I Am A Writer 2

I Am A Writer

Part 2

Dok-dok-dok!

"Zelvia? Kau dengar Ibu?"

Yeah, aku mendengarnya. Hanya saja, aku tak mungkin membuka pintu itu. Aku bisa disangka gila, dan aku akan dikirim ke rumah sakit jiwa. No no, aku tidak mau hal itu menimpaku.

Dok-dok-dok!

"Zelvia?"

"Iya, Bu! Semua baik-baik saja, aku dan Kak Bill sedang menonton film," jawabku seratus persen berbohong.

"Segera ke meja makan dan makan siang," ucap ibuku, setelah itu kudengar langkah kakiknya yang menjauh dari depan pintu kamar.

"Kalau pintu ini terbuka, tamatlah riwayatku. Lebih baik kukunci saja, lalu bergegas meninggalkan tempat ini sebelum ada yang melihat jasad Kak Bill." Aku membuka laci meja Kak Bill, benda yang kucari-cari tersimpan di sana. Namun aku kembali teringat dengan rencanaku. Kubuka lemari Kak Bill, mengambil ranselnya yang tidak terpakai dan memasukkan laptopku ke dalamnya. Kubongkar isi laci meja Kak Bill, mencari benda yang dapat kugunakan untuk membeli makanan. Yap, aku mencari uang tabungan Kak Bill yang dia simpan di laci meja.

"Aha, dapat. Ok, apa lagi yang kuperlukan," kuedarkan pandanganku, mencari-cari sesuatu yang berguna. Mataku berhenti pada jaket biru tua kusam milik Kak Bill. Mungkin, setelah orang tuaku menemukan mayat Kak Bill, mereka akan melapor pada polisi dan mencariku. Yah, siapa tahu jaket ini berguna untuk penyamaran.

"Mungkin beberapa hari kemudian wajahku akan terpampang di media masa dengan tulisan 'wanted'. Ah, ini menyebalkan," aku segera menyambar jaket biru itu dan memasukkannya ke dalam tas. Kuseret kursi meja belajar ke dekat jendela yang tak dapat kugapai. Kunaiki kursi itu dan melompat ke luar jendela. Sesaat sebelum aku berlari meninggalkan rumah, aku berbalik dan mengucapkan, "Sayonara good bye."
***

Tik-tik-tik ....

Rintik hujan membasahi bumi serta penghuninya. Aku bersandar di depan sebuah restoran yang belum buka. Mataku memandang jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Walau hujan seperti ini, aktivitas tetap berlangsung.Melihat suasana ini, ingin rasanya aku melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Namun sebelum itu, aku harus mencari tempat yang nyaman untuk menulis.

Tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam restoran yang aku yakin masih tutup. Aku melangkah maju dan melihat tulisan "tutup" kini telah berganti menjadi "buka".

"Ah, restorannya sudah buka, sebaiknya aku masuk," kulangkahkan kakiku masuk ke dalam restoran itu. Di dalam jauh lebih baik dari pada di luar. Hawa di restoran itu hangat, berbeda dengan hawa dingin di luar sana. Aku memilih meja kosong di dekat jendela, kemudian seorang pelayan menghampiriku.

"Dik, kamu datang bersama orang tuamu?" tanya pelayan itu.

Kugelengkan kepalaku. "Aku datang sendiri, bisa aku minta menunya?"

Sesaat pelayan itu mengerutkan kening, heran melihat bocah 10 tahun makan di restoran seorang diri tanpa orang dewasa. Dia menyodorkan buku menu padaku.

"Hm ... Aku pesan kue keju dan jus semangka, ya." Aku mengembalikan buku menu pada pelayan itu. Pelayan itu mengangguk lalu beranjak meninggalkanku.

Kubuka laptop dan membuka file ceritaku. Aku ingat jalan terakhir dari cerita itu, si gadis kecil membantu ibunya memasak daging. "Ok, waktunya bekerja!"

30 menit kemudian, aku masih tetap berada di depan layar laptop. Beberapa paragraf telah kutulis. Cerita ini baru setengah jalan, kuusahakan agar tamat hari ini juga. Aktifitasku terhenti begitu kue keju dan jus semangka yang kupesan mendarat di meja. Kuputuskan makan terlebih dahulu dan berhenti menulis sejenak. Terbesit di pikiranku untuk membawa pisau yang kugunakan untuk makan kue ini. Entah untuk apa, yang jelas kusimpan di dalam tasku.

Oke, aku baru keluar dari restoran itu, dan hujan telah berhenti. Sore berganti malam, kupandangi langit yang berhiaskan bintang-bintang. Terbayang di benakku, wajah kedua orang tuaku, pasti mereka mencemaskanku. Mungkin mereka akan berpikir bahwa ada penculik masuk ke dalam rumah dan membunuh Kak Bill, dan aku melarikan diri melalui jendela. Yah, semoga saja mereka berpikir seperti itu, dengan begitu aku akan aman dan jauh dari rumah sakit jiwa.

Bruk!

Karena sibuk melamun sambil berjalan, tak sengaja aku menabrak seseorang. Secara reflek mataku tertuju pada orang yang kutabrak tadi. Seorang pria yang tampaknya berusia 24 tahun yang mengenakan jas putih layaknya seorang dokter berdiri di hadapanku.

"Um ... Maafkan saya, Pak," ucapku berusaha sopan.

Pria tanpa kumis itu tersenyum hangat. "Tidak masalah, Dik. Mengapa adik berkeliaran di jalan malam-malam begini? Ke mana orang tuamu?" tanya dokter itu lembut.

Aku terdiam sejenak dan berpikir. Haruskah aku jujur? Bagaimana jika pria ini melaporkanku pada polisi? Bisa-bisa aku diseret ke penjara atau rumah sakit jiwa. Mulutku masih terkunci untuk memberikan jawaban selama beberapa detik.

Pria itu menyadari reaksiku yang tak memberikan jawaban. "Siapa namamu,Dik?" pria itu mengganti pertanyannya.

"Zelvia McKeyla," jawabku dengan kepala tertunduk.

"Nama saya, Feiriz, panggil saja Mr. Fei," jawab pria yang mengaku bernama Feiriz.

"Maaf sebelumnya Mr. Fei, apa anda seorang dokter?"

Yang ditanya memamerkan senyum lebar. "Kamu tanya begitu karena jas putih saya ini, ya?"

Aku garuk-garuk kepala lalu memasang cengir kuda.
***

"Haha .... Harusnya Anda tidak melempar puntung rokok yang masih menyala ke dalam tong sampah," komentarku setelah mendengar ceritanya yang menegangkan.

"Kamu benar, harusnya kumatikan dulu apinya. Untung saja tragedi itu tidak memakan korban jiwa," ucap Mr. Fei diakhir ceritanya.

Karena larut dalam obrolan seru itu, tak terasa kami telah tiba di rumah sakit tempat Mr. Fei bekerja. Dia bilang, dia bekerja sebagai dokter bedah di rumah sakit ini. Praktek pada malam hari sudah menjadi kebiasaannya, rasa kantuk bahkan sama sekali tak tampak di wajahnya.

Kreekk ... Lampu di loby masih menyala terang, membuat kesan angker di rumah sakit itu tak tampak, setidaknya karena lampunya masih menyala. Kami masuk ke dalam lift, dan naik ke lantai tiga, tempat di mana ruangan Mr. Fei berada.

"Kau tinggal di mana, Zel?" tanya Mr. Fei ketika kami melewati lorong dengan cahaya minim.

"Em ... Di ... Di ...." Mulutku lagi-lagi terkunci untuk memberikan jawaban pada pria ini. Entah apa yang kurasakan, feelingku mengatakan kalau Mr. Fei bukanlah pria yang baik.

"Tak masalah, kamu bisa menginap di tempatku untuk sementara waktu," ucapnya setelah suasana hening beberapa detik yang lalu.

Aku menghela nafas lega. "Berapa banyak dokter yang bekerja di rumah sakit ini, Sir?" tanyaku penasaran.

"Dulunya ada sepuluh dokter, lalu satu dokter dipecat karena disangka psikopat. Kemudian dokter itu kembali lagi ke rumah sakit ini untuk membuktikan kalau dia bukan seorang psikopat," jawabnya seraya menekan engsel pintu dan masuk ke dalam ruangannya.

"Siapa dokter itu?" tanyaku lagi.

"ZF, itu julukannya," jawab Mr. Fei singkat.

Kulirik jam dinidng yang menunjukkan pukul dua belas malam. Pantas saja sedari tadi mataku terasa berat. "Sir, bisakah aku menginap di sini untuk mala ini saja? Aku akan pergi besok."

"Terserah padamu."
***

Keesokan harinya, aku terbangun karena sinar mentari pagi yang menerpa wajahku. Aku bangkit dari posisi tidur dan mendapati Mr.. Fei menyodorkan sebungkus nasi.

"Ayo sarapan," ucapnya.

Aku segera mengambil sebungkus nasi itu dan membukanya. Karena perutku lapar, maka makanan itu ludes hanya dalam beberapa menit.

"Sir, bisa temani aku mengelilingi rumah sakit ini?" pintaku setelah meneguk segelas air.

Kami berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah sakit yang diterangi cahaya rmang-remang. Setelah lama berjalan, kami sampai di depan ruang operasi. Kutekan engsel pintu dan mendorongnya. Kulihat beberapa dokter di dalam ruangan itu menoleh ke arahku. Tiba-tiba saja pandangan mereka tertuju pada sosok di belakangku, Mr. Fei.

"Apa yang anda lakukan di sini? Gyaaa ...!" salah satu pria berjas putih yang berada di ruangan itu menerjang Mr. Fei, hendak melayangkan sebuah pukulan padanya. Aku segera menghindar dan berlari menjauhi kedua dokter yang sedang berkelahi itu.

"Apa yang terjadi?" tanyaku kebingungan.

"Nak, mereka semua tidak waras. Tolong aku ...!" teriak Mr. Fei yang telah dikepung oleh para dokter di ruangan ini.

Sontak aku membuka tasku dan mengambil pisau yang kubawa dari restorant waktu itu. Kakiku berlari dengan cepat ke arah salah satu dokter dan menusuknya dengan benda di tanganku ini. Dokter dengan pisau di punggungnya itu berbalik, kemudian menyerangku dengan gerakan yang oleng. Kali ini aku setuju dengan Mr. Feiriz kalau semua dokter di sini memang tidak waras.

Kuambil langkah mundur, menjauhi dokter yang bergerak dengan oleng tersebut. Mataku mencari-cari sesuatu yang dapat kugunakan sebagai senjata. Ah, tatapanku tertuju pada jarum suntik yang tergeletak di atas meja. Tangan kananku segera meraih jarum suntik tersebut dan melemparkannya tepat ke mata kanan sang dokter. Dia mengerang kesakitan, hingga tubuhnya jatuh dan bertumpu pada kedua lututnya.

"Ah, jadi aku berhadapan dengan dokter gila. Yeah, tidak terlalu buruk," ucapku seraya mengibaskan kedua tanganku. Aku berdiri di belakang meja yang di atasnya terdapat banyak jarum suntik. Beberapa dokter berbalik arah dan menghadap ke arahku. Kedua tanganku dengan cekatan mengambil jarum suntik dan menusukkannya ke mata mereka.

"Yak! Rasakan!" seruku yang masih melempar jarum suntik.

Sedikit demi sedikit, para dokter yang tak waras itu berjatuhan dengan jarum suntik yang bersarang di mata mereka. Kulihat Mr. Fei yang berdiri tegap sambil menggelengkan kepala.

"Apa?" tanyaku dengan tampang polos.

Melihat reaksiku, Mr. Fei malah tertawa. "Aku tidak tahu kalau gadis sepuluh tahun dapat membuat sekelompok dokter tak waras pingsan."

"Apa semua dokter di rumah sakit ini memang tidak waras?" tanyaku sambil mengikuti Mr. Fei yang berjalan ke arah pintu.

Dia menutup pintu lalu menguncinya. "Tidak, sebenarnya hanya satu dokter yang tidak normal di rumah sakit ini."

"Hah?"

Mr. Fei berbalik dan menghadapku. "Apakah Ibumu tidak mengajarkan padamu untuk tidak mudah mempercayai orang asing?"

"Ya, tentu saja," jawabku berusaha tetap tenang.

"Kalau begitu, kau telah salah mempercayai orang, nona muda." Pria berjas putih itu mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya, sebuah pisau.

Mendadak perasaanku tidak enak. Entah mengapa aku teringat dengan ceritaku, tentang dokter psikopat. Dan sekarang, aku berhadapan dengan dokter psikopat sungguhan.

"Kau tahu, ZF itu adalah singkatan dari Zirief, dan coba kau balik namanya."

"Feiriz," ucapku pelan. Sontak aku menatap tajam ke arah dokter yang telah menipuku. Rupanya dialah dokter yang disangka psikopat tersebut.

Kuputar otakku untuk bisa lolos dari dokter itu. Mataku tertuju pada pisau yang tertancap di punggung salah satu dokter yang kusangka tak waras tadi. Aku menunduk ketika Mr. Fei hendak menghujamkan pisaunya ke arahku. Aku berlari selagi ada kesempatan, melompat menginjak tubuh dokter yang bergelimpangan di lantai, dan mencabut pisau itu. Nafasku memburu, jantungku berpacu dengan cepat. Kuangkat salah satu tubuh dokter di dekatku, dan menggunakannya sebagai tameng dari pisau Mr. Fei.

"Kau cerdas juga," ucap orang yang telah salah kupercayai itu.

Trash! Pisau itu menembus perut dokter yang kugunakan seebagai tameng, dan akhirnya berhasil menembus dadaku. Saat itu juga rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku.

"Argh!" aku terduduk lemas, pandanganku perlahan mulai memburam.

Di kepalaku, tergambar adegan di ceritaku, ketika anak kecil itu terbunuh oleh dokter psikopat di sebuah rumah sakit. Tak kusangka, aku akan mengalami kejadian yang sama seperti di dalam ceritaku. Dan, aku tahu bagaimana akhir dari adegan ini.

"Sampai bertemu lagi, penulisku, Zelvia."

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top