis itu tidak bisa apa-apa kecuali merintih menahan sakit. Bergerak sedikit saja seperti mengangkat beban ratusan kilogram. Bahkan, pergelangan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri mulai terluka.

"Bagaimana? Kau masih belum mau?" tanya Andrea sambil tersenyum miring sambil memutar-mutar kunci keperakan di tangannya.

Stephanie menghela napas berat. Dadanya terasa sesak. Ia sudah sangat lelah. "Andrea, jika kau bukan mimpi, lakukan sesuatu padanya .... Aku tidak peduli. Asalkan dia bisa merasakan penderitaan Akira."

Andrea menyeringai puas, menggenggam erat kunci itu. Ajaibnya, rantainya segera terlepas meskipun gadis bergaun hitam itu hanya mengayunkan kunci ke arahnya. Dia segera menarik lengan Stephanie lalu mendekapnya. "Sekarang serahkan semuanya padaku," ucapnya.

Stephanie terbelalak. Kepalanya berdenyut keras bersamaan dengan pandangan yang memudar. Gadis itu berteriak mencoba menahan sakit di seluruh tubuhnya. Hanya dalam hitingan detik, ia merasa sudah tak menempati tubuhnya lagi. "Apa aku sudah mati?" pikirnya. Namun anggapan itu dengan cepat hilang ketika melihat dirinya sendiri menatap tajam ke arah Adel.

Dia adalah Andrea yang kini memegang kendali penuh atas tubuh Stephanie. Ia perlahan menurunkan kepala Akira dari pangkuannya meletakkannya di tanah. Dengan gerakan tak terbaca, ia menyerang Adel dengan pisau yang ia sudah letakkan di saku tersembunyi roknya.

"Hei, jika kau membunuhku, Akira akan membencimu. Akulah yang akan menjadi miliknya, selamanya," ujar Adel santai sambil memegangi lengannya yang terkena sayatan pisau.

Andrea tidak peduli. Ia terus menyerang titik-titik lemah gadis itu hingga akhirnya roboh ke tanah. Tidak sampai di situ, ia menyiksa bagian-bagian sensitif dari pembunuh yang tega merenggut nyawa Akira. "Akira takkan sudi melihat wajah memuakkanmu!" serunya sembari mengukir wajah Adel dengan sayatan melintang.

Gadis itu sama sekali tidak menampakkan emosi ketika melihat tubuh korban pertamanya yang berlumuran darah. "Kau gadis terkutuk ...," umpatnya sambil mengangkat pisau itu tinggi-tinggi di atas tubuh Adel yang tampak mengerikan. "Pergilah ke neraka!"

Jleb!

Cipratan darah muncul ketika Andrea menikamkan pisau itu dari dada kiri Adel. Napasnya terengah. Ia tersenyum lebar. Begitu puas rasanya ketika ia berhasil menghancurkan tubuh korbannya tersebut. Saat itulah, ia mengembalikan kesadaran Stephanie seutuhnya.

Stephanie memandang mayat di hadapannya dengan ekspresi tak mengerti bingung. Seluruh tubuhnya berlumuran cairan merah kental. Ia melihat tubuh Akira yang terkapar tak bernyawa. Senyuman kecil terukir di bibir pucatnya. Ucapan Adel yang didengar samar terngiang.

"Jika kau membunuhku, Akira akan membencimu."

Stephanie memegangi kepalanya yang terasa nyeri. "Apa ... apa yang sudah ... kulakukan?" lirihnya. "Aku ini ... seorang pembunuh .... Tidak ... tidak mungkin ...." Stephanie terus menyalahkan diri sendiri dalam hati. Ia benar-benar menyesal karena terburu-buru mengambil keputusan untuk menyetujui kontrak dengan Andrea.

"Akira ..., akankah kau membenciku? Apa senyuman di bibirmu ... akan hilang jika kau tahu tentang semua ini?" Stephanie tersenyum hambar. Hanya dalam sekejap, senyuman itu kembali lenyap digantikan dengan tangisan. Ia benar-benar tidak tahan.

"Aku ... benar-benar tidak berguna ...." Dadanya terasa sesak. Air mata kembali mengalir. "Akira ... maafkan aku. Maafkan aku .... Mungkin aku ... lebih baik mati bersamamu," sesalnya smebari mengarahkan pisau milik Andrea ke pergelangan tangannya. Tetapi, tentu saja tidak ada yang menjawab jeritan hatinya. Gadis bermanik biru itu benar-benar putus asa. Hingga tiba-tiba ia mendadak mendengar bisikan lembut di telinga.

"Aku mengerti, Stephanie. Teruskanlah hidupmu." Gadis itu tiba-tiba merasakan kehangatan yang tak pernah diduga akan kembali. Tangisnya seketika terhenti. "Aku akan sangat senang ... jika kau bisa bahagia, walaupun tanpaku," ucap bisikan itu lagi.

Stephanie memaksa bibir yang bergetar untuk tersenyum getir. "Akira ...."

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top