House Of Corpse
House Of Corpse
Tatapanku tak lepas dari pintu café yang terbuka. Aku terus berharap agar ada seorang pelanggan yang masuk ke dalam café sederhana ini dan menghabiskan waktunya di sini. Belakangan ini, café milik keluargaku ini sepi pelanggan. Bukan karena menu yang tidak enak, harga yang kemahalan. Penyebabnya adalah penduduk di kota ini sedikit. Lima tahun lalu, ketika aku berusia 20 tahun, kota yang kutinggali ini tidak sepi seperti sekarang. Dulu, kota ini ramai akan penduduk. Jalan raya selalu padat, café dan restorant juga selalu penuh. Namun seiring berjalannya waktu, populasi penduduk di kota ini mulai berkurang. Bukan karena virus penyakit, aku tak tahu penyebabnya. Mungkin saja mereka terbunuh.Yah, kita tak kan pernah tahu berapa lama kita hidup di dunia ini, kan?
"Peter, apa kau tak bisa menarik seorang pelanggan?" tanya ibuku yang muncul tiba-tiba di pintu di belakangku. Sontak lamunanku buyar seketika.
"Maaf, Bu. Mungkin hari ini tidak ada pelanggan," ucapku kecewa seraya menunduk lesu. Beberapa detik kemudian, kudengar ibu menutup pintu dan langkahnya mulai menjauh.
Kuhela nafas panjang, sambil menopang dahi dengan kedua tangan. "Sampai kapan hal ini akan terjadi padaku."
Kulirik jam yang tertempel di dinding sisi kanan, jam itu menunjukkan pukul tujuh malam yang berarti café harus tutup. Aku beranjak dari tempat kasir, hendak membalikkan tulisan buka menjadi tutup. Ketika aku akan menutup pintu, mataku menangkap sosok gadis berlari masuk ke dalam café.
"Maaf, apa cafenya sudah tutup? Bisa aku minta tambahan waktu?" tanya gadis itu dengan terengah-engah.
Aku berfikir sejenak. Sebenarnya, cafenya sudah tutup, sih. Tapi, sayang sekali kalau pelanggan diusir. Jadi ya .... "Ah, ya tentu. Silahkan masuk," ucapku mempersilahkan gadis itu masuk.
Gadis yang belum kuketahui namanya itu duduk di meja yang berdekatan dengan meja kasir. "Bisa aku pesan jus? Aku sangat kehausan, tolonglah," pinta gadis itu tanpa melihat buku menu yang kusodorkan.
"Kau yakin tak mau melihat menunya?" tanyaku memastikan.
"Ya, cepatlah. Aku benar-benar kehausan."
Kubawa kembali buku menu di tanganku dan bergegas ke dapur untuk membuatkan jus pesanan gadis itu. Ah ya, dia tidak bilang memesan jus apa, jadi bagaimana? Kalau aku memilih buah dengan asal, bisa saja dia marah. Ah, tapi tampaknya dia tidak akan banyak protes melihat kondisinya yang seperti itu. Aku membuka pintu di belakang kasir dan berlari menuju dapur. Kebetulan ibuku belum tidur, dia masih menonton drama di televisi.
"Mengapa kau berlari secepat itu? Kau tidak melihat hantu, kan?" tanya ibuku yang melihatku buru-buru masuk ke dapur.
"Ada seorang gadis yang datang, dia sangat kehausan," jawabku dengan suara agak nyaring dari dapur.
Kukupas beberapa buah alpukat, memasukkannya ke dalam blender, dan menambahkan segelas air serta es batu. Setelah buah alpukat hancur dengan sempurna, kutuang ke dalam gelas. Buru-buru kuambil nampan dan berlari ke luar dapur.
"Silahkan, Nona," ucapku seraya meletakkan jus itu di hadapan gadis tadi.
Begitu pesanannya datang, segera dia menyambar minuman itu dan meneguknya sampai habis hanya dalam beberapa menit.
"Waw, apa kau baru saja mendaki gunung?" tanyaku, lalu duduk di depan gadis itu.
Dia meletakkan gelas yang isinya telah habis. "Aku baru saja berlari dengan kecepatan kilat dari kantor, dan sampai di café ini."
"Kenapa kau berlari? Ada hantu yang mengejarmu?" tanyaku asal.
"Hah, tidak lucu. Saat itu aku sedang lembur, dan tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki di lorong. Aku kira ada seorang penjahat yang masuk, jadi aku berlari secepat yang kubisa," jelasnya.
"Oh," balasku. "Ngomong-ngomong, siapa namamu, Nona?"
"Rebecca Harris," jawab gadis itu singkat.
"Nama yang bagus," komentarku.
Setelah kalimat dariku itu, suasana di antara kami hening sejenak. Aku tidak tahu topik apa yang cocok untuk dibicarakan dengan seorang gadis.
"Hei, kau pemilik café ini?" tanya Rebecca memecah keheningan.
Kuanggukkan kepalaku. "Lebih tepatnya anak dari pemilik café ini."
"Kota ini sangat sepi, ya? Populasi di kota ini tak seramai dulu. Menurutmu apa penyebabnya?"
"Mungkin mereka terbunuh, kita tak pernah tahu berapa lama kita hidup di dunia ini, kan?" jawabku santai.
Gadis berambut pirang itu menatapku heran, lalu kembali tersenyum. "Mungkin kau benar. Ah ya, ini uangnya, aku harus pulang," gadis itu beranjak dari kursi setelah menyodorkan beberapa lembar uang.
Segera kuterima uang itu, dan mengantarnya ke luar café.
"Aku harap kau berkunjung kemari kapan-kapan," ucapku sambil tersenyum hangat.
"Tentu."
***
"Peter, mengapa kau tak menahan gadis itu ketika dia keluar dari café?" tanya ayahku pada tengah malam.
"Maaf, Yah. Akan kupersembahkan gadis itu untuk kalian besok jika dia datang lagi," ucapku sambil tertunduk. Karena terlalu asyik mengobrol dengan Rebecca, aku lupa apa yang haus kulakukan pada pelanggan di café ini.
"Hari ini kita hanya mendapat satu orang pelanggan, dan kau membiarkannya pergi. Kau tahu bahwa dalam sehari, kita membutuhkan minimal tiga orang pelanggan," ucap ibuku dengan sedikit membentak.
"Kau tidak berguna, Peter. Besok, kau harus mencari empat orang pelanggan, aku tidak mau tahu!" bentak ayah, kemudian dia meninggalkan ruang keluarga.
Ah, aku sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Beberapa hari belakangan ini, café memang sepi. Dan hal itu membuat kedua orang tuaku beranggapan bahwa aku tak mampu menjalankan usaha café ini.
Kalau kalian ingin tahu, penyebab utamanya adalah populasi penduduk di kota ini sedikit. Namun aku masih belum mengutarakannya pada kedua orang tuaku. Ketika mereka mulai membentakku, aku hanya menundukkan kepala dan terdiam.
***
Keesokan harinya, aku sibuk menyiapkan café sejak pukul empat pagi tadi. Jam menunjukkan pukul tujuh, segera kubalik tulisan tutup yang tergantung di depan pintu menjadi buka. Sambil menunggu pelanggan, aku duduk di meja kasir sambil memandang ke luar jendela.
Beberapa jam kemudian, suasana tak kunjung berubah. Hening, sunyi, tak ada pelanggan satupun pagi ini. Rasa bosan pun menyerang, kalau boleh aku ingin tidur. Tapi, aku harus menjaga café ini.
Ting! Tiba-tiba saja bel di depanku berbunyi hingga membuatku terlonjak kaget. Kuangkat kepalaku yang kuletakkan di atas meja dan menatap siapa yang datang.
"Ah, selamat datang Bec," ucapku pada gadis yang kemarin menjadi pelanggan pertama.
"Hei, boleh aku minta buku menunya?" pinta gadis itu dan berjalan ke meja yang dekat dengan jendela.
Kusodorkan buku menu yang kupegang pada gadis itu. Beberapa menit kemudian, dia mengutarakan pesanannya padaku. Tanpa mencatat pesanannya di kertas, aku bergegas menuju dapur dan menyiapkan pesanan tamu spesial ini.
"Hei, maaf membuatmu menunggu," ucapku buru-buru meletakkan omelette keju dan coklat panas di meja Rebecca.
"Hei, santai saja," gadis itu tertawa kecil melihat tingkahku, "aku bukan pelanggan yang tidak sabaran."
Aku duduk di depannya. "Hei, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Peter Dawson," ucapku seraya mengulurkan tangan.
Rebecca menyambut uluran tanganku. "Senang bertemu denganmu, Tuan Dawson."
Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah pintu. Kututup pintu dan menguncinya, tak lupa memastikan pintu itu benar-benar terkunci.
"Mengapa kau mengunci pintunya?" tanya gadis itu dengan tampang polos.
Kudekati gadis itu, menyambar pisau yang dia gunakan untuk memotong omelette, lalu menghujamkannya tepat ke kerongkongannya.
"Ahk!"
"Maafkan aku, Bec. Tapi hanya dengan membunuhmu, aku dapat membuat kedua orang tuaku senang dan membuktikan kalau aku mampu menjalankan usaha keluargaku ini."
Kugendong tubuh gadis yang baru kubunuh beberapa menit yang lalu ke dapur. Kupotong tubuhnya menjadi beberapa bagian, dan menyajikannya di atas piring. Kubawa dua piring berisi daging segar itu ke meja makan.
"Lihat, aku membawakan makanan. Jadi, Ayah percaya sekarang kalau aku mampu menjalankan usaha café ini?" tanyaku seraya meletakkan kedua piring itu di atas meja.
"Yah, itu bagus Peter. Tapi ...," ucap ayahku menggantung.
"Apa?"
"Porsi itu hanya cukup untuk Ayahmu saja," sambung ibuku.
Aku tertegun mendengar ucapan ibuku barusan. Aku meruntukki diriku sendiri. "Bodoh, harusnya aku membawa dua mayat tadi," batinku dalam hati.
"Carilah satu pelanggan lagi, barulah kami akan percaya," jawab ayahku sambil melahap daging segar itu.
"Yah, alasan mengapa café kita sepi pelanggan adalah populasi penduduk di kota ini tak sebanyak dulu. Tidakkah Ayah menghitung berapa pelanggan yang aku kita bunuh dalam waktu sehari?"
"Kau pikir aku peduli berapa banyak daging yang kumakan setiap harinya. Aku hanya memenuhi kebutuhan pokokku. Bagaimana dengan manusia di luar sana? Apa mereka menghitung berapa biji beras yang mereka konsumsi dalam sehari?" balas ayahku.
Aku mencengkram kepalaku yang terasa pusing. Mengapa mereka tak mengerti juga? Kalau begini terus, kota yang kutinggali ini akan menjadi kota mati. "Kita harus pindah dari kota ini, Yah. Mengapa Ayah tak mengerti juga?"
"Tak ada yang salah dengan kota ini. Kau memang tak mampu menjalankan usaha keluarga Dawson."
Aku menggebrak meja karena kesal. Kusambar pisau yang tergeletak di atas meja. "Ayah membutuhkan satu mayat lagi, kan? Baiklah, Ayah akan dapatkan. Dan mungkin ini adalah daging terakhir yang ayah santap hari ini."
Jleb! Pisauku menembus jantungku cukup dalam. Namun sayangnya aku masih sadar, segera kutarik pisau itu sekuat tenaga lalu menusukkannya ke perutku. Dan saat itu juga kesadaranku lenyap.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top