A Gift From A Winter Girl

A Gift From A Winter Girl

"Kapan salju akan turun, Bu?" tanyaku dengan muka memelas.

Ibu menghentikan aktivitas membacanya sejenak, kemudian menatapku. "Rohan, tak akan ada musim dingin di daerah tropis," jelas ibu.

Aku mendengus kesal, ibu selalu melontarkan jawaban yang sama jika aku bertanya tentang salju. Memangnya kenapa kalau aku tinggal di daerah tropis? Apakah salju tidak akan datang ke daerah tropis? Ah, aku harap kalian tidak mentertawakanku karena aku hanya bocah berusia lima tahun. Jadi jangan jelaskan padaku tentang pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial mengenai daerah tropis dan sub tropis. Aku tak peduli pada kedua istilah itu, yang penting aku sangat ingin melihat salju.

"Han, sebaiknya kau menutup jendela kamarmu. Kalau dilihat dari awan di atas sana, kemungkinan akan turun hujan lebat." Ibu menutup jendela setelah melihat ke langit untuk beberapa saat.Aku segera menyingkir dari jendela dan masuk ke dalam kamarku. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore, lalu bergegas menutup jendela serta tirainya.

"Membosankan, aku harap malam ini akan turun salju, bukan hujan," harapku. Aku pernah membaca sebuah buku dongeng yang berjudul Peri Salju. Ketika musim dingin datang, akan turun seorang peri dari langit. Jika kau beruntung bertemu dengannya, kau bisa meminta apapun padanya maka dia akan senang hati mengabulkannya. Tapi kau hanya bisa meminta satu permintaan. Setelah itu, dia akan kembali lagi ke langit.

Nah, sekarang kalian tahu alasan mengapa aku selalu menunggu musim dingin, kan? Aku tahu, kalian tidak mungkin percaya tentang peri salju yang kuceritakan tadi. Tapi aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain. Aku akan menunggu musim dingin, dan mencari peri salju itu. Aku punya satu permintaan, aku ingin agar daerah yang kutinggali ini selalu musim dingin. Tidak ada musim hujan ataupun musim kemarau. Musim dingin jauh lebih menyenangkan dari pada dua musim itu.

Wuusshhh ...!

Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang hingga membuka jendela yang tadi kututup. Hawa dingin menusuk kulitku yang hanya dilindungi kaos putih tipis. Aku beranjak dari ranjang dan menutup jendela.

"Dingin sekali, apa akan terjadi badai malam ini?" tanyaku sambil menatap ke luar jendela.

Dari balik jendela, kulihat sosok perempuan yang berjalan ke arah hutan. Pandanganku sedikit buram karena terhalang kaca yang basah oleh air hujan. "Mau apa gadis itu ke hutan? Apa dia tidak tahu kalau hutan sangat berbahaya? Apa lagi dalam keadaan hujan seperti ini," gumamku, "aku harus memberi tahu gadis itu."

Aku segera membuka lemari dan menyambar sweter, tak lupa membawa payung. Kakiku berlari ke luar rumah secepat kilat, kubuka payungku ketika berada di luar rumah.

Kakiku mengijak genangan air hingga membasahi celana panjangku. Aku berlari mendekati gadis yang kulihat dari balik jendela tadi. "Hei, kau mau ke dalam hutan? Sebaiknya jangan, di dalam sana berbahaya. Apa lagi dalam keadaan hujan seperti ini."

Gadis berambut coklat muda yang mengenakan pakaian lengan panjang putih serta rok hingga ujung kaki itu berbalik. "Daredesuka?"

Aku terdiam, mencerna apa yang dikatakan gadis itu. "Da-re-de-su-ka?"

"Kamu siapa?"

Aku menepuk jidat. "Ah, jadi itu artinya. Hei, aku Rohan. Apa kau ingin masuk ke dalam hutan?"

Gadis yang belum kuketahui namanya itu mengangguk. "Naze desuka?"

"Oh ya ampun, tolong jangan gunakan bahasa itu. Kau membunuhku."

"Gomen, kenapa?"

"Aku sudah bilang tadi, hutan itu berbahaya. Apa lagi dalam keadaan hujan seperti ini."

Gadis itu berbalik membelakangiku. Rambut coklat panjangnya basah oleh air hujan. "Tapi rumahku di sana."

Aku menggelengkan kepala. "Sebaiknya kau ke rumahku dulu, tunggulah hingga hujan reda. Bagaimana?" tawarku pada gadis asing itu.

"Boleh?"

"Yeah, tapi sebelumnya tolong sebutkan namamu," pintaku.

"Fuyumi Amaya."

"Fuyumi artinya musim dingin, Amaya artinya malam hujan. Nama yang indah," komentarku.

"Panggil saja aku Yumi, senang berkenalan denganmu Rohan," ucap gadis itu tanpa mengulurkan tangan untuk berjabat.

Aku merasa aneh, kenapa Yumi tidak mengajakku bersalaman? Kuulurkan tanganku untuk bersalaman dengan gadis itu. Namun, dia justru menyembunyikan tangannya.

"Maaf, bukannya aku tidak sopan. Tapi, bisakah kau tidak menyentuhku sejengkal pun?"

Dahiku berkerut begitu mendengar permintaan aneh Yumi. "Kenapa?"

"Ehm ... pokoknya jangan sentuh aku. Bisakah?"

Kuputuskan untuk tidak banyak bertanya lagi pada gadis di depanku ini. Kuanggukkan kepalaku mengiakan.
***

"Apa aku tidak merepotkanmu?" tanya Yumi yang duduk di kursi meja belajarku.

"Ah, tentu saja tidak. Mengapa kau bertanya begitu?"

"Hei, kita baru kenal beberapa menit yang lalu. Tentu saja aku sungkan."

"Santai saja, ngomong-ngomong, kau berasal dari Jepang, ya?"

"Apa namaku tidak kedengaran seperti orang Jepang?" balas gadis itu.

"Bahasa Jepangnya sorry apa ya?"

"Gomen."

"Ah iya itu. Aku selalu payah dalam mengingat kosa kata."

Cukup lama kami berbincang, tak terasa jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Kurasa Yumi juga mulai mengantuk, segera kuantarkan dia ke kamar tamu dan kembali ke kamarku.

"Oyasuminasai, Rohan-kun," ucap gadis itu sesaat sebelum pintu kamarnya tertutup.

"Good night."
***

10 tahun kemudian ....

Kini usiaku telah menginjak 14 tahun, dan aku telah menjadi laki-laki remaja yang tampan (tak ada salahnya memuji diri sendiri, kan?) Gadis itu, Yumi. Dia selalu bermain denganku selama ini, walau kami tak pernah bersentuhan. Kami bermain petak umpet, kejar-kejaran, bulu tangkis, dan lainnya. Tak terasa, persahabatan di antara kami telah berlangsung selama sepuluh tahun.

"Hei, siput! Ayo kejar aku!" seru Yumi yang berjarak dua meter dariku.

"Awas kau, aku bukan siput!" balasku kesal karena ejekan konyol itu.

Tiba-tiba saja, Yumi tersandung batu dan berguling ke samping hingga punggungnya menabrak pohon. Guncangan di pohon itu membuat dedaunan di dahan berjatuhan hingga mengubur gadis itu. Aku segera berlari ke arah pohon itu dan menggali tumpukan dedaunan itu. Kudapati Yumi yang meringis kesakitan karena menabrak pohon dengan cukup keras.

"Yumi, ayo pulang!" tanganku hendak membantu gadis itu berdiri, namun dia menolak. Dia berusah payah bangkit dan tangannya bertumpu pada batang pohon besar itu.

"Daijobu desu ka?" tanyaku menggunakan Bahasa Jepang.

"Hai', watashi wa daijobu yo. Arigatou, sebaiknya kita pulang. Hari sudah sore," ucap Yumi yang membersihkan bagian belakangnya yang kotor.

"Wakarimashita."
***

Keesokan harinya pukul empat pagi, aku terbangun karena haus. Aku bangkit dari posisi tidur dan turun dari ranjang. Tanpa alas kaki, kuinjak lantai yang pagi itu sedingin es. Ketika aku sampai di ruang keluarga, aku heran mengapa lampu di ruangan ini dimatikan. Sontak aku meraba dinding, mencari saklar lampu. Begitu aku menyalakan lampu ....

"TANJOUBI OMEDETOU ... Rohan!"

Terdengar seruan teman-temanku serta keluargaku. Ayah, ibu, teman-temanku Ferrel, Alice, May, Zicky, Ricky, serta sahabatku Yumi berseru kemudian bertepuk tangan. Aku melongo melihat pemandangan di depanku. Sebuah kue tart coklat tinggi dihiasi kelima belas buah lilin, pita di dinding, serta poster bertuliskan "TANJOUBI OMEDETOU Rohan" terpampang jelas di belakang orang-orang ini.

"Ulang tahun? Aku? Tanggal berapa ini?" mataku mencari-cari kalender, kudapati sekarang tanggal 20 Agustus. Yeah, hari ulang tahunku yang kelima belas. "Oh ya ampun, aku lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku!"

"Hei, Rohan. May telah mempersiapkan kado special untukmu," ucap Alice seraya menunjuk May si gadis berambut pirang pendek dengan dagunya.

Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan berganti baju. Yang benar saja, aku masih memakai piama, wajahku masih kusut, dan aku belum mandi. Namun langkahku dicegat oleh Ricky.

" Hei bro, jangan pergi dulu. Pesta ini tak kan seru tanpa kehadiranmu."

"Setidaknya beri aku waktu untuk berganti baju!" balasku yang berusaha melepas cengkraman si botak itu.

"Its okay, Rohan-kun. Ayo potong kuenya," gadis berambut coklat muda sepinggang yang mengenakan dress hijau rumput itu tersenyum.

"Yumi, apa kau baik-baik saja? Tidak ada yang luka?" tanyaku cemas begitu mengingat gadis itu menghantam pohon kemarin.

"I am fine, thanks."

"Hei, kau belajar Bahasa Inggris."

"Hai' sama sepertimu. Ayo potong kuenya," pinta gadis itu.

Kuurungkan niatku untuk mengganti pakaian. Aku berjalan mendekati meja yang di atasnya tersedia kue tart coklat. Tangan kananku meraih pisau dan perlahan memotong kue itu.

"Potong kuenya ... potong kuenya ... potong kuenya sekarang juga ... sekarang juga ... sekarang juga ...."

Plok plok plok!

Terdengar sorak gembira dari orang-orang di sekitarku disertai tepukan tangan.

"Untuk siapa kue pertama itu, Han?" tanya May dengan senyum menggoda.

"Yang pasti bukan untuk gadis centil ini," batinku dalam hati. Kubalikkan badanku menghadap Yumi, kudekati gadis itu dengan sepiring kue di tanganku.

"Kue pertama kupersembahkan untuk sahabat perempuanku yang telah sepuluh tahun bersahabat denganku. Dia yang selalu mengusir rasa jenuh di dalam hidupku. Untukmu, Fuyumi Amaya," kusodorkan sepiring kue itu.

"Arigatou Rohan-kun!"

Tak disangka, gadis itu memelukku.

Satu detik, aku merasakan hawa dingin menusuk kulitku.

Dua detik, kurasakan tubuhku seolah-olah membeku.

Tiga detik, tubuhku menggigil.

Empat detik, kurasakan darahku berhenti mengalir dan membeku.

Lima detik, tubuhku membeku seutuhnya.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top