Beauty and Psycho
Beauty and Psycho
“Hosh ... hosh ... hosh ...,” nafasku memburu, kakiku berlari dengan kecepatan maksimal yang kubisa, jantungku berpacu dengan kencangnya. “Oh my god, siapa yang akan menduga jika gadis lima belas tahun sepertiku akan menjadi incaran para bandit?”
Aku terus berlari melewati gedung-gedung tinggi. Begitu sampai di gang kecil, aku berbelok masuk ke dalam gang itu. Mataku mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat kujadikan sebagai senjata untuk menghadapi dua penjahat yang mengejarku saat ini. Ah, senjata, bela diri saja aku tidak bisa. Bagaimana ini? Oh, keberuntungan berpihak padaku, mataku menangkap sebuah pistol yang tergeletak di dekat tong sampah. Segera kudekati tong sampah besar itu dan bersembunyi di baliknya.
Tap-tap-tap, terdengar langkah kaki dua orang yang mengejarku. Kututp mulutku, berusaha tidak menimbulkan suara.
“Ke mana gadis itu? Kita bisa kaya karenanya,” ucap salah seorang penjahar yang terdengar seperti suara wanita.
“Gadis itu tidak bisa bersembunyi, pasti dia berada di sekitar sini,” ucap penjahat yang satunya lagi yang terdengar seperti suara pria.
Tangan kananku telah menggenggam pistol dengan mantap Aku bersiap jika salah satu penjahat itu muncul di depan wajahku.
Tap-tap. Kudengar suara langkah kaki mendekat.
“Hei, Garwinn, ayo keluar.”
Seettt ... Dor!
“Arrgghh shit!” erang si pria berwajah oval itu seraya memegangi mata kirinya yang ditembus oleh peluruku.
“Nice, Diana,” batinku memuji diri sendiri. Walaupun aku tidak bisa bela diri, setidaknya aku bisa menembakkan timah panas itu.
“Sialan kau anak kecil!” geram pria itu.
Ketika aku menekan pistol, aku terserentak karena pelurunya habis. Sontak aku menjadi panik karena kehabisan senjata.
“Wow, dan sekarang giliranku,” ucap penjahat wanita yang telah menodongkan pistolnya tepat ke kepalaku.
“Hitung mundur di mulai, Nona,”ucap penjahat pria yang masih bisa tersenyum walau mata kirinya mengeluarkan darah.
“Tiga ....”
“Dua ....”
“Satu ....”
BRAK! Dor! Tepat setelah hitung mundur usai, kubanting tong sampah di sampingku hingga peluru penjahat wanita itu tertahan oleh tong sampah. Kumanfaatkan kesempatan emas ini untuk kabur.
Dor! Wanita itu masih menembakku dengan pistolnya.
“Auch, that’s hurt!” timah panas itu berhasil menggores pahaku hingga mengeluarkan sedikit cairan berwarna merah. Walau rasa nyeri menjalari tubuhku, kakiku masih sanggup berlari ke luar dari gang kecil itu.
Kutolehkan kepalaku sambil berlari, kuarahkan pistol tanpa peluru itu ke pria yang mengejarku. Pria itu malah tertawa meremehkanku.
“Hahaha .... kau mau apa dengan pistol butut itu?” ejeknya.
Duag! Pistol itu melesat dengan cepat dan menghantam dahi pria itu. Seketika dia berjalan dengan oleng.
“Nice,” pujiku lagi. Kufokuskan pandanganku ke depan dan terus berlari. Setelah ke luar dari gang itu, aku berlari di trotoar dan mecari tempat yang aman untuk bersembunyi. Langkahku terhenti di depan sebuah bengkel yang sangat sepi, jauh dari gedung-gedung. Di sekitarnya hanya terdapat sawah-sawah.
Ceklek! Kubuhka pintu kayu bengkel itu. Di dalam sini sangat berdebu, berbagai perkakas berserakan di atas lantai. Ada juga mobil yang bagian depannya hancur.
“Ya ampun, sepertinya bengkel ini tidak terawat,” gumamku sambil memandang seisi bangunan tua ini. Mataku menangkap segulung tissue yang tergeletak di atas meja. “Nice, ;agi-lagi keberuntungan berpihak padaku.”
Kusambar gulungan tissue itu dan membalut luka di pahaku. “Semoga ada sesuatu yang dapat dijadikan senjata di sini.” Mataku meneliti isi bangunan ini. Sebuah palu tergeletak di lantai, segera kupungut benda itu. “Tidak hanya palu, aku harus punya senjata lain.” Kulanhgkahkan kakiku mengelilingi tempat ini.
“Ke mana pemilik bengkel ini?” aku duduk di kursi kayu yang dekat dengan jendela berdebu. Sambil melihat ke luar, kakiku berayun-ayun. Tiba-tiba saja tumitku merasakan sebuah benda besi yang dingin. Aku menunduk, dan melihat sebuah pisau kecil di bawah kursi.
“Ah, kurasa persediaan ini cukup.”
BRAK! Tiba-tiba saja pintu kayu didobrak dari luar, sontak tatapanku tertuju pada pintu.
“Kau di sana, Garwinn kecil,”ucap penjahat pria yang telah menutupi mata kirinya dengan kain.
Sementara itu, rekan wanita pria itu mengarahkan pistolnya padaku. “Kali ini tidak ada hitung mundur, jadi bersiaplah.”
“Oryaaa!” Brak!
Kulemparkan kursi kayu yang tadi kududuki ke arah wanita sialan itu. Sayangnya kursi yang melayang itu dihalangi oleh si pria bermata satu.
“Wow wow, jangan berurusan dengan Eliaku.”
Aku berlari menerjang pria itu dengan palu di tangan kananku.
“Kau mau apa?” tanya pria itu dengan nada mengejek.
DUAG!
“Kena!” palu di tangan kananku tadi kulemparkan ke perut pria itu. Sekarang pria itu duduk sambil memegangi perutnya. “Shit!”
“Hei Leiz, ayo bangun. Gadis itu hanya sendirian, sedangkan kita berdua,” ucap wanita yang disebut Elia oleh pria itu.
Pria itu berusaha bangkit dibantu oleh rekan wanitanya. Tangan pria itu merampas pistol temannya dan menodongkannya padaku.
“Oh ya ampun, apa ada sesuatu yang berguna,” mataku mencari-cari sesuatu di lantai. Tiba-tiba aku teringat kalau di tangan kiriku masih tersedia pisau yang kusembunyikan di balik punggung.
Dor! Seett ...!
Ketika timah panas itu melesat, aku menghidnar ke samping. Peluru itu melintas di atas telingaku, saat itu aku bisa bernafas lega.
“Hiyaaa!” kulemparkan pisau di tangan kiriku hingga tepat menembus tangan pria itu yang menggenggam pistol. Benda itu terlempar dan mendarat di depan kakiku.
“Yes, kita lihat sehebat apa benda ini,” gumamku seraya memungut pistol itu. Segera kuarahkan senjata di tanganku ini ke kepala pria itu.
Dor! Dor! Dua peluruku menggores pipi kiri pria itu. Aku sempat mengumpat dalam hari karena sasaranku meleset.
“Hei Leiz, sebaiknya serahkan gadis itu padaku. Kau menerima banyak luka di wajahmu,” ucap wanita di belakang pria itu.
“Sure, whatever.”
Wanita berambut ikal coklat itu maju selangkah, di tangannya sudah tersedia pisau kecil. “Tunjukkan kemampuanmu, Garwinn.”
Wanita itu berlari dengan kencang ke arahku. Kuarahkan pistolku ke wanita itu, dan pelurupun melesat ke arahnya. Yah, walau tidak mengenai kepala, setidaknya peluruku menembus lengan kirinya. Namun pisau di tangan kanannya masih ada ditempatnya dan langkahnya makin dekat denganku.
“Awh shit, aku kehabisan peluru,” umpatku ketika tidak ada peluru yang keluar dari pistolku.
“Hiyaa!”
Jleb!
“Arrgghh ...,” erangku setelah pisau itu mendarat di lengan kiriku. Kuhantamkan pistol tanpa peluru itu ke kepala wanita itu. Bukannya pingsan, dia justru makin marah. Wanita itu mencabut pisaunya dengan keras, lalu menghujamkannya ke lengan kananku. Kedua lenganku mengeluarkan darah dengan deras.
“Permainan ini akan segera berakhir, Garwinn,” ucap wanita itu sebelum dia menghantamkan kepalaku ke dinding dan membuatku pingsan.
***
Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat dua orang penjahat yang mengejarku.
“Oi Garwinn, sudah sadar ya? Bagaimana tidurnya?” tanya pria bermata satu. Kini pipi kirinya ditutupi oleh tissue putih.
Kutundukan kepalaku, kudapati kakiku terikat di kaki kursi dan tanganku terikat di belakang punggungku. “Kalian, apa mau kalian?”
“Hei Garwinn kecil, kami hanya ingin imbalan dari tugas yang diberikan atasan kami,” jawab wanita yang menghantamkan kepalaku ke dinding tadi.
“Oh? Siapa atasan kalian? Apa yang dia inginkan?”
“Namanya adalah Jill, dia ingin supaya kami membawakan mayatmu. Itu yang dia inginkan,” kali ini si prialah yang menjawab.
“Kalau begitu cepat bunuh aku, dan tugas kalian akan selesai,” jawabku tanpa pikir panjang. Jika itu yang Jill inginkan, maka dia akan mendapatkannya. Lagi pula tidak akan ada orang yang menolongku di bengkel tua ini. Aku tak tahu siapa itu Jill dan apa urusannya denganku, yang kutahu hanyalah dia membenciku sampai dia menginginkan mayatku.
“Oh, tidak secepat itu Nona. Kau akan mati perlahan,” ucap si pria seraya mengibaskan pisaunya yang terdapat bercak darah di sana.
“Oh ya ampun, apa yang ingin kau lakukan?” tanyaku sedikit ketakutan. Tubuhku gemetar ketika pria itu berhalan ke belakangku.
Tangan pria itu menyibak rambut belakangku, kemudian menusukkan pisaunya tepat ke leher belakangku.
“Ung ...,” erangku.
Sementara wanita itu, dia berjalan ke depanku tak lupa pisau kecil di tangan kanannya. Dia duduk di depanku hingga sejajar denganku, kemudian pisau itu melayang ke perutku.
“Arrgghh! Oh ayolah, lakukan dengan cepat, ini menyakitkan,” pintaku yang mulai menangis.
Sraat! Pisau yang tertancap di belakang leherku dicabut, dan sakitnya luar biasa.
“Kami masih ingin bermain-main denganmu, Garwinn,” bisik pria itu di telingaku.
“Tasukete!” teriakku.
“HEI!!!”
Sebuah suara bentakkan membuatku dan kedua penjahat itu mengarahkan pandangan ke arah sumber suara.
“Apa yang kalian lakukan di bengkelku? Dan siapa kalian ini?” tanya seorang pria berjas abu-abu dengan ceana jeans hitam. Rambutnya yang acak-acakkan membuatku berpikir kalau pria itu juga penjahat, sama seperti dua orang ini.
“Oh, tamu tak diundang,” balas si penjahat pria itu dan mengabaikan pertanyaan dari pria berjas abu-abu.
“Hei! Aku bertanya pada kalian, dan harusnya kalian menjawab!” bentak pria itu seraya menghentakkan kakinya.
“Leiz, urus dia. Dan aku akan bermain dengan gadis ini,” ucap si wanita dan mengalihkan pandangannya padaku. “Ayo kita lanjutkan permainannya, Garwinn kecilku.”
Mendengar ucapan wanita itu, bulu kudukku berdiri dan air mataku perlahan menetes.
***
Bug! Duag!
Pria berjas abu-abu itu menendang perut pria bermata satu itu hingga tubuhnya menghantam dinding.
“Kau belum menjawab pertanyaanku!” Dia menarik kerah baju pria yang bernama Leiz itu hingga tubuhnya terangkat beberapa ceti di atas tanah.
“Aku Leiz, dan teman wanitaku itu Elia. Dan siapa kau?”
Brak! Pria berjas abu-abu itu membanting Leiz ke tanah, lalu menginjak punggungnya.
“Aku? Namaku Nyco, dan apa alasanmu datang ke bengkelku dan mengacau?”
“Gadis itu bersembunyi di sini, jadi kami mengejarnya.”
“Okay, cukup penjelasannya. Bye-bye,” ucap Nyco sesaat sebelum dia menghujamkan pisaunya ke leher Leiz.
“Oh my god,” ucap wanita bernama Elia yang terkejut melihat rekannya telah tidak bernyawa.
“Nice, aku harap kau juga seperti dia,” ucapku pada wanita itu.
Tiba-tiba wanita itu berpindah ke belakangku dan meletakkan pisaunya di depan leherku. “Jangan mendekat atau gadis ini akan mati.”
“Oh? Bunuh saja, lagi pula aku tak mengenalnya,” balas si pria jas abu-abu. “Ngomong-ngomong, siapa yang menyuruhmu utuk membunuh gadis itu Elia?”
“What? Bagaimana kau tahu namaku?” tanya wanita itu terkejut.
“Pria itu yang memberi tahuku,” ucap si pria seraya menunjuk mayat Leiz dengan dagunya.
“Jill.”
“okay, thanks. Ngomong-ngomong aku belum memperkanlkan diriku padamu, namaku Nyco.”
“Cih,” Elia meludah ke sembarang tempat, lalu kembali menatap pria bernama Nyco itu. “Aku tak ingin namamu, aku ingin mayatmu.”
Pria itu berjalan mendekat ke arahku, pisau Elia kini menyentuh kulit leherku.
“Oh ya ampun, kurasa pria itu juga jahat seperti Leiz dan Elia,” batinku dalam hati. Perlahan air mataku kembali menetes.
“Yeah yeah, bunuh saja dia. Tak ada ruginya buatku,” ucap pria itu enteng.
Srat!
Sebuah pisau kecil melesat ke arah Elia dan tepat tertancap di matanya. Pisau yang dia pegang jatuh ke pangkuanku. Sementara pria bernama Nyco itu menghampiriku yang terikat di kursi. “May I take this, young lady?”
“Sure,” jawabku.
Nyco memungut pisau di pangkuanku dan berjalan menghampiri Elia. “Shit!” umpat wanita itu.
“Kau ingin bermain, Nona?”
Elia menerjang Nyco dengan pisau di tangannya. Ketika benda tipis itu melayang ke arah Nyco, pria itu mencengkram tangan Elia dan memluntirnya hingga pisau itu terjatuh dari genggamannya.
“Shit!” umpat Elia.
Buk! Nyco menendang perut Elia hingga wanita itu mundur beberapa langkah.
“Sialan kau!”
“Berhenti mengumpat dan tunjukkan kemampuanmu, Nona.”
Elia tidak berpindah dari tempatnya, dia sibuk mencari-cari sesuatu yang dapat ia gunakan sebagai senjata. Kesempatan emas bagi Nyco untuk menyerangnya. Beberapa detik, Nyco sudah berdiri di belakang wanita itu dan menjambak rambut indahnya.
“Rambutmu sangat lembut by the way.”
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” bentak Elia yang sedikit mengerang kesakitan karena rambutnya yang dijambak.
Jleb! Pisau itu kini bersarang di punggung Elia, seketika wanita itu menjerit kesakitan.
“Hihihi ...,” aku tertawa kecil melihat wanita itu berteriak.
“Well well, ayo akhiri permainan ini, Elia.”
Srat! Seketika tubuh gadis itu telah terpisah dari kepalanya. Tubuhnya ambruk ke tanah, sementara kepalanya masih di atas tanah. Nyco melemparkan kepala itu ke sembarang tempat lalu menatapku.
“Waw, itu keren, Kak,” pujiku pada pria itu. “Thanks sudah menyelamatkanku.”
“Hei, aku tak berniat menyelamatmu, Nona. Aku hanya tidak suka pengacau seperti mereka. Ngomong-ngomong siapa kau? Aku yakin kau sudah tahu namaku.”
“Aku Diana Garwinn Kak,” ucapku ramah.
“Well, Garwinn, nice to meet you. Mungkin hari ini aka nmenjadi pertemuan pertama dan terakhir kita,” ucap pria yang kupanggil Kak Nyco itu.
“Kenapa begitu, Kak? Setidaknya kita akan janjian di suatu tempat.”
“Bukan itu maksudku, kau yakin kau akan ke luar dari bengkel ini dengan selamat?” tanya Kak Nyco denga alis terangkat.
“Ehm, ya tentu saja. Kakak telah membunuh dua penjahat itu, sekarang aku akan aman.”
“Dari mana kau tahu aku orang yang baik?”
“Karena kakak menolongku,” jawabku sambil tersenyum.
Tiba-tiba saja senyumku memudar, melihat Kak Nyco berjalan ke arahku dengan pisau di tangan kanannya.
“Don’t be so naïve. I will kill you too like Elia and Leiz.”
Crat! Dan di bengkel itu sudah tersedia tiga mayat.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top