Persiapan

Sou mematikan kompor dan menghirup bau kare yang sudah matang tersebut. Wah, kayaknya ini mah udah pas! pikir sang surai coklat riang. Dia mengeluarkan dua piring serta dua sendok dari lemari, mengambil nasi dan menuangkan kare itu perlahan di kedua piring, lalu meletakkannya di meja makan. Puas, dia berkacak pinggang bangga.

"Yosha! Makan malamku dan Eve-senpai sudah siap!" dia tertawa sendiri, sebelum memainkan jarinya seraya menggembungkan pipinya, "Padahal aku mau bikin roti panggang, tapi sama Eve-senpai gak boleh main microwave... Eve-senpai jahad :("

Dek, itu demi kebaikanmu sendiri loh dek :>

"Oh ya! Aku harus manggil Eve-senpai!" kekesalannya sirna seketika dan dia bergegas menuju ruangan terluas di rumah tersebut, yang berisi peralatan serta bahan-bahan kimia yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Sang Ketua OSIS sedang duduk di salah satu kursi dengan sebuah alat di depannya. Tangannya tampak sedang memegang sebuah korek kuping (?) dan dia bahkan sampai memakai kacamatanya, tanda bahwa dia sedang serius.

"Eve-senpai~?" Sou memanggilnya dengan nada manis, berdiri di belakang kakak kelasnya, "Senpai lagi mengecek apa?"

"Ini loh, Sou-chan, aku lagi ngecek DNA Akatin yang aku dapat dari gelas martini yang dia minum dua hari yang lalu di kasino Naruse-san" Eve mengambil sampel air liur dari gelas yang disebut dengan ujung kapas korek kuping (?), memotong ujungnya, dan meletakkannya pada sebuah piringan kaca datar.

"Demo, senpai, ini udah waktunya makan malam loh! Eve-senpai memangnya gak laper?" Sou berusaha membujuk, tak tega juga kalau melihat sang Ketua OSIS terus bekerja di lab seharian tanpa makan atau minum sama sekali.

"Dikit lagi kok, Sou-chan. Sabar yah" sebagai sebuah jamur penyabar (?), Eve menyunggingkan senyum lembut pada adik kelasnya, "Kalau Sou-chan udah laper berat, Sou-chan makan duluan aja. Aku bisa nyusul kok" ujarnya sebelum fokusnya balik ke peneliatiannya.

"Mou, kan aku mau makan malam bareng senpai..." Sou mendengus kesal dan berbalik, menghentakkan kakinya dengan cukup kencang untuk meraih perhatian Eve.

"Ya udah lah! Pokoknya nanti Eve-senpai gak bakal kukasih jatah!"

"EEEHHH?!?! SOU-CHAN! TUNGGU!!"

Panik, Eve langsung mengejar adik kelasnya keluar lab. Alhasil Eve akhirnya makan malam juga, dengan Sou yang tersenyum polos tanpa dosa sama sekali. Eve menghela nafas, namun apa daya dia tak bisa marah pada lelaki bersurai coklat tersebut.

Setelah makan malam, Eve kembali lagi ke lab, dan Sou menemaninya. Lelaki bersurai coklat itu memutuskan untuk belajar kimia sebentar buat ulangan besok, sementara lelaki bersurai pirang itu duduk di kursinya, meneliti hasil yang dia dapat.

"Tunggu sebentar..." Eve bergumam pada dirinya sendiri, "Aku ingin mencoba sesuatu, tapi itu ada meja satu lagi ya..." dia punya kebiasaan bermonolog pada saat sedang berpikir keras, jadinya Sou udah biasa. Dengan kursinya yang berkaki tiga dan punya roda itu, dia meluncur ke meja seberang dan mengambil sampel lain dari salah satu kabinetnya.

Menggunakan dorongan pada meja itu, dia meluncur balik ke mejanya dan mengecek sampel yang baru saja dia ambil. Dia sudah pernah mengecek sampel itu sebelumnya, tapi tak ada salahnya meneliti dua kali daripada membuat kesimpulan tak sempurna kan?

Manik safir cerah Eve membulat, "Jadi aku memang tidak salah..."

"Eve-senpai, soal yang ini rumusnya gimana sih-- Hm?" Sou memiringkan kepalanya melihat sang Ketua OSIS yang terbengong di kursinya, "Eve-senpai daijoubu? Senpai nggak nelen Canabis lagi kayak waktu itu kan?"

"Itu kan gak sengaja, Sou-chan" Eve memijit keningnya, kemudian menepuk pahanya sendiri, "Sou-chan, coba duduk sini dan bilang padaku apa yang kau lihat"

Sou merona, namun menuruti perintah kakak kelasnya. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman di paha Eve, Sou melihat hasil atas pengecekan Eve terhadap dua sampel tersebut. Safirnya yang identik dengan milik Eve melebar.

"Ini beneran...?"

"Ah, jadi aku memang tidak sedang berkhayal"

Eve meraih kepala Sou dan mengecup pipinya sebelum mengelus-elus surai coklatnya, "Tolong ambilkan hp-ku ya? Akan kukasih rumus untuk soal yang kau tanyakan itu sekalian"

Sou mengangguk, dan loncat turun dari paha Eve untuk mengambil hp sang Ketua OSIS yang ada di luar lab, lebih tepatnya ada meja ruang makan. Masih tak beranjak dari kursinya, Eve mengetuk-ngetukkan kukunya ke meja dengan ekspresi benci.

"Kuso, kuso, kuso, kuso, kuso..." dan kata itu terus berulang sebelum dibuyarkan oleh kehadiran Sou di sisinya.

.

Beberapa jam sebelumnya...

"Yang akan ikut denganku hanya Kiri-kun dan Hikari-kun"

"HAH?!?!" Mafu, Ruko, dan Kashitarou spontan berteriak pada sang pemimpin mafia. Mafu dan Ruko tampak sangat tak terima, sementara Kashitarou menampol mulutnya sendiri karena kelepasan teriak ke Osora.

"Otou-san, biarkan aku ikut! Ini kan menyangkut Sora!" geram Ruko.

"Aku juga harus ikut!" Mafu berseru, "Soraru-senpai berada dalam keadaan seperti ini karena aku! Aku harus ikut! Aku harus ikut! Aku harus ikut!!" protesnya dengan high note.

"Osora-sama, saya juga merasa bahwa saya harus ikut dengan anda. Saya mungkin tak punya alasan jelas, tapi keinginan saya untuk menyelamatkan Soraru-san sama kuatnya seperti Mafu-san dan Ruko-san" ujar Kashitarou, berusaha membuat suaranya tak bergetar.

"Ini berbahaya, anak-anak. Semakin sedikit orang yang ikut, semakin sedikit orang yang harus kukhawatirkan. Jika kalian terluka, siapa yang akan tanggung jawab hah? Tentu saja aku" Osora menolak permintaan mereka mentah-mentah.

"Kalau begitu aku yang akan bertanggung jawab terhadap mereka berdua!" Ruko semakin meninggikan nada bicaranya, "Mereka berdua secara teknis adalah adik kelasku! Sebagai kakak kelas, sudah sepantasnya aku yang mengawasi! Biarkan kami ikut, otou-san!"

"Osora-san, biarkan saja mereka" sang pengumpul informasi menasihati sahabatnya, namun malah dibalas dengan tatapan sedingin Antartika dari sang pemimpin mafia.

"Osora-shi" sang pemimpin yakuza menghampirinya dan menurunkan kipasnya, "Tak apa, mereka bisa ikut dengan kita. Kemampuan mereka tidaklah jauh dari kita, dan kita selalu butuh bantuan tambahan" ujarnya.

Osora menggerutu pelan, "Ya, ya, baiklah. Terserah kalian. Tapi tanggung jawab penuh akan kutimpakan padamu, Ruko" perintahnya.

"Mengerti, otou-san!"

Geh, aku gak didengerin... Padahal giliran Kirihara-kun yang ngomong dia nurut... Mentang-mentang mantan, dasar... Hikari manyun-manyun sendiri.

"Bagus, sekarang kalian silakan ambil senjata kalian. Akatin breng*sek itu tidak mungkin berada di gudang tersebut sendirian. Sama seperti dulu, Ruko, akan ada banyak anak buahnya yang berjaga di sekitar pelabuhan. Kalian bertiga siap?"

"Hai!"

.

Akatin terkekeh licik melihat Soraru yang meronta-ronta di kursinya, masih belum berhenti menyahut dan menangis selama hampir seharian. Kalian tau, inilah bagian favorit dalam penyiksaan Akatin. Menonton korbannya tersakiti oleh pikirannya sendiri adalah hiburan menarik baginya.

Dulu Akatin merekam pembedahan Mafu hanya supaya dia bisa mendengar tangisan manis yang putus asa dari sang albino, namun siapa sangka Soraru punya trauma terhadap hal itu? Dia hanya perlu memutar rekamannya kembali, trauma Soraru akan muncul ke permukaan dengan sendirinya, dan itu saja! Mudah sekali!

Pikiran Soraru akan berekasi terhadap segala suara dari rekaman tersebut, dan otaknya akan membayangkan kejadian persisnya di pikirannya. Akatin bahkan hampir tak perlu melakukan apa-apa, hanya menekan tombol 'play' dan menyaksikan bagaimana Soraru dirusak oleh apapun itu yang tergambar di pikirannya.

Pikiran manusia terlalu mudah, pikir Akatin dengan seringai puas. Aku sudah beruntung untuk mendapatkan Soraru. Tetap saja... Awalnya kupikir mereka berdua dapat mendapatkan putra Amanogawa dan putra Hikari untukku, tapi mereka malah ditangkap oleh putra Kirihara.

Dia membuang ludah ke samping. Tch, aku tak peduli jika mereka mati di tangan para yakuza itu, lagipula mereka berdua hanyalah boneka tak berguna lainnya bagiku.

.

"Huwooohhhh!!!!"

Mafu menjerit bahagia saat dirinya diajak Ruko ke gudang senjata keluarganya yang ada di ruang bawah tanah. Senjata yang ada disana sangat lengkap dan bervariasi. Pengen gitu rasanya sang albino mencium mereka satu-satu dan membawa mereka ke pembunuhan yang ingin dia lakukan. Tapi dia masih inget tugas.

Dia harus selamatin senpai-nya dulu.

"Ah, shuriken ini..." Kashitarou berdecak kagum melihat satu meja penuh dengan senjata kecil namun berbahaya tersebut, "Ruko-san, benar nih tak apa jika aku mengambil beberapa? Belum tentu semuanya bisa kukembalikan kan?"

"Lah, napa lu bingung sendiri?" Ruko yang lagi milih pistol menolehkan kepalanya, "Semua shuriken itu kan buatan keluarga Itou. Bolehlah lu ambil, kan kalian bisa buat lagi"

"Tapi setelah kami kirimkan pada Osora-sama, shuriken ini sudah menjadi milik keluargamu"

"Sudahlah, Kashitarou-kun. Santai aja, keluarga kita kan partner"

Kashitarou tersenyum, dan membungkukkan kepalanya, "Arigatou gozaimasu" ujarnya sebelum mengambil beberapa shuriken dan menyembunyikannya di balik obi khususnya yang mempunyai tempat penyimpanan rahasia. Ya, dia udah ganti baju jadi kimono biar dia bisa bawa katana-nya sekalian.

"Nee-chan! Aku harus ambil yang mana? Aku bingung!" seru Mafu bersemangat, loncat-loncat di tempat seperti seorang anak kecil yang kebingunan memilih mainan yang akan dia beli.

"Terserah Mafuyu~, Nee-chan yakin senjata apapun yang dipegang Mafuyu bisa jadi senjata yang jauh lebih berbahaya dari yang seharusnya~" Ruko bersenandung kecil, menyelipkan senjata-senjata lain ke balik ikat pinggangnya.

Mafu kemudian mengambil (baca : nyambar) beberapa belati, jarum racun, bom asap, dua Glock, dan seutas kawat. Dia menyimpannya di tas kecil yang diberikan Ruko untuknya walaupun dia menyimpan belati serta satu Glock di balik kemejanya.

"Kau kuat sekali, Mafu-san, padahal baru saja terkena kecelakaan, tapi kau sudah siap kembali terjun ke lapangan" puji Kashitarou seraya mengacak-acak surai salju Mafu dengan sayang.

"Ehehe, makasih, Kashitarou-senpai! Kalau demi Soraru-senpai, aku bisa lakukan banyak hal"

"Mm-hmm, hal yang sama berlaku untukku"

Di gerbang depan, mereka berenam udah kayak mau berangkat perang aja. Anak buah Osora, Rib, Kony, dan Rieru ngumpul di dekat mobil mereka, bersorak menyemangati mereka. Ada yang lambai-lambaiin sapu tangan, lap cuci piring dan sempak yang belum kering, ada yang berdo'a, dan ada yang sampai menurunkan topinya.

//Osora : Aku belum mau mati weh, baka.

"Anak buahmu ribut sekali, Osora-shi" Kirihara berkata dengan tawa kecil.

Karena komentar partner-nya, Osora sontak membentak mereka semua, "Kalian ngapain sih?! Berisik tau gak?! Mending kalian semua balik ke kerjaan masing-masing aja!!"

Mereka semua kicep, sampai kikikan dari istri tercinta memecah keheningan, "Aduh anata, kamu kok tsundere banget sih~"

Sementara Hikari cepet-cepet masukin Osora ke mobil sebelum dia ngejambak istrinya sendiri, Kashitarou menoleh kanan kiri untuk mencari pucuk surai coklat yang nyaris identik dengannya, tapi dia tak melihatnya dimana-mana. Ekspresi cerahnya sedikit terjatuh oleh itu.

Dimana Amatsuki-san...? pikirnya sendu.

"Kashitarou-senpai! Ayo kita berangkat!"

"Ah! Iya, Mafu-san!"

Kami akan menyelamatkanmu, Soraru-san! Bertahanlah sedikit lagi!

Dan mobil Osora menderu membelah jalanan yang sibuk menuju pelabuhan kota.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top