The Light

Setelah bebeb Naruse memberitauku tentang kondisi Mafu, aku ingin sekali menjenguknya, namun aku baru ingat kalau ada klien lain yang meminta informasi dariku tentang struktur kepolisian di kota ini. Aku tak mungkin lupa, tapi terkadang otakku menampung terlalu banyak ingatan sehingga ada beberapa yang tersingkir.

Alhasil aku hanya bisa datang saat tengah malam. Aku bertanya pada Kuwahara-sensei dimana kamar Mafu, dan dia memberitauku dengan senang hati. Walaupun batas berkunjung sudah lewat, aku punya hak special sebagai pengurus keuangan rumah sakit ini.

Aku berterima kasih padanya dan berjalan menyusuri lorong putih untuk mencari pintu berangka 311. Aku harus akui, aku tak menyangka melihat Soraru ataupun Amatsuki ada di kamar ini, tapi aku rasa itu bukan masalah. Aku tertawa kecil melihat boneka teru teru bozu ngiler yang ada di dekapan Mafu, namun tawaku memudar melihat monitor jantungnya.

Tentu saja aku tak akan pernah lupa betapa hancurnya Soraru kala itu, menangis tersedu-sedu di bahu Kashitarou saat dia menceritakan semuanya. Aku ikut memeluknya dan menangis juga. Bayangan dari Mafu dengan dadanya yang terbuka secara vertikal merasuki pikiranku walaupun bukan aku yang melihatnya secara langsung.

Aku mengecup kening Mafu, sekaligus mendo'akannya untuk segera sembuh. Aku meletakkan satu toples kecil Bon*cabe level 20 di meja samping ranjangnya. Aku jadi ingat dulu saat aku dan Soraruko memergokinya lagi gadoin saus sambal di dapur. Dia tertawa manis dengan mulutnya penuh saus, dan Soraruko hampir mimisan lagi saat mengelap bibirnya.

Jujur, pertama kali aku melihatnya di sekolah, aku terkejut bukan main. Kala itu aku lagi pengen nyari udara seger aja. Lapangan sumpek sama anak-anak baru sih. Aku menoleh ketika mendengar langkah seseorang di dekatku, dan seketika aku tau itu Mafu. Surai salju dan manik darah itu tidak mungkin kulupakan.

"Kyaaaaaaaaah~! Ada adek kelas gemez~!" 

Aku refleks menjerit senang, tertawa puas dalam hati melihat ekspresi wtf di wajahnya. Tapi aku beneran kaget saat dia ngeluarin hp-nya dari saku seragamnya.

"Eh jangan jangan! Akoeh terlalu indah buat masuk penjara!"

"Kata siapa aku mau nelpon polisi?! Aku kan mau nelpon kebun binatang!"

Mein Gott, suaranya masih aja tinggi, manis, lembut, ringan, dan feminim seperti itu. Aku jadi curiga pubernya nge-lag.

"Iihh~! Gak gak gak! Disana kotor dan rame! Mana bisa manicure kuku disana!"

Seruku panik setelah sadar akan kalimat terakhirnya. Dia memutar bola matanya dengan bosan, dan rasanya aku teringat saat Mafu suka meniru-niru Soraru dulu. Soraru menggerutu, Mafu ngikut. Soraru lagi belajar, Mafu ngikut. Soraru tidur, Mafu ngikut. Soraru makan, Mafu ngikut. Soraru mandi, Mafu ngikut--

Oke Luz, tahan dulu. Betewe, bukannya harusnya dia masih MOS ya?

"Ditambah lagi, kamoeh ngapain disini? MOS kan masih jalan! Jangan-jangan..."

Tampaknya aku ingin tertawa lagi melihat dirinya yang mulai was-was karena jeda dramatisku. 

"Kamoeh kabur dari MOS yah?! Wah! Tak bisa dibiarkan! Gimana nasib penerus bangsa kalo adek kelasnya kayak beginih?!"

Mafu spontan facepalm.

"Nggak, senpai. Aku nggak kabur dari MOS"

Aku tersenyum kecil padanya, dan melangkah menghampirinya. Mumpung hanya kita berdua di kawasan belakang sekolah, aku ingin berbincang dengannya sebentar.

"Oh! Akoeh tempe! Kamoeh yang dari rumor itu kan? Si albino dengan sejarah pembulian sejak kelas 2 SD?"

Aku dapat melihat tubuhnya menegang oleh perkataanku.

"Ayo ikut om-- eh maksudnya ikut akoeh! Biar kamoeh nggak diapa-apain sama yang lain! Mereka jijay banget ih! Ngebuli mahluk seimut kamoeh!"

Dia menatapku curiga dengan sepasang manik merah darah yang ragu-ragu, namun pada akhirnya dia mengikutiku. Amatsuki berlari menghampirinya beberapa saat kemudian, dan aku tau aku harus kembali lagi ke tugasku sebagai anak OSIS.

Melihat Amatsuki yang mengkhawatirkannya, aku tau Mafu ada di tangan baik-baik. Walaupun barcode di pipinya membuatku penasaran, aku bersikap seakan-akan tidak pernah mengenalnya seumur hidupku, tapi aku selalu berusaha membantunya sebisaku.

Contoh? Dengan tidak meminta bayaran setiap kali dia meminta informasi padaku.

Di saat aku meminta bayaran dari orang lain tergantung seberapa sulit informasi itu kudapatkan, aku tak pernah meminta sepeser Yen pun pada Mafu. Jika bisa, aku akan menaruhnya di prioritas tertinggi jika dia meminta informasi apapun padaku, namun sayangnya aku tak boleh pilih kasih.

Eh, tapi kan aku gratisin Mafu...

Ya gitu lah pokoknya. Perasaanku campur aduk jika menyangkut soal Mafu.

Aku masih peduli padanya, dan sangat menyayanginya. Jika aku menceritakan tentang perasaanku ini pada siapapun itu, mereka pasti akan menganggapku seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ya begitulah kenyataannya.

Jadi keingat pembicaraanku dengan Kradness waktu itu deh. Serius, apa hanya karena aku dan Mafu baru bertemu lagi setelah sekian lama dia kira kepedualianku untuknya sirna oleh waktu? Tentu saja tidak. Tak apa jika dia belum mengingat semuanya. Lebih baik dia ingat dulu pelan-pelan. Aku tak mau dia membebani pikirannya sendiri.

Aku tau bagaimana jadinya jika Mafu tiba-tiba mengingat semuanya. Kepalanya seakan-akan ditusuk oleh puluhan jarum, menggali ke dalam tengkoraknya dan menuju otaknya. Rasa sakit itu akan membuatnya menumpahkan banyak air mata, kemungkinan besar dia akan berteriak juga. Baik aku, Soraru, maupun Kashitarou tak akan mau melihatnya seperti itu.

Aku meletakkan tanganku di pipi kirinya, mempelajari barcode itu dengan serius. Aku tidak tau sama sekali tentang barcode ini. Informasi itu sudah berusaha kucari sejak umurku 7 tahun, dan sampai sekarang belum ada hasil. Pengen ku-scan, tapi aku gak punya alatnya.

Mungkin jika akhirnya aku bisa menangkap Akatin, aku akan mengetahuinya. Membeberkan seluruh rahasia kotor sindikatnya pada kepolisian. Ah, apa artinya aku harus bertemu dengan Inspektur Rahwia lagi? Tapi aku rada takut sama dia. Galaknya hampir segalak Ibu sih--

Aku facepalm saat lagi-lagi teringat sesuatu.

"Mein Gott! Akoeh lupa ada pr ngerangkum 3 bab sekaligus!"

"Malem-malem jangan bacot njir"

Aku menolehkan kepalaku dengan horror ke arah Soraru, yang masih menutup matanya dan tak bergerak sama sekali dari ranjangnya, tapi mulutnya bergerak saat dia lanjut bicara.

"Jangan ngira mentang-mentang gue dah tidur elu bisa tiba-tiba teriak kayak gitu. Gue ini mahluk nokturnal ye sori"

"Hah? Ciyus? Miapah?"

"Mi ayam"

Mein Gott, sahabatku gini amat yak.

"Oh iye, Soraru-san. Akoeh denger dari Kuwahara-sensei kalo kamoeh hilang kendali lagi yach tadi sore? Udah minum obat?"

"Udah. Lu balik aja sana. Dah tau ada pr masih aja kelayaban ke kasino"

Aku tertawa kecil dan menepuk-nepuk kepalanya. Dia langsung mencakar tanganku, dan aku mengibas-ngibaskannya untuk menghilangkan rasa sakitnya. Ketahuan deh kalo dia belom potong kuku.

"Ya mau gimana lagi. Klien harus dilayani lah. Betewe, Kashitarou-kun katanya mau datang besok habis pulang sekolah. Akoeh juga disuruh kesini, jadi sampai jumpa lagi ya, Soraru-san~"

"Daahh"

Dia menjawab dengan monoton saat aku melangkah keluar kamar 311.

Luz's side : End

~~~

A/N : Chapter ini adalah filteran ucapan Luz yang sebenarnya. Kalo author ngetik ucapan aslinya yang alay bin lebay itu, pasti puyeng tujuh keliling deh.

Luz : Ihhh author-chan gitu dech... Emangnya kenapa dengan gaya bicara kuh? Kan biasa-biasa ajah =3=

Hilih. Serah lu, jerapah >:v

See you next time!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top