Run Away From Reality
Run Away From Reality
"Shit," umpatku kesal begitu melihat jam yang menunjukkan pukul dua siang. Sudah satu jam aku berada di kelas ini. Kalian tahu kenapa? Karena aku harus mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan Mr. Ferry yang belum selesai kukerjakan. Hei, bukankah wajar jika seorang murid belum menyelesaikan tugas dari guru? Lagipula, tugasnya banyak sekali. Dan kami para murid hanya diberi waktu tiga hari untuk menyelesaikannya. Tugas itu adalah mengerjakan semua latihan soal di buku paket, dengan menuliskan soal serta jawabannya. Terdapat 9 bab di buku paket itu. Setiap bab berisikan 10 soal pilihan ganda dan 10 soal uraian. Coba hitung, berapa banyak soal yang harus kutulis?
"Sampai kapan aku berada di sini?" tanyaku dengan kesal sambil terus menulis soal. Tanganku terasa nyeri karena terus memegang bolpoin.
Satu jam telah berlalu, akhirnya aku menyelesaikan tugas menyebalkan ini. Walau aku tak yakin tulisanku akan dapat dibaca oleh guru itu. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku sudah menyelesaikan tugasku. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul tiga sore. Waw, bagus. Setelah buku-bukuku masuk ke dalam tas, segera aku pergi ke ruang guru dan mencari si pemberi tugas ini. Kulihat di mejanya, tidak tampak sosok yang kucari. Reflek aku bertanya pada salah satu guru karena tidak kutemukan guru itu.
"Permisi, Mrs. Mr. Ferry di mana, ya?" tanyaku pada ibu guru yang duduk tak jauh dari tempatku berdiri.
"Mr. Ferry sudah pulang dari tadi, ada apa?" Mrs. Lovia.
'Shit,' umpatku dalam hati. Tanpa sadar, kulangkahkan kakiku pergi meninggalkan ruang guru tanpa mengucap salam pada Mrs. Lovia.
***
Tik-tik-tik.
Kurasakan rintik-rintik air hujan membasahi kepalaku. Sontak kudongakkan kepalaku ke atas, rupanya langit mendung. Mataku mencari-cari tempat yang cocok untuk berteduh. Aku segera berlari ke sebuah pohon besar di trotoar jalan. Setelah itu, barulah aku bisa bernafas lega.
Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Rintik-rintik hujan membasahi bumi tanpa ampun, seolah-olah meluapkan semua emosinya. Aku yang hanya berdiri di bawah pohon tidak sepenuhnya kering. Bisa dibilang aku setengah basah. Yah, walau tidak basah kuyup seperti habis diguyur, tapi itu cukup untuk dibilang "kehujanan". Karena lelah, aku berjongkok dan menaruh tasku di depanku. Kuaduk isi tasku, mencari hand phoneku. Setelah beberapa menit aku mencari, tak kunjung kutemukan hand phoneku.
"Ah, ke mana lagi benda itu," batinku makin kesal. Kuputar otakku, mengingat di mana terakhir kali aku memegang benda penting itu. Setelah beberapa menit, kutepuk jidatku lumayan keras.
"Sial, aku meninggalkannya di laci meja. Bagaimana ini? Hand phoneku akan menginap di sekolah selama sehari, bagus sekali. Tidak ada yang lebih buruk dari ini?" celotehku, lalu beranjak bangkit.
"Hari ini benar-benar sial," aku terus mengeluarkan kata-kata kasar sepanjang perjalanan. Aku tak peduli lagi dengan seragamku, sepatuku, tasku yang basah oleh air hujan. Toh, isinya juga buku-buku tidak penting. Kenapa aku bilang tidak penting? Karena buku penjaskes, PKN, dan IPS memang tidak penting buatku.
Tiba-tiba saja, sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi di sampingku hingga airnya mengenai pakaianku. Bagus, bajuku tidak hanya basah, tapi juga kotor oleh lumpur. Dalam hati, kukutuk orang yang mengemudi mobil itu.
"Aku ingin hari ini segera berakhir."
***
Setiap manusia selalu diuji oleh-Nya. Tujuannya yang pasti adalah mengetes seberapa kuat kita menjalani ujian tersebut. Jika kita berhasil melewati ujian tersebut, maka kita akan memperoleh hasil yang manis. Tapi jika tidak .... Ah, lupakan. Tapi apa jadinya jika manusia tidak diuji dalam menjalani hidup? Akankah menyenangkan?
***
Brak! Brak! Brak!
Buku-buku di dalam tasku kukeluarkan dan kujatuhkan ke lantai hingga menimbulkan suara gaduh. Semua pasang mata tertuju padaku. Tatapan mereka mengisyaratkan bahwa aku penganggu. Suasana kelas yang tadinya cukup tenang, kini gaduh karenaku.
"Apa yang kau cari?" tanya Felisha yang duduk di sampingku.
"Buku tugasku, aku yakin aku sudah memasukkannya ke dalam tas," balasku sambil mengaduk isi tas. Sayangnya, tidak kutemukan buku bersampul perak itu. Dengan cepat kumasukkan buku-buku yang kukeluarkan tadi ke dalam tas.
"Bagus, nasib sial selalu saja menghampiriku," keluhku kesal karena buku tugas itu tampaknya tertinggal di rumah. "Cobaan apalagi yang akan kuterima hari ini."
Yap, akhirnya aku harus berdiri di luar kelas karena tidak membawa buku tugas itu. Benar-benar nasib yang bagus. "Seharusnya aku tidak masuk tadi," batinku sambil bersandar di dining koridor. Beberapa menit berdiri di sana, kakiku mulai pegal. Kuputuskan untuk berjalan ke halaman belakang sekolah. Toh, setelah jam pelajaran berakhir waktunya istirahat.
"Nah, tempat ini selalu menenangkan pikiranku," gumamku ketika sampai di halaman belakang. Tempat itu ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon-pohon rindang. Angin sepoi-sepoi membuat suasana di sana amat sejuk. Yah, beberapa warga sekolah menjadikan tempat ini sebagai favorit place mereka, termasuk aku. Selain itu, Mrs. Irine, Mr. Dorbuz, dan Mrs. Retney juga menjadikan tempat ini sebagai favorit place mereka. Aku sering melihat mereka duduk-duduk di bawah pohon sambil mengobrol.
Tiba-tiba saja, mataku menangkap sosok anak perempuan berambut pirang sepinggang mengenakan dress selutut berwarna jingga terang sedang duduk di bangku di bawah pohon. Gadis itu tersenyum dengan lebarnya, seraya menatap lurus ke depan. Karena penasaran, kuputuskan untuk mendekati gadis itu.
"Hei, apa kau tersesat?"tanyaku pada gadis itu.
"Aku sedang menikmati udara segar, huihihi," jawabnya dengan tawa di akhir kalimatnya.
"Kau, kau bisa tertawa lepas seperti itu. Tidak adakah beban dalam hidupmu?" tanyaku tanpa berpikir, karena moodku sedang tidak baik.
"Beban itu untuk dinikmati, huhihi ...."
"Eng ... anak ini," gumamku makin kesal. "Hei, kau hanya anak kecil."
"Kakak ingin kehidupan yang seperti apa?" tanya gadis kecil itu tiba-tiba.
Sontak aku menatapnya heran. "Hah? Kalau kau bertanya padaku, aku ingin kehidupan yang di dalamnya tidak ada cobaan. Dengan begitu hidup akan menyenangkan," jawabku.
"Kakak mau hidup seperti itu? Aku bisa mengabulkannya," ucap gadis itu dengan senyum ceria.
Dahiku berkerut. "Jangan mengajakku bermain sekarang, anak kecil. Moodku sedang tidak baik."
"Aku serius."
"Kau bisa apa?" tanyaku meragukan gadis itu.
Gadis itu nweogoh tas selempangnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang seukuran dengan sebatang coklat kini berada di tangan gadis itu. "Kakak makan saja," ucapnya seraya menyodorkan coklat itu.
"Kau mau mengerjaiku, ya?"
"Makan saja."
Karena penasaran, kuputuskan untuk memakan sebatang coklat yang diberikan gadis itu. Satu gigitan, kurasakan manisnya coklat di lidahku.
Detik pertama, aku tidak meraasakan apapun.
Detik kedua, aku mulai merasa pusing.
Detik ketiga, mataku mulai berkunang-kunang.
Detik keempat, semuanya mendadak gelap.
"Sleep well."
***
Ketika kubuka mataku, samar-samar kulihat langit-langit kamarku. Sontak aku segera bangun dari posisi berbaring. Aku terserentak kaget mendapati diriku kini berada di kamarku. Yang terakhir kali kuingat adalah, aku berada di halaman belakang sekolah. Lantas, bagaimana aku bisa berada di kamarku?
"Hah, jam berapa ini?" aku terperanjat mendapati jam yang menunjukkan pukul lima pagi. "Aku ingat aku berada di halaman belakang sekolah pada jam istirahat. Ada apa ini?"
Saat ini, aku tidak bisa menggunakan logikaku. Mungkin aku mulai gila dengan beranggapan aku diculik oleh alien dan dimasukkan ke dalam kapsul waktu lalu melesat ke waktu beberapa jam yang lalu. Ah, karena pusing, kuputuskan untuk mencuci muka di kamar mandi.
Ketika aku sampai di meja makan, kudapati ibuku sudah menyiapkan sarapan untukku. "Ayo sarapan," ajak ibuku.
Aku hanya mengangguk dan beranjak ke meja makan. Seusai makan, aku bergegas berangkat ke sekolah seperti rutinitasku.
"Kuharap tidak ada nasib sial yang menimpaku di sekolah nanti," gumamku.
***
Pensil kuketuk-ketukkan ke atas meja, menimbulkan sedikit suara berisik. Felisha yang duduk di sebelahku merasa sedikit terganggu.
"Kau ini kenapa?" tanya gadis itu dengan tatapan tidak suka.
"Bosan," jawabku singkat.
"Kau tidak memperhatikan penjelasan dari Mrs. Anita?"
"Bukan, aku sudah paham, makanya bosan," jelasku.
Yap, semua materi yang disampaikan dapat kuserap dengan mudah. Entah kenapa, ketakutanku terhadap pelajaran fisika berkurang, atau bahkan hilang. Pelajaran itu tidak terlalu sulit untuk kucerna. Entah apa yang terjadi denganku, seolah-olah keberuntungan selalu berpihak padaku.
***
"Ayo! Ayo! Ayo!" seru Mr. Ferry memberi semangat. Segera kupercepat lariku hingga mendahului ketiga temanku. Ketika sampai di garis finish, aku bersorak dan melompat girang.
"Hebat, pertama kalinya kau menjadi juara pertama dalam lomba lari," puji Mr. Ferry.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
***
"Hari ini aneh sekali, tidak biasanya aku tidak merasakan takut pada pelajaran fisika dan olah raga. Ada apa denganku?" tanyaku pada diri sendiri ketika aku berbaring di kasur, sepulang sekolah.
"Seolah-olah semuanya terasa sangat mudah buatku."
***
Tiga minggu berlalu, semua hari-hariku kujalani seperti biasa. Tidak ada tekanan batin, tidak ada rasa takut, dan tidak ada kecemasan. Semuanya berjalan dengan lancer seperti sungai tanpa bebatuan. Awalnya aku memang suka dengan semua ini. Tapi lama kelamaan, aku mulai bosan. Tidak ada konflik di dalam hidupku. Dan itu membuat hidupku terasa hambar. Aneh ya? Tapi jujur, itulah yang kurasakan. Tidak ada konflik, semuanya membosankan.
Tunggu, bukankah setiap mansia yang hidup akan selalu menerima sebuah ujian atau cobaan, dan konflik? Tapi anehnya, aku tidak mendapatkan komflik apapun dalam hidupku yang sekarang ini. Tidak seperti dulu. Adakah kehidupan seperti ini? Kurasa ada, hanya di dunia mimpi. Di dunia nyata, tak akan ada kehidupan seperti ini.
Lantas, di mana aku hidup saat ini?
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top