Kehilangan, bukan kematian

Hujan turun deras dari atasnya, membasahi Bumi menjadi arena berlumpur dengan kabut sebagai penghias pandangan. Dengan senter di satu tangan dan sebuah revolver di tangan satunya, dia merangsek menembus pertahanan musuh, mencabut nyawa setiap orang yang berani berdiri dan menghalanginya.

Di belakangnya, orangtuanya dan kakaknya mengikuti, dengan senjata berupa pistol ataupun tinju yang sudah mencicipi rasanya darah yang dipaksa keluar dari kerongkongan. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa diterjang oleh rintik hujan yang bagaikan tombak dari sang langit abu-abu, tapi dia menolak untuk dikalahkan olehnya.

"Disana! Itu tempatnya!" suara sang ayah membelah hujan, dan dia menyapukan pandangannya ke sisi kirinya, dimana sebuah gudang berdiri, tampak tak terpengaruh oleh kerasnya hujan yang menimpanya.

Safirnya yang seindah langit malam penuh bintang berkilat, melihat menembus kabut tebal yang juga berani menghalanginya. Dia mengarahkan revolver-nya ke depan dan menarik pelatuknya tanpa keraguan. Setiap peluru yang melesat mengenai semua targetnya, dan suara selongsong yang terjatuh direndam oleh tebalnya tanah berlumpur.

Sesampainya di depan pintu gudang, dia melangkah mundur, membiarkan ibunya yang merubuhkannya dengan satu tendangan menyamping yang kencang. Suara dentuman saat pintu itu terjatuh menggema di telinganya, dan dia bergegas memasukinya, akhirnya tak lagi merasakan hujan menusuk-nusuk kulitnya.

Bau darah segar menyeruak memasukinya hidungnya, bercampur oleh bau air hujan yang mengelilinginya. Genangan air merah itu terciprat ke celananya saat dia melangkah maju, menghampiri seorang anak yang terbaring di atas meja otopsi, dengan dada terbuka dan sebuah gunting bedah yang ditinggalkan di sampingnya.

Mendengar isakan lemah dari ibunya oleh pemandangan itu, dia merasa kemarahannya sirna dan emosi lain merasuki pikirannya yang sudah tak lagi ditutupi kabut. Sepasang lengan beku namun hangat memeluk figurnya dari belakang, menahannya yang berusaha meraih anak yang terbaring tersebut, meraung putus asa dengan air mata yang mengalir sederas sungai.

"D- Dia masih hidup!" sang ayah berseru dengan ketidakpercayaan menyelimuti nada suaranya, "Panggil yang lain dan bawa dia ke rumah sakit segera! Aku akan menahan darahnya keluar lebih banyak dari sebelumnya!"

Terlepas dari guncangan yang diterima jiwanya, sang ibu mengangguk cepat dan segera berbalik meninggalkan gudang, kembali ke anak buah mereka yang sudah menunggu di sekitar kawasan pelabuhan. Sang kakak diam-diam terisak saat menguburkan wajahnya di surai biru gelap adiknya yang lembab, berusaha mengontrol nafasnya yang terburu-buru.

Sang adik jatuh berlutut, masih dengan lengan kakaknya di tubuhnya yang bergetar. Dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya dan menangis dalam diam.

"Ini semua salahku..."

PRANG!

Soraru ditarik kembali ke realita oleh suara kaca jatuh berserakan. Memandangi pantulan dirinya yang terpotong-potong, dia sadar dia baru saja menonjok kaca kamar mandi. Perih adalah satu kata yang diterima oleh otaknya, dan dia segera mencucinya setelah membereskan semua serpihannya dan membuangnya ke tempat sampah.

Sang surai biru gelap beranjak keluar dari kamar mandi, dan bertemu dengan tatapan khawatir dari adik kelasnya, rekan bela dirinya, dan adik rekan bela diri itu, "Soraru-senpai daijoubu?" tanya Amatsuki pelan.

Soraru mengangguk lagi, mengunci mulutnya.

"Soraru-san duduk aja dulu sementara Kuwahara-sensei lagi ngambil perban untuk lukamu" Kain meraih lengannya dan membimbingnya untuk duduk di ranjang yang kosong.

"Nih senpai, air putih" Sou menyodorkan segelas air dari meja sebelah ranjangnya.

Anggukan lainnya dari sang surai biru gelap saat dia meneguk minumannya sampai habis tak bersisa. Dia mengelap mulutnya dengan tangannya yang tak berdarah, memandang kosong pada sang terkasih yang belum sadarkan diri di ranjang sebelah miliknya.

Kuwahara kembali dengan segulung perban, antiseptik, dan sebungkus obat di tangannya. Setelah membalurkan luka di tangan Soraru dengan antiseptik, dia membalut tangannya dengan lembut, dan memberikan obat itu padanya, "Ini, minumlah"

Soraru menerimanya dan langsung menelannya. Safir indahnya terlihat hampa, berbagai paduan warna biru dalam safir itu pudar berangsur-angsur, seperti orang yang sudah kehilangan jiwanya. Kuwahara kemudian menyuruhnya untuk istirahat, dan Soraru menurutinya tanpa bantahan sama sekali.

"Kalian masih ingin menetap disini?" tanya dokter itu.

Amatsuki melirik sahabatnya yang belum terbangun dan kakak kelasnya yang sudah tiduran di ranjangnya, dan dia mengangguk pelan, "Hai, aku ingin ada disini sampai Mafu-kun sadar"

"Bagaimana dengan kalian, Kain-san, Sou-san?" pandangannya beralih ke kakak-beradik itu.

"Kami balik saja" Kain tersenyum simpul, meraih tangan adiknya, "Tidak seperti Amatsuki-kun, kami tidak terlalu berkepentingan untuk menetap disini, lagipula aku masih harus melaporkan keadaan pada Kirihara-sama"

"Baiklah jika itu maumu, Kain-san"

Setelah berbagi hormat, Kain dan Sou pamit pada Amatsuki, mengira bahwa Soraru tidak mungkin akan membalas ucapan mereka. Amatsuki melambaikan tangan dan berusaha untuk tersenyum melihat mereka meninggalkan kamar.

"Amatsuki-san, aku akan kembali bertugas habis ini. Apa ada sesuatu yang perlu kuambilkan dari rumahmu untuk membuat dirimu nyaman disini?" Kuwahara tersenyum lembut pada sang surai coklat bermata merah cerah.

"E- Eh? Kuwahara-sensei gak usah repot-repot..." Amatsuki menolak tawarannya dengan sopan, "Memangnya sensei tau rumahku ada dimana?"

"Tentu saja, Kashitarou-sama yang memberitauku"

Setelah pertimbangan beberapa saat, Amatsuki akhirnya berbicara, "Kalau begitu... Bisakah sensei bawakan boneka kucing dalam kostum domba yang ada di kamarku serta boneka teru teru bozu ngiler yang ada di kamar Mafu-kun...?" pintanya malu-malu.

"Baiklah, Amatsuki-san" Kuwahara mengangguk dan beranjak keluar kamar.

Amatsuki baru saja tiduran di sofa sebelah ranjang Mafu saat hp-nya tiba-tiba berdering. Dia mengeluarkannya dari saku seragamnya dan mengangkat satu alis melihat nomor tak dikenal meneleponnya. Udah gitu nomor Zimbabwe pula, nani kore?

Walaupun curiga, Amatsuki tetap menerima telponnya, "Hello?" sapanya ragu-ragu.

"Hello my little moon, how have you been?"

"Heh?! Otou-san?!" Amatsuki menampol mulutnya sendiri dan mulai berbicara dengan suara kecil, "Otou-san gak mungkin ada di Zimbabwe beneran kan? Pasti pake pengacak sinyal!"

"Iyalah, emang kau pikir gimana? Ibumu bisa ngambek kalau tiba-tiba aku nyasar ke Zimbabwe, hehe. Oh ya, pindah ke saluran aman segera. Ada yang ingin kuberitaukan padamu"

"Baiklah..." Amatsuki menuruti perkataan ayahnya dan mengubah panggilannya menjadi panggilan terenkripsi, "Sudah. Ada apa?"

"Kirihara-kun mengabariku malem-malem, kayaknya dia gak sadar waktu di Jepang dan Amerika itu beda jauh atau dia cuman ingin mengisengiku saja. Intinya, dia memberitauku tentang seseorang yang muncul kembali untuk meraih 'barang berharganya'"

Amatsuki menolehkan kepalanya ke arah Mafu, meneguk ludah gugup, "'Barang berharga' itu pasti Mafu-kun, desho?"

"Mm-hmm, Kirihara-kun juga bilang bahwa Hikari-kun dan Luz-san sudah bergerak untuk mengatasi orang itu, tapi bukan berarti kau bisa melonggarkan pertahananmu. Tetap waspada, awasi 'anakmu' itu baik-baik. Jangan sia-siakan surat asuh sah yang ibumu berikan padamu supaya kau bisa serumah dengan Mafu-san"

"Okay, otou-san, aku mengerti" Amatsuki mengangguk mantap.

"Jika keadaan memaksa, kau boleh menggunakan hadiah yang kuberikan padamu. Kau tau kan dimana tempatnya? Tapi gunakan jika sudah mendesak banget ya, sayang kalau benda sebagus itu digunain buat hal yang b aja"

"Iya, otou-san, aku ngerti kok" Amatsuki tertawa kecil oleh candaan ayahnya, "Otou-san dan okaa-san jaga diri ya disana? Aku sayang kalian"

"Kami menyayangimu juga, bulan kecil. Until next time!"

Panggilan selesai, dan Amatsuki tiduran kembali di sofa seraya tersenyum.

Kuwahara datang saat senja sudah hampir di ujung cakrawala, membawa plastik berisi dua boneka yang surai coklat bermata merah itu minta. Dia melihatnya tertidur di sofa, dengan ekspresi damai menghiasi wajah shota-nya. 

Kuwahara ikut tersenyum, dan dia mengeluarkan boneka kucing dalam kostum domba itu dari plastik, menyisipkannya di dekapan lengan Amatsuki, sekaligus membentangkan selimut bergambar bulan yang sekalian dia bawa dari rumahnya di atas Amatuki. Kuwahara kemudian menaruh boneka teru teru bozu itu di ranjang Mafu, dan beranjak keluar kamar.

Tubuh di ranjang sebelah berputar, dan dia beranjak turun dari ranjangnya. Soraru menggerakan lengan lemas Mafu sehingga dia memeluk boneka tersebut, sebelum mengecup keningnya dengan lembut, mengelus-elus surai salju itu dengan sayang.

"Tidurlah yang nyenyak, Mafu"

~~~

A/N : YEEEAAAAHHHH UJIAN SEKOLAH DAH SELESAI AUTHOR TAU MAU NGAPAIN LAGI HAHAHAHAHAHA--//jangan bacot woey.

Nih cerita kayaknya dikit lagi abis--//hush.

See you next time!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top