My Horrible Pet 1

My Horrible Pet

Part 1

Perasaan bimbang itu kembali menghantuiku. Entah mengapa, setiap kali aku melihat Mama, perasaan itu datang kembali. Perasaan bimbang ini membuatku tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran di sekolahku. Teman-temanku sering bertanya padaku. "Daijobu dessu ka?"

Aku hanya tersenyum kecil lalu menjawab, "Watashi wa daijobu yo."

Pagi hari, pukul enam. Aku melihat Mama kembali sibuk dengan hand phonenya. Setiap hari, Mama selalu tak lepas dari hand phonenya selama berjam-jam. Bahkan pekerjaan rumah terkadang ia lewatkan hanya untuk membalas chating dari "Dia". Aku ingat, terakhir kali aku bertemu dengan "Dia" adalah kemarin. Dia memakai jas hitam dan celana jeans abu-abu. Dia membawakan Mamaku rangkaian bunga mawar. Bisa kulihat wajah berseri-seri Mama saat menerima bunga pemberiannya. Aku mulai merasa kalau Mama mulai mencintainya. Yah, aku tahu, laki-laki itu juga mencintai Mamaku. Tapi sebuah perasaan aneh selalu muncul saat melihat kedekatan mereka.

Aku hanya gadis 12 tahun yang masih tak tahu banyak. Yang ada di otakku hanya khayalanku di dunia anime. Yah, dunia anak-anak.
***

"Ma, aku mau punya peliharaan," pintaku pada suatu hari di dalam mobil. Aku dan Mama sedang dalam perjalanan ke sebuah mall. Tidak hanya kami, ada juga Om Richard. Laki-laki yang mungkin akan menjadi pasangan Mama, pengganti kedudukan Ayahku.

Om Richard menoleh ke arahku. "Jenny mau punya peliharaan? Tapi nanti harus Jenny rawat dengan baik, ya. Karena memelihara hewan itu tanggung jawabnya berat. Kamu harus memberi makan dengan rutin, membersihkan kandangnya, memperhatikan kebersihannya, memberinya vitamin ..."

Om Richard mengoceh tentang hewan peliharaan. Aku tahu Om Richard memang laki-laki yang cerewet. Sama persis seperti Ayahku. Aku hanya menjawab, "Iya Om," setelah dia mengakhiri celotehannya.

Mataku menangkap sebuah toko kecil dengan banyak hewan di luarnya. Aku tak menemukan tulisan Pet Shop di toko itu. Tapi kalau dilihat, memang toko itu tampaknya adalah toko hewan. Aku menepuk pundak Om Richard yang mengemudikan mobil.

"Om, ada pet shop di sana," kataku seraya menunjuk toko kecil yang kulihat. Om Richard menghentikan mobil di kepinggir jalan.

"Apa benar itu toko hewan? Tidak ada tulisan Pet Shop," tanya Om Richard sambil menatap toko di depannya.

Aku tak memperdulikan soal tulisan Pet Shop pada toko, pokoknya di toko itu banyak sekali hewan. Kebanyakan sih, kucing dan anjing. Aku melihat satu persatu hewan. Kira-kira aku mau ambil yang mana, ya?

"Miaw!"

Suara anak kucing menarik perhatianku. Aku mengamati anak kucing itu. Kucing itu berwarna coklat muda dengan tiga belang ungu di badannya. Sepertinya anak kucing itu baru bersuia 1-2 bulan kalau dilihat dari ukurannya. Mataku berbinar-binar menatap anak kucing imut itu. Aku heran, kenapa tidak ada yang mengadopsi anak kucing seimut ini?

"Ma, aku mau ambil anak kucing ini." Aku menunjuk ke arah anak kucing itu. Lalu aku memilih kandang kucing berukuran sedang dengan warna pink, tempat makan, makanan, tempat pasir, serta pasirnya. Waw, aku baru tahu kalau merawat kucing, pengeluarannya juga besar. Bahkan mengalahkan biyaya kebutuhanku setiap bulan.
***

Aku menaruh beberapa sendok makanan kucing ke wadah yang berbentuk bundar di hadapan Niel. Dengan cepat, Niel melahap makanan yang baru saja kuberikan padanya beberapa detik yang lalu. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kucingku yang rakus ini. Dia makan dengan cepat, dalam waktu setengah menit saja makanan itu sudah habis ia sambar.

"Astaga, kamu laper apa doyan?" tanyaku pada Niel yang menatapku, meminta makanannya ditambah.

"Miaw!"

Akhirnya aku menambah porsi makan Niel. Dasar, dia itu badannya kecil, tapi porsi makannya kaya kucing yang sudah tua. Dia itu kucing dari abad berapa, sih?

"Jenny, bagaimana Niel? Apa dia makan dengan lahap?" tanya Mama yang datang menghampiriku dan Niel.

"Nggak Cuma lahap, tapi rakus," sahutku.

Mama hanya tersenyum lalu menatap jam di tangannya. "Jenny, Mama harus ke hotel. Richard menunggu Mama di sana. Apa kamu mau ikut?" tawarMama.

"Ini sudah malam? Masa iya Mama mau keluar? Kalau Mama mau keluar, aku juga ikut." Aku beranjak dari kandang Niel. Menatap kucing rakus itu sejenak, lalu pergi ke kamar.Aku memilih gaun ungu dengan renda putih dan menambah bando kelinci di kepalaku. Kupilih sepatu tanpa hak berwarna merah strawberry untuk menghiasi kakiku. Nah, semuanya sempurna. Setelah siap, aku dan Mama masuk ke mobil dan pergi ke hotel.
***

Kejadian semalam masih terngiang di kepalaku. Aku tak menyangka, Om Richard akan melamar Mama di hotel itu. Aku tahu hal itu akan terjadi. Hanya saja, aku tak menyangka akan terjadi secepat ini. Perasaan bimbang itu datang lagi. Sebenarnya ada apa denganku?
***

'Jenny, apa yang kau pikirkan?'

Tiba-tiba sebuah suara muncul di kepalaku. Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku. "Ah! Karena perasaan bimbang itu, kurasa aku mulai gila!" teriakku frustasi pada suatu hari di kamar.

'Kau baik-baik saja. Ini aku, Niel.'

"Apa-apaan ini? Bagaimana bisa kucing bicara? Kenapa suaramu ada di kepalaku?" tanyaku pada diri sendiri. Aku beranjak turun dari ranjang dan pergi ke ruang tamu. "Niel!" seruku.

'Apa? Kau masih tidak percaya?'

"Kau bukan kucing! Iya kan?" tanyaku pada Niel. Kurasa aku mulai gila karena bicara pada kucing. Mana mungkin aku mengerti apa perkataan seekor kucing?

'Aku kucing, dan aku kucingmu. Kenapa kau sulit percaya?'

"Niel! Kau ...!"

"Jenny, ada apa denganmu? Kau baik-baik saja? Kenapa kau marah-marah pada Niel seperti itu?" tanya Mama yang tak sengaja melihatku bicara pada Niel.

"Eh, bukan apa-apa, Ma." Aku memasang ekspresi datar, berusaha agar Mama tidak curiga. Aku melirik Niel sebentar sebelum pergi ke meja makan untuk sarapan.

'Ada yang nggak beres sama kucing itu,' gumamku dalam hati.

"Ma, mau ketemu Om Richard lagi?" tanyaku saat sarapan bersama Mama.

Mama menatapku. "Sebentar lagi dia akan menjadi Ayahmu. Jadi panggil dia dengan sebutan Papa, Ok?"

"Yeah," balasku dengan lemas.

Aku menatap sepotong daging sapi panggang yang tersisa di piringku. Aku tak selera utuk makan daging hari ini. Aku hanya menghabiskan sup dan nasi. Kalau dibuang, pasti sayang. Bagaimana kalau aku berikan pada Niel? Siapa tahu dia suka daging?

"Niel, apa kamu suka daging?" aku membuka pagar kandang dan menyodorkan sepotong daging panggang itu di hadapan Niel.

Seketika perubahan terjadi. Kuku-kuku Niel menghitam dan memanjang beberapa centi meter. Matanya menjadi hitam seluruhnya. Dan suaranya menjadi sedikit menyeramkan.

'Terima kasih, Jenny. Itu makanan favoritku,' suara itu datang lagi.

"Hah?"

***

Sejak aku memberi Niel daging itu, entah bagaimana aku bisa berkomunikasi dengan Niel hanya dengan pikiran. Jadi Mama tak akan menganggapku gila karena bicara sendiri dengan kucingku. Sejak saat itu, aku menyadari kalau Niel bukan kucing biasa. Dia kucing ajaib yang setia pada majikannya. Hehe .. Beruntungnya aku memiliki kucing seperti dia. Aku selalu memberi Niel daging satu minggu sekali. Mama bahkan tidak tahu kalau Niel sangat suka daging. Aku selalu sembunyi-sembunyi memberi Niel daging.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top