My Horrible Pet 3

My Horrible Pet
Part 3

Angin malam meniup lembut rambutku. Sinar rembulan terhalang oleh rimbunyya pepohonan. Suara langkah kakiku yang menginjak aspal terdengar dan menjadi musik yang menemaniku menyusuri jalan besar di tengah malam. Lampu-lampu oranye di pinggir jalan membantuku melihat jalan. Tak lama kemudian, kulihat sebuah sepeda bersandar di sebuah pohon beringin besar. Sepeda itu sedikit kotor namun tak ada kerusakan.

'Hei Niel, bagaimana kalau kita naik sepeda saja? Kantor Papa masih jauh,' ucapku dalam hati.

'Dari awal aku tidak setuju dengan rencanamu ini, Jenny. Kau ini seorang gadis, bukan preman.'

Aku menghela nafas panjang. "Haaah ... Dia sih, nggak bisa diajak kompromi." Aku berjalan mendekati sepeda yang tersandar di pohon beringin itu lalu menaikinya. "Kamu ikut apa nggak?" tanyaku, menatap ke arah Niel.

Kucing berbulu kecoklatan itu segera naik ke keranjang di depan setir sepeda. Ukurannya yang tidak begitu gemuk membuatnya cukup duduk manis di dalam keranjang itu. Aku segera mengayuh sepeda itu menyusuri jalan besar. Semoga saja aku bisa menemukan Papa dan membawanya pulang ke rumah.

DOR!

"Ah, sial," runtukku kesal mendapati ban sepeda bocor karena sebuah paku yang tak sengaja kulindas. Sepeda dengan ban bocor itu kutuntun ke pinggir jalan dan kusandarkan di sebuah pohon. "Hah! Kalau begini, sama saja aku harus berjalan kaki."

'Hei, Jenny. Aku merasa ada sekumpulan orang sedang kemari.'

Pandanganku tertuju pada Niel. 'Apa maksudmu?'

Drap ... Drap... Drap ...

Kini pandanganku tertuju pada tiga orang laki-laki bertubuh kekar dan sebatang rokok di tangan mereka masing-masing. Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Aku punya firasat kalau ketiga orang ini harus kuhindari.

"Hei, Nona. Kau mau ke mana?" tanya seorang laki-laki tinggi berotot dengan jas hitam serta kumis tebal.

"Em ... Siapa kalian?" tanyaku berusaha agar tetap tenang.

"Hehe, kami bukan orang jahat. Bagaimana kalau kau bermain dengan kami sebentar?" kali ini laki-laki agak gendut dan berambut panjang yang berdiri di belakang laki-laki tinggi tadi.

'Hei Jenny, larilah dari sini. Serahkan tiga orang ini padaku,' ucap Niel tiba-tiba. 'Jangan banyak bertanya, sekarang pergilah!'

Kulirik sebuah gang sempit yang tak jauh dari temaptku berdiri. Aku segera berlari masuk ke dalam gang itu dan meninggalkan Niel di sana. Dan saat aku masuk ke gang itu, entah kenapa pikiranku tak bisa menyambung pada Niel lagi. Apa mungkin Niel sudah mati dihabisi tiga orang itu?

Setelah lama berlari menyusuri gang kecil yang berbelok-belok itu, kakiku berhenti berlari. Di depanku berdiri sebuah hotel yang tak begitu besar. Aku heran, bisa menemukan hotel setelah melewati gang sempit itu. Agak aneh, apa letak hotel ini tidak salah?

Aku berjalan memasuki hotel itu. Hotel itu tak begitu ramai. Hanya beberapa motor yang terparkir di halaman hotel. Loby hotel itu juga sangat sepi. Hanya ada seorang kakek tua yang duduk di sofa merah dan membaca Koran. Tiba-tiba saja aku melihat seorang laki-laki berjas berjalan menuju lift.

"Hm? Dia mirip Papa kalau dilihat dari samping," gumamku sambil terus memperhatikan laki-laki itu. Sebuah rasa penasaran besar menabrakku hingga aku mengikuti laki-laki itu masuk ke dalam lift. Aku menutupi hidung dan mulut dengan sapu tangan agar laki-laki itu tidak melihat wajahku sepenuhnya.

Laki-laki itu berbalik untuk bercermin di dinding lift dan merapikan diri. Akhirnya aku melihat wajah laki-laki itu. Bagai tersambar petir, dia adalah Papa Richard yang sedang kucari. Dia tidak berada di kantor, melainkan di sebuah hotel dengan pakaian rapi.

'Hei Jenny, aku kembali,' suara Niel kembali muncul di kepalaku. Akhirnya aku bisa berkomunikasi lagi dengan Niel.

'Niel! Ke mana saja kau? Aku berada di sebuah hotel bersama Papa. Namun dia tidak menyadari keberadaanku karena aku menutup sebagian wajahku dengan sapu tangan. Kalau dilihat, Papa ingin menemui seseorang yang sangat penting karena dia berdandan dengan sangat rapi.'

'Aku akan menysul, tunggu aku di lantai paling atas.'

Lift berhenti di lantai lima, lantai paling atas. Papa dan aku keluar dari lift. Papa berjalan mencari kamar yang dia pesan sebelumnya. Aku bertanya-tanya, siapa yang akan Papa temui di hotel?

Papa berhenti di sebuah kamar dengan nomor 133. Aku bersandar pada pintu bernomor 132. Tak lama kemudian, keluarlah seorang wanita muda yang berpakaian minim. Dia merangkul pundak Papa dengan manja.

'Ah, siapa dia?' batinku.

'Apa?' balas Niel.

'Papa bertemu seorang wanita yang berpakaian minim. Apa dia melupakan Mama?'

'Hah? Tunggu, aku akan masuk melalui jendela.'

Tak lama kemudian, jendela di sampingku pecah dan Niel masuk ke dalam hotel. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa Niel naik ke lantai lima?

'Waw, wanita itu tampak menggoda Papamu,' ucap Niel sambil memperhatikan Papa yang masuk ke dalam kamar itu.

'Ah! Rupanya Papa selingkuh!' batinku kesal. Ingin rasanya aku mendobrak pintu dan melabrak Papa dan wanita kurang ajar itu.

'Hei Jenny, aku bisa mengatasi wanita itu. Tapi kau tidak boleh melihat bagaimana aku mengatasi mereka,' ucap Niel tiba-tiba.

'Apa maksudmu?' tanyaku tidak mengerti.

'Sudahlah, masukkan aku ke dalam kamar itu lalu tutup pintunya!' seru Niel dengan tatapannya yang tajam.

Tanpa banyak bertanya lagi, aku mendobrak pintu. Tentu saja Papa dan wanita misterius itu terkejut melihatku yang tiba-tiba membuka pintu kamar tanpa permisi. Segera Niel masuk ke dalam kamar dan aku menutup pintu dengan keras. Setelah Niel berada di dalam, aku bersandar di dinding dan menghela nafas.

Tiba-tiba saja dari dalam kamar terdengar suara teriakan seorang wanita disusul dengan teriakan laki-laki yang familiar buatku. Rasa penasaran mendorongku untuk membuka pintu dan melihat apa yang terjadi.

Brak!

"Oh astaga." Aku melotot melihat seekor kucing dengan tinggi tiga meter dan tubuhnya yang sebesar rak buku. Dikuku kucing itu kulihat banyak darah dan daging segar. Di lantai terlihat banyak rambut panjang bertebaran. Darah segar menggenangi lantai hingga kasur. Dan di pojok ruangan, Papa sedang mendorong tembok sambil berteriak histeris serta menatap ke arah kucing itu.

"AAaaa ... Kau monster!" seru Papa dengan matanya yang melotot.

"Apa yang terjadi? Niel, kau di mana?"

Namun pertanyaanku tak dibalas oleh Niel melalui pikiran. Kalau dilihat, kucing raksasa itu mirip dengan Niel. Hanya saja, kukunya berwarna hitam dan sangat panjang. Apa mungkin kalau monster itu adalah Niel?

Tiba-tiba saja monster kucing itu mengecil dan berubah menjadi anak kucing yang menggemaskan. Dan ... Aku tahu siapa anak kucing itu.

"Niel? Itu kau?"

'Yah, ini aku. Sudah kubilang untuk tidak membuka pintu, kan?'

"Kau monster? Kau memakan wanita itu?" tanyaku dengan suara tinggi.

Sementara itu, Papa Richard hanya terdiam sambil melihat dan mendengarkan percakapanku dengan Niel. Aku yakin Papa menganggapku gila karena bicara pada seekor kucing.

'Wanita itu yang membuat Papamu lupa pada Mamamu. Harusnya kau berterima kasih padaku. Apa perlu aku memakan Papamu supaya kau hidup bahagia dengan Mamamu?'

"Hah? Apa kau gila? Tidak! Berhenti memakan daging manusia!" teriakku.

'Wah, tapi aku lapar. Daging itu makanan favoritku, dan kau tidak memberikannya minggu ini, kan?'

"Jadi ... Aku menyesal membawamu ke rumahku, kucing sialan!" bentakku dengan kaki menghentak lantai.

'Wow, oke. Aku beri pilihan. Berikan daging Papamu dan kau bisa hidup bahagia dengan Mamamu dan aku akan pergi dari rumahmu. Atau berikan dagingmu agar Papamu hidup bahagia dengan Mamau. Apa pilihanmu?'

Pilihan macam apa ini? Apa aku harus memilih salah satu kebahagiaan seseorang? Kebahagiaanku atau kebahagiaan Papa dan Mama? Aku ingin bahagia dengan Mama tanpa ada gangguan dan monster ini. Aku ingin melanjutkan sekolah bersama sahabat-sahabatku. Aku ingin .... Dan .... Keputusanku adalah ...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
"Makan saja aku dan bebaskan Papaku lalu pergi dari rumahku!"

YES! That is my choice. Itu pilihanku. Aku tidak ingin menjadi orang yang egois yang mementingkan kebahagiaanku sendiri. Setidaknya aku bisa mati setelah membahagiakan kedua orang tuaku.

'Pilihan yang bijak, Nona.'

Tubuh Niel membesar dan meninggi. Kukunya menghitam dan memanjang. Taring tajamnya siap menerkam apa yang ada di hadapannya. Sorot matanya sangat menyeramkan, bagai malikat maut yang mengincar nyawa manusia. Kakinya ia langkahkan ke arahku. Aku menutup mata rapat-rapat, tak mau melihat apa yang terjadi selanjutnya.

"Selamat tinggal, Papa. Terima kasih telah memberikan kasih sayangmu padaku. Setidaknya nyawaku bisa membalas kasih sayang darimu yang tak ternilai harganya."

Crash!

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top