Sekolah baru (3)
warning : tau kan kalo yandere ngambek tuh gimana jadinya, jadi siap-siap aja ya :)
jangan bilang author nggak peringatin ya >3 lop yu//lah kok
Aku mengantongi pisau favoritku dan berlari lagi ke sekolah. Aku tau Hashiyan nggak langsung pulang karena dia ada ekskul bola setiap hari itu. Saat aku melewati gerbang sekolah, aku mendengar suara yang kukenal memanggilku,
"Dek! Sini dulu, dek!"
"Mbak?" aku mengerem lariku dan mengangkat kepalaku. Mbak-mbak itu masih disana, duduk di atas pohon dengan kedua kakinya bebas berayun di udara, "Ada apa, mbak? Tolong cepat, aku ada urusan genting nih"
"Anak yang adek cari lagi ada di kamar mandi lelaki lantai satu, sendirian, lagi ganti baju" dia tersenyum manis padaku, "Cepatlah, sebelum dia selesai"
Aku terdiam memandangnya sejenak, sebelum menyeringai lebar yang licik.
"Arigatou!" aku menyahut saat kakiku kembali membawaku berlari menuju gedung sekolah. Untung koridor udah sepi, jadinya aku bisa berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi lelaki.
Walaupun aku ansos dan nolep, tapi kalo demi ngeliat darah mengalir dan mendengar teriakan penuh kesakitan, aku mah bisa lari cepet! Ehehe~!
Intinya kita bisa melakukan apapun kalo kita punya kemauan yang kuat! Ingat itu!
//hilih sok bijak kau nak -_-/
Aku memasuki kamar mandi lelaki perlahan dan melirik empat bilik yang ada di dalamnya. Aku ngintip ke bawah pintu bilik//jangan ditiru yah teman-teman yang budiman, dan melihat sepasang kaki yang memakai sepatu sneakers merah di balik salah satunya.
Yap, itu sepatu Hashiyan.
Sempurna, ehehe.
Biliknya terbuka, dan Hashiyan sedikit terkejut melihatku berdiri di hadapannya, "Hei, Mafu-san. Tumben masih di sekolah" dia tersenyum padaku, tanpa ada rasa bersalah sama sekali padahal dia baru saja menghancurkan hati sahabatku.
Hal itu membuat aku greget abis. Pengen gitu rasanya langsung nusuk dia aja, tapi aku harus sabar. Kata Amatsuki kesabaran tuh penting.
"Iya, soalnya aku mau nanya soal Ama-chan" aku memberinya senyum polos terbaikku, "Dia pulang-pulang nangis loh, aku pengen tau kenapa"
"Oh gitu" ekspresinya segera menjadi kesal dan jijik, "Sadar nggak sih, Amatsuki-kun itu nggak lurus tau, Mafu-san. Tadi dia baru ngaku ke aku dan ugh, nggak nyangka anak baik-baik kayak dia itu hom--"
Ucapannya terpotong oleh sebuah jeritan lantangnya saat dia merasakan rasa sakit luar biasa yang tiba-tiba di bahu kirinya. Ya apalagi kalo bukan dari pisauku.
"Iya, Ama-chan memang anak baik-baik~" aku bersenandung kecil dengan kedua tanganku di belakang punggungku, memberinya senyum kecil polos.
Dia menjerit kesakitan dan berusaha mencabut pisau itu dari bahunya, namun aku langsung berderap maju dan menabraknya, membuat kami terjatuh ke lantai kamar mandi yang mulai kotor oleh cairan merah kental yang indah.
"A- Apa-apaan ini?!?!" dia menyahut marah padaku, tapi rasa sakit di bahunya menyebabkannya tak bisa menggerakan tangannya untuk menyingkirkanku yang ada di atasnya.
"Damare nee?" aku menyentuh hidungnya dengan telunjukku dan terkikik, "Ahahaha~, Hashiyan-san indah banget ya kalo dikelilingi darah seperti ini~, jadi pengen nambah hiasan lagi biar makin cantik~"
Jeritannya, walaupun nyaris membuat telingaku budeg karena aku masih menindihnya, tetap melebarkan senyum di wajahku saat aku meraih gagang pisauku dan mulai menggerakannya ke bawah, membuat lukanya semakin panjang, menuju ke arah jantungnya berada. Kolam darah semakin melebar di sekitar kami, dan aku duduk di atas perutnya, mengagumi hasil kerjaku.
Aku menjilat bibirku sendiri, "Ara, ara~. Indah sekali..." menghiraukan air matanya dan permohonan yang dia lontarkan, aku memiringkan kepalaku dan meletakan telunjukku di daguku, "Tapi... Kok rasanya ada yang kurang ya... Hashiyan-san tau gak apa?" tanyaku dengan nada seperti anak kecil yang kebingungan atas suatu hal.
Tubuhnya bergetar hebat, oh aku bisa merasakannya di bawahku.
"Ah! Benar juga!" dengan perlahan, aku mencabut pisauku yang sudah terletak di atas jantungnya, menikmati setiap teriakan dan ringisan yang keluar dari mulutnya itu.
Mulut yang telah menghancurkan hati penolongku, sahabatku, dan ibu tidak sahku.
"Yang ini harus disingkirkan!" diiringi tawa kekanak-kanakan yang bahagia, aku memosisikan pisauku tepat di samping bibirnya, menyaksikannya bergetar dan terus meminta ampunan.
Sori, aku bukan Kami-sama yang bisa mengampuni orang ye.
Awalnya aku ingin melakukannya secara perlahan, tapi aku baru ingat ada pr MTK buat besok, udah gitu 25 soal pula, harus lengkap dengan caranya. Ugh, tuh sensei kalo ngasih tugas gak mikirin tangan murid-muridnya apa yang pegel buat ngerjain itu semua?
//author curhat bentar.
"Kau beruntung aku masih punya belas kasihan, Hashiyan-san, maka akan kubuat ini cepat untukmu" ujarku, masih tertawa bagaikan seorang maniak//emang.
Dengan satu ayunan dari pisauku, bagian bawah wajahnya pun terbuka lebar.
Setiap teriakan yang dia keluarkan menyebabkannya tersedak oleh darahnya sendiri yang mengalir ke tenggorokannya, masuk ke paru-parunya dan menghambat pernafasannya. Melihatnya berada di ujung sabit sang malaikat maut membuat senyum sadisku semakin lebar.
(padahal di dimensi lain, seorang malaikat maut albino bersin tiba-tiba)
Aku memiringkan kepalaku lagi saat tak merasakan pergerakan apapun lagi darinya. Aku beranjak dari tubuhnya dan berjongkok di sampingnya. Tubuhnya dihias oleh sebuah lingkaran merah, dan darah memenuhi mulutnya yang sudah hancur parah, hampir tak ada malah. Ekspresi terakhirnya adalah murni ketakutan, dan itu membuatku terpana.
Tidakkah dia indah sekali jika dipenuhi darah seperti ini?
Aku bangkit dari posisiku dan mulai mencuci pisauku di wastafel kamar mandi. Aku bernyanyi kecil dan sesekali tubuhku bergoyang mengikuti irama lagunya. Menyanyi adalah hobiku yang utama, dan biasanya aku dan Amatsuki suka duet loh di rumah. Ujung-ujungnya kita dimarahin tetangga karena nyanyi "Dear Doppelganger" jam 1 malam.
Setelah pisauku bersih dan kulap pakai seragam Hashiyan yang tidak tertutupi dengan darah, aku menusukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke luka lebar dari bahunya sampai atas jantungnya itu. Dengan paksa kulebarkan dua jariku supaya lukanya ikut melebar. Dengan itu polisi tak akan tau persis senjata apa yang kugunakan.
Aku membersihkan seluruh bukti yang menyangkut tentang diriku di kamar mandi itu dan meninggalkan lokasi sambil bernyanyi lagi. Saat aku ingin keluar gerbang, aku teringat si mbak dari pohon beringin. Dia kan sudah memberitauku lokasi Hashiyan, jadinya nggak sopan kalo nggak berterima kasih sama dia, iya nggak?
Soalnya Amatsuki pernah bilang jika seseorang memberikan bantuan padaku, aku harus berterima kasih padanya.
"Mbak!" dia masih ada di atas pohon, maka aku memanggilnya. Dia menundukan kepalanya padaku, dan aku tersenyum lebar senang seperti bocah yang baru dapat permen dari om-om pedo, "Arigatou ya atas bantuan mbak!"
"Sama-sama dek! Kapan-kapan kita ngobrol lagi yuk!"
"Ahh..." ekspresiku langsung jadi suram, "Tapi mbak, kayaknya habis ini aku bakal pindah sekolah deh..." suaraku memelan, tapi masih bisa kedengeran sama mbaknya.
"Eh kenapa?" dia memandangku dengan bingung, "Bukannya adek udah ngapus bukti tentang keberadaan adek di TKP ya?" lah tau darimana dia? Dia ngintilin aku kah?
"Tapi sekolah kan udah tau reputasiku. Mungkin mereka tak tau bahwa aku yang melakukannya, tapi lebih baik mereka memindahkanku daripada polisi menangkapku saat aku masih jadi murid disini. Kepsek ini terlalu memikirkan tentang reputasi sekolahnya, maka kemungkinan besar aku bakal dipindahin lagi. Belum lagi Ama-chan kan "pengasuh sah" aku, jadinya dia bakal dipindahin juga palingan" aku menjelaskan dengan nada sedih.
"Oh gitu ya..." dia tersenyum lagi, "Gapapa, nanti mbak coba cari adek di sekolah lain ya. Kalo ketemu, jangan lupa nyapa mbak ya, dek!"
"Un! Pasti, mbak!" aku mengganguk cepat, "Jaa, aku pulang dulu ya! Daahh~!"
"Daah, dek~! Hati-hati di jalan~!" aku dapat mendengar sahutannya bahkan setelah aku berlari meninggalkan sekolah.
Saat aku nyampe rumah, aku mulai bertanya-tanya sendiri.
Itu mbak-mbak siapa ya? Kok rambutnya udah item legam, terus panjang bat pula? Kenapa bajunya putih-putih gitu?
Aku mengangkat bahu dengan cuek.
Nah. Palingan cuman mbak-mbak gabut yang demen nangkring di atas pohon.
(End of First Arc)
~~~
A/N : Ano... Gimana menurut kalian adegan yandere Mafu-nya?
Maafkan jika aneh atau kurang jelas, masa-masa author yang psiko udah lewat beberapa tahun yang lalu, jadinya udah lupa dikit gimana cara bikin adegan berdarah gini.
OC : "Lalu kenapa malah bikin cerita yandere, pinter"
A : "Suka-suka author! >:P"
Yang merasa terganggu, author minta maaf ya m(_ _)m
See you next time!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top